Berprasangka Baik Kepada Allah (Hikam-39)

0
5743
Berprasangka Baik Kepada Allah

Oleh: Ahmad Muntaha AM

Di tengah datangnya berbