Seberapa sering kita merasa sulit dan berat memenuhi perintah-perintah Allah, melaksanakan shalat, puasa dan ibadah lainnya? Berhubungan dengan orang lain sewajarnya tanpa menyakiti dan mengganggunya? Seberapa sering kita merasa jauh dari Allah—subhanahu wa ta’ala—?
Menjawab berbagai pertanyaan yang sering TERBERSIT di hati, dalam Kalam Hikam-34 Syaikh Ibn ‘Athaillah as-Sakandari menasehatkan:
أُخْرُجْ مِنْ أَوْصَافِ بَشَرِيَّتِكَ عَنْ كُلِّ وَصْفٍ مُنَاقِضٍ لِعُبُودِيَّتِكَ لِتَكُونَ لِنِدَاءِ الْحَقِّ مُجِيبًا وَمِنْ حَضْرَتِهِ قَرِيبًا.
“Keluarlah dari sifat-sifat manusiawimu, maksudnya dari semua sifat yang menentang penghambaanmu kepada Allah, agar dapat memenuhi panggilan-Nya dan dekat di hadirat-Nya (menyaksikan dirinya benar-benar selalu di hadapan-Nya).”
Baca Juga: Tak Lelah Ibadah, Tak Henti Mengupdate Hati (Hikam-31)
Menurut penjelasan Syaikh Prof. Dr. Muhammad Sa’id Ramadhan al-Buthi dalam al-Hikam al-‘Athaiyyah Syarh wa Tahlil (II/56-59), maksud nasehat ini adalah orang hendaknya keluar dari sifat-sifat manusiawinya yang bertentangan dengan penghambannya kepada Allah. Apa saja itu? Tiada lain adalah sifat-sifat tercela seperti bangga diri (‘ujub), sombong kepada orang lain, rakus terhadap harta benda tanpa memedulikan halal haramnya, dengki, iri, dendam, marah dan semisalnya.
Sifat-sifat tercela ini nyata adanya seiring firman Allah dalam al-Qur’an:
وَنَفْسٍ وَمَا سَوَّاهَا، فَأَلْهَمَهَا فُجُورَهَا وَتَقْوَاهَا. (الشمس: 7-8)
“Demi jiwa manusia dan kesempurnaannya, kemudian Allah jelaskan kepadanya, kepada jiwa-jiwa yang keji dan jiwa-jiwa yang bertakwa.” (QS. as-Syams:7-8)
Manfaat Sifat Tercela pada Manusia
Kadang muncul pertanyaan, kenapa Allah menciptakan sifat-sifat tercela pada manusia, kemudian memerintah untuk membersihakannya?
Syaikh al-Buthi, menjelaskan, sebenarnya esensi sifat-sifat tercela ini pun—tanpa memandang kapasitasnya yang kadang berlebihan dan salah penggunaan—, sangat bermanfaat bagi keberlangsungan hidup manusia, baik secara individu maupun secara sosial komunal sebagai satu kesatuan masyarakat.
Andaikan masing-masing orang tidak punya keberpihakan terhadap dirinya sendiri (ananiyah), niscaya ia tidak akan memperhatikan eksistensi dan kondisi dirinya, tidak akan tertarik memiliki harta dan membela kebenaran. Andaikan tidak ada sedikit sifat pelit yang menguasainya, niscaya ia akan membelanjakan semua harta yang susah payah diperolehnya. Andaikan orang tidak mempunyai kecintaan terhadap harta sama sekali, niscaya ia tidak akan mencari dan tidak akan memilikinya sedikit pun. Bila demikian, niscaya bumi akan segera musnah tidak termakmurkan dan kehidupan segera sirna.
Andaikan orang yang terzalimi tidak mempunyai rasa marah hingga membela haknya, nicaya kezaliman akan membabi-buta dan hak-hak manusia akan semakin terabaikan.
Baca Juga: Hikmah Pergaulan (Hikam-32)
Telah maklum pula, bahwa sombong, bangga diri, iri, dendam dan sifat-sifat tercela lainnya merupakan sub/cabang (furu’) dan suatu efek yang induk utamanya adalah ananiyah atau keberpihakan orang terhadap dirinya sendiri.
Karenanya, semuanya harus dimanage dan dididik agar tidak melewati batas yang semestinya. Penuh hikmah Syaikh Sa’id Ramadhan al-Buthi mengisyaratkan:
“Sifat-sifat ini dianggap tercela dalam agama Islam hanya ketika melewati batas, laksana air sumber kehidupan melewati batas kapasitasnya menjadi banjir bandang yang menghancurkan; dan laksana obat semestinya diminum dengan takaran, namun ditenggak untuk mengenyangkan.”
Di sini menjadi jelas, ternyata pada dasarnya sifat-sifat tercela sangat bermanfaat bagi kelangsungan hidup manusia, asal tidak melebihi batas ukurannya.
Dekat dengan Tuhan
Sementara ungkapan Syaikh Ibn ‘Athaillah:
لِتَكُونَ لِنِدَاءِ الْحَقِّ مُجِيبًا وَمِنْ حَضْرَتِهِ قَرِيبًا.
“ … agar dapat memenuhi panggilan-Nya dan dekat di hadirat-Nya (menyaksikan dirinya benar-benar selalu di hadapan-Nya).”
menurut Syaikh al-Buthi merupakan isyarat, bahwa meskipun orang memperbanyak ketaatan dan berbagai ibadah, namun tidak memperhatikan dan tidak meminimalisir sifat-sifat tercela, maka sangat sulit diharapkan baginya untuk dekat di sisi Allah—subhanahu wa ta’ala—.
Hikmah Utama
Karenanya, setelah kita memperhatikan ibadah-ibadah lahiriah mulai wudhu, shalat jamaah, baca al-Qur’an dan selainnya, yuk sekarang waktunya kita perhatikan pula sifat-sifat buruk yang masih mengarat di hati. Kita manage, kita minimalisir tahap per tahap, agar lebih terasa ringan dan mudah beribadah, lugas dan luwes bergaul dengan sesama. Lebih-lebih dikaruniai nikmat selalu merasakan kehadiran Allah secara nyata. Semakin bersih semakin dekat kepada Ilahi.
Baca Juga: Nabi: Segar Jasmani dan Ruhani untuk Melihat Allah (Hikam-33)
__________
Sumber:
- Muhammad Sa’id Ramadhan al-Buthi, al-hikam al-‘Atha’iyyah; Syarh wa Tahlil, (Bairut-Damaskus: Dar al-Fikr, 1424 H/2003 M), II/56-64.
- Abdul Majid as-Syarnubi, Syarh al-Hikam al-‘Athaiyyah, 45.
Ilustrasi: new-muslims