Benarlah apa yang dikatakan seorang bijak bestari, “at-thairu yathiru bijanahaihi, wal mar’u yathiru bihimmatihi“, burung dapat terbang dengan kedua sayapnya, tapi manusia bisa terbang dengan semangatnya.
Ketika seseorang telah memiliki tekad kuat dan luar biasa, juga kecintaan yang besar akan sesuatu, maka rintangan apapun tak membuatnya berhenti. Malah kian melecutkan semangat dan cita-cita jadi semakin tinggi.
Imam Ibnul Atsir adalah seorang ulama besar yang begitu mencintai ilmu pengetahuan. Hari-hari beliau diisi dengan mengkaji berbagai permasalahan dan berkutat dengan ilmu pengetahuan.
Nama asli beliau adalah imam Majduddin Abu Sa’adah al-Mubarak bin Muhammad as-Syaibani al-Jazari. Namun beliau lebih dikenal dengan panggilan Ibnul Atsir. Salah satu kitab beliau yang familiar adalah An-Nihayah fi Gharib al-Hadis wa al-Atsar dan Jami’ al-Ushul fi Ahadits ar-Rasul.
Beliau memiliki dua orang adik yang juga sama-sama menjadi ulama dan tokoh besar pada masanya. Pun keduanya sama-sama dipanggil dengan julukan Ibnul Atsir. Salah satunya bernama imam ‘Izzuddin Ali bin Muhammad asy-Syaibani al-Jazari, yang ahli dalam bidang sejarah. Karya beliau yang cukup familiar adalah al-Kamil fi at-Tarikh dan Usud al-Ghabah fi Ma’rifah ash-Shahabah.
Kita yang kurang mengetahui biografi imam Ibnul Atsir mungkin akan salah tangkap, bahwa penulis kitab Usud al-Ghabah dan penulis kitab Jami’ al-Ushul sebenarnya adalah dua ulama yang berbeda, namun masih kakak beradik.
Sementara adik laki-laki beliau yang lain memiliki nama imam Dhiyauddin Nasrullah bin Muhammad asy-Syaibani al-Jazari. Beliau adalah seorang ulama sekaligus sastrawan yang ahli dalam urusan politik kenegaraan. Beliau juga memiliki beberapa karya seperti kedua kakaknya.
Kita mungkin sering membaca karya-karya imam Ibnul Atsir bersaudara. Karena beberapa merupakan rujukan induk dalam ilmu hadis, sejarah, dan sastra. Namun kita mungkin akan lebih takjub lagi kala mengetahui kenyataan bahwa sang kakak tertua, imam Majduddin Ibnul Atsir ternyata mengidap suatu penyakit serius.
Penyakit beliau cukup parah hingga dikisahkan membuat tangan dan kaki beliau menderita kelumpuhan. Khairuddin az-Zirkili dalam kitabnya menulis,
وأصيب بالنقرس فبطلت حركة يديه ورجليه. ولازمه هذا المرض إلى أن توفي في إحدى قرى الموصل، قيل: إن تصانيفه كلها، ألفها في زمن مرضه، إملاء على طلبته ، وهم يعينونه بالنسخ والمراجعة
“Imam Majduddin Ibnul Atsir terkena penyakit niqras yang menyebabkan kedua kaki dan tangan beliau tak berfungsi sebagaimana mestinya. Beliau mengidap sakit tersebut hingga akhir hayat, dan wafat di salah satu daerah di Moshul. Ada yang mengatakan, semua karya-karya beliau ditulis ketika beliau sedang mengalami sakit tersebut. Beliau menyusun kitab dengan cara dikte kepada murid-murid beliau. Sedangkan murid-murid beliau membantu menulis dan juga menelaah referensi yang dibutuhkan.” (Khairuddin bin Mahmud az-Zirkili ad-Dimasyqi, al-A’lam [Darul Ilmi, cet. V, Mei 2002 M.], Vol. 5, Hal. 272.)
Kita tak bisa membayangkan bagaimana keadaan beliau waktu itu. Dalam kondisi yang serba terbatas, tak mampu bergerak bebas, dan mengidap penyakit parah, orang biasa mungkin akan lebih memilih untuk istirahat total. Namun tidak dengan beliau, keadaan seperti itu tak menghalangi dalam berkarya, dalam belajar, dan juga menulis.
