Bahagia Itu Sederhana, seperti semalam diperintahkan oleh Ketum Gerakan Pemuda Ansor dan Panglima Tertinggi Banser untuk mewakili beliau, memaparkan hasil kajian kami tentang Tragedi Kemanusiaan Rohingya di acara dialog Apa Kabar Indonesia di tvOneNews.
Saya dipanel dengan Ustadz Kapitra Ampera, pengacara Habib Rizieq dan GNPF MUI, sekaligus koordinator lapangan demonstrasi di depan Kedubes Myanmar.
Sebelum acara live dimulai, saya menunjukkan hasil kajian kami di Power Business Intelligence yang terinstall di iPhone-ku – yang juga bisa dibuka di HP Ketum, Bib Nuruz Zaman (Kadep Kajian Strategis / Kadensus 99 Banser Anti Teror), dan seluruh tim Kajian Rohingya secara realtime, lengkap dengan data GIS pipa migas dan blok-blok migas di Myanmar, lengkap dengan kapasitas cadangannya, berapa lama masa kontraknya, expired kapan kontraknya, dst.
Terkait potensi migas, aku jelaskan pada Ustadz Kapitra, bahwa Myanmar hari ini merupakan Nouvelle Frontière Petrolère, yang secara geologis terbagi jadi 4 zona: Sino-Burman Highland Belt, Inner Burman Tertiary Belt, Indo-Burman Range dan Rakhine Coastal Zone.
Ya, Rakhine Coastal Zone, alias wilayah Rakhine – di mana saudara-saudara kita diteror, dipersekusi, dibunuh, diperkosa dan diperlakukan sangat keji lainnya.
Baca Juga:Â Bantuan Pada Negara Lain Menggunakan Kas Negara
Saya sampaikan bahwa kalau dari hasil kajian kami, konflik geopolitik ini tidak akan mereda bahkan hingga 2019 di mana Myanmar pada tahun itu, masih defisit sekitar 4 hingga 10 juta USD untuk pengelolaan blok-blok migasnya. Artinya, hingga 2019 Myanmar masih lebih punya banyak bedil dan tentara daripada duit untuk bayar kompensasi (ganti-untung) pemindahan tanah yang layak.
Dari pembacaan data kami pula, minoritas muslim Rohingya di Rakhine yang hari ini mengalami genosida, kejahatan kemanusiaan terparah di ASEAN, cuma sasaran antara hingga 2019 itu. Bersama migrasi besar-besaran minoritas muslim Rohingya dari daerah Rakhine, bermigrasi pula minoritas Hindu (yang berjumlah sekitar 9.700 orang atau 0,5 % penduduk Rakhine), minoritas animist atau beragama lokal (yang berjumlah sekitar 3.400 orang atau 0,136%).
Sasaran selanjutnya: minoritas kristen di Rakhine, yang jumlahnya sedikit lebih besar daripada minoritas muslim Rohingya.
Bisa jadi, Paus Fransiscus membaca data ini, dan mengirim sinyal “bahwa ini persekusi karena ekspresi keberagamaan” sekaligus memitigasi agar teror gelombang kedua tidak terjadi.
Saya juga menunjukkan kepada Ustadz Kapitra bagaimana hasil analisis Game Theory kami, dan bagaimana seharusnya bersikap dan beraksi, lengkap dengan hasil payoff dan Nash Equilibrium dari semua alternatif skenario pendekatan, semua aksi dari dan bagi semua aktor yang terlibat.
Alhamdulillah, Ustadz Kapitra bisa memahami. Ya, termasuk untuk tidak sama sekali menggunakan isu agama sebagai kacamata melihat Tragedi Rohingya ini.
Baca Juga: Anak-anak Konflik Myanmar, Lembaga Pendidikan Ma’arif NU Siap Menampung
Alhamdulillah, selama diskusi, Ustadz Kapitra pun punya tone dan frekuensi yang sama dengan GP Ansor, untuk melihat Tragedi Kemanusiaan Rohingya dalam perspektif kemanusiaan dan geopolitik. Selama live maupun off-air, pandangan Ustadz Kapitra selama di studio sama.
Tragedi Kemanusiaan Rohingya itu jahat banget, karena korbannya sekali lagi, bukan cuma sekedar saudara kita seagama, tapi karena yang utama dan pertama, mereka manusia!
Akhir diskusi, Ustadz Kapitra sangat mengapresiasi kajian kami dan sebelum kami berpisah, menyampaikan pesan “Dinda, kalau ada data-data dan kajian-kajian seperti ini, kasih tahulah Abang ini, biar kami juga tidak salah gerak, biar aksi kita betul-betul pas”.
Sekali lagi, Alhamdulillah ‘alaa kulli hal.