Saat Zuhudnya Ibn Hajar Diprotes Istri

0
1430

Ahmad bin Hajar al-Haitami adalah seorang ulama yang masyhur dan produktif dalam fikih mazhab Syafi’i. Bahkan salah satu karyanya yang berjudul Tuhfatul-Muhtaj dikategorikan sebagai “kitab babon” fikih Syafi’i. Tak hanya itu, Ibn Hajar juga merupakan seorang “zahid”: orang yang hatinya tidak bergantung pada hal duniawi.

Dalam kitab Al-Fawa’id al-Mukhtarah (hlm. 379), Habib Zein bin Smith menceritakan sebuah kisah yang menggambarkan Ibn Hajar dengan sifat zahidnya. Kisah ini bermula ketika pada suatu hari istri Ibn Hajar mengutarakan keinginannya untuk mandi di tempat pemandian air panas.

“Sabarlah, hingga kita bisa mengumpulkan ongkos untuk masuk ke sana,” kata Ibn Hajar menjawab permintaan istrinya.

Baca juga: Kisah Kasih Sayang Nabi Muhammad Saw.

Setelah percakapan itu, Ibn Hajar mulai menyisihkan sedikit dari rezeki Allah Swt. padanya untuk ditabung, sampai terkumpullah uang setengah Riyal. Diserahkannya uang tersebut kepada istrinya dan berangkatlah si istri ke tempat pemandian air panas. Namun, sesampainya di sana, istri Ibn Hajar ternyata tidak diperbolehkan masuk oleh pemilik tempat tersebut.

“Aku tidak akan membuka pintu pemandian ini untuk siapa pun, karena hari ini istri dari Syekh Muhammad ar-Ramli bersama teman-temannya sedang berada di dalamnya. Kalau kau ingin masuk, kembalilah besok pagi. Hari ini kami tidak buka seharian,” kata si pemilik.

Si pemilik menuturkan, istri Ar-Ramli memintanya agar tidak membukakan tempat pemandian untuk orang lain. Sebagai gantinya ia telah membayar ongkos senilai pemasukan sehari penuh dari tempat pemandian tersebut, yakni 25 Riyal.

Akhirnya istri Ibn Hajar pulang dengan kecewa. Sesampainya di rumah ia menumpahkan rasa kekecewaannya pada sang suami serta membandingkannya dengan Syekh Ar-Ramli.

Sekadar informasi, Syekh Ar-Ramli bisa dikatakan rival Syekh Ibn Hajar dalam merumuskan pendapat-pendapat ulama fikih mazhab Syafi’i. Keduanya sering sekali berbeda pendapat. Hal ini bisa dilihat dari beberapa karya tulis keduanya. Bahkan Syekh Ali Bashabrin membuat karya tulis berjudul Itsmidul-‘Ainain yang ditulis khusus untuk membukukan beberapa perbedaan fatwa dua ulama tersebut.

“Sebenar-benarnya ilmu pengetahuan adalah ilmunya Ar-Ramli yang istrinya hari ini masuk ke dalam pemandian dan dengan membayar uang 25 riyal ia tidak membiarkan orang lain masuk. Apalah ilmumu itu yang hanya membiarkanmu dalam kemiskinan dan kesulitan. Kau bahkan tidak mendapatkan apa-apa dari ilmumu itu. Ini ambillah uang perakmu (dirham) yang baru bisa kau kumpulkan setelah berhari-hari,” ketus si istri.

Untuk menjawab perkataan istrinya, Ibn Hajar berkata, “Aku tak mengharapkan dunia dan aku rela dengan apa yang Allah tetapkan untukku. Tapi, jika kau benar menghendaki dunia, mari ikut aku ke sumur Zamzam.”

Keduanya pun berangkat menuju Zamzam. Setibanya di sana, Ibn Hajar mulai menarik timba  dari dalam sumur dan kemudian terjadilah keajaiban: timba yang ditariknya bukan berisi air, tapi justru penuh dengan uang emas (dinar). Sambil menunjukkan hasil timbaannya, ia berkata pada istrinya, “Cukupkah ini untukmu?”

“Tidak.”

Kemudian Ibn Hajar menimba lagi dan ia mendapat emas lagi. “Ini cukup?” tanyanya.

“Aku mau satu lagi,” kata si istri merasa kurang.

Lalu Ibn Hajar menimba untuk ketiga kalinya dan untuk ketiga kalinya pula emas memenuhi timbanya.

Namun setelah itu Ibn Hajar memberikan wejangan dan pilihan untuk istrinya, “Aku mencintai kemiskinan sebagai sebuah pilihan. Aku lebih memilih apa yang ada di sisi Allah. Sementara ada dan tiadanya harta dunia adalah sama bagiku. Ia akan berlalu. Waktunya hanya sebentar. Dan sekarang, kuberi kau dua pilihan: kembalikan emas ini ke dalam sumur dan kau tetap bersamaku atau ambillah emas ini dan pulanglah ke rumah orang tuamu, karena sungguh aku tak mengharapkan harta dunia.”

“Kita bisa bersenang-senang dengan harta layaknya manusia pada umumnya,” kata si Istri merayu.

“Tidak,” Ibn Hajar menolak.

“Kita kembalikan satu timba saja,” si istri masih menawar.

“Tidak.”

“Kita kembalikan dua timba dan kita biarkan satu timba di sisi kita.”

“Tidak.”

“Kita hanya akan menyimpan satu dinar agar kita bisa bersenang-senang  untuk satu hari ini saja.”

“Tidak,” Ibn Hajar bersikukuh, “kembalikan semuanya ke dalam sumur,  atau simpan saja dan pulanglah kau ke rumah orang tuamu.”

Baca juga: Apa Makna Zuhud?

Keteguhan Ibn Hajar pada prinsipnya akhirnya membuat si istri tak lagi bingung memilih antara harta dunia yang fana atau suami yang baru saja disaksikannya memiliki kemuliaan di sisi Allah Swt. Katanya, “Kita kembalikan saja semuanya ke dalam sumur. Aku tak ingin berpisah darimu. Sudah bertahun-tahun waktu kulalui bersamamu. Hari ini kau perlihatkan sebuah karamah, dan kita mau berpisah begitu saja? Tidak! Aku akan bersabar dengan apa yang kau pilih.”