Beliau tetap memiliki himmah dan tekad kuat. Hingga salah satu karya beliau, Jami’ al-Ushul fi Ahadits ar-Rasul, menjadi salah satu kitab ensiklopedi hadis yang komprehensif dan bermanfaat bagi umat Islam. Kitab setebal kira-kira sepuluh jilid itu merangkum hadis-hadis dalam kutubus sittah. Dan juga kitab an-Nihayah fi Gharib al-Hadis wa al-Atsar, setebal kira-kira empat jilid telah menjadi salah satu rujukan dalam permasalahan yang menyangkut hadis-hadis gharib.
Kita akan berdecak kagum, karena menurut cerita, kitab-kitab setebal itu ditulis dalam kondisi fisik yang serba terbatas. Namun tak mengurangi kualitas dan isi yang terkandung didalamnya.
Dan rupanya tidak hanya dua judul kitab itu saja yang menjadi karya beliau. Beliau sangat produktif dalam berkarya. Beliau pun menulis berbagai kitab lain seperti, al-Inshaf fi al-Jam’i baina al-Kasyfi wa al-Kasysyaf yang membahas tafsir, asy-Syafi fi Syarh Musnad asy-Syafi’i, Diwan ar-Rasail, al-Mukhtar fi Manaqib al-Akhyar, al-Murshi’ fil Aba’i wal Ummahati wal Nanti, ar-Rasail, Tajrid Asma’i as-Shahabat, dan Manal at-Thalib fi Syarh Thuwwal al-Gharaib.
Imam Suyuthi konon sampai-sampai memuji beliau sebagai salah satu ulama yang terpandang, pembesar dan panutan orang-orang mulia, dan juga salah satu diantara ulama yang memiliki kelebihan.
Baca juga: Yuk Ngaji Sahih Bukhari! Inilah Fakta-Fakta Menarik dari Sahih Al-Bukhari dan Penulisnya
Dalam salah satu versi kisah, ada yang mengatakan kalau sebenarnya pernah ada orang yang mencoba mengobati sakit beliau. Beliau merasakan mulai ada tanda-tanda kesembuhan. Namun beliau memilih untuk tidak meneruskan pengobatan tersebut. Beliau memiliki sebuah alasan khusus untuk bertahan dengan kondisi demikian. Beliau konon mengatakan,
ولكني في راحة من صحبة هؤلاء القوم – يعني الأمراء والسلاطين – وقد سكنت نفسي إلى الانقطاع والدعة، وبالأمس كنت أُذِل نفسي بالسعي إليهم، وهنا في منزلي لا يأتون إليَّ إلا في مشورة مهمة، ولم يبق من العمر إلا القليل، فدعني أعش باقيه حراً سليماً من الذل.
“Aku sedang bisa beristirahat dari bergaul dengan para pemimpin dan para sultan. Dulu aku telah menghinakan diri dengan berjalan menuju tempat mereka. Sekarang, di rumahku ini mereka tidak akan datang kecuali untuk keperluan penting. Sementara hanya tersisa sedikit usia. Maka biarkan saja aku hidup di sisa umurku dalam keadaan merdeka terbebas dari kehinaan.”
Yah, keterbatasan bagi beliau tidaklah meruntuhkan semangat. Juga tidak sedikitpun mengubur tekad. Bagaimanapun kondisinya, beliau tetap produktif berkarya hingga akhir hayat.
Mungkin melihat kisah semacam itu kita seharusnya merasa malu bila menemukan sedikit halangan dan masalah ketika mengejar cita-cita dan tujuan hidup, kemudian mudah menyerah dan putus asa.
Maka alangkah indahnya salah satu nasihat dari Khalifah Umar bin Khattab radhiyallahu’anhu,
لا تصغرنَّ هِمَّتُكم؛ فإني لم أرَ أقعد عن المكرمات من صغر الهمم
“Jangan kecilkan himmah (tekad dan semangat) kalian, sebab aku tak pernah melihat sesuatu yang bisa menghalangi seseorang untuk mencapai kemulian-kemuliaan melebihi kecilnya himmah.”
Semoga kita bisa mengambil hikmah dan pelajaran.
Wallahu a’lam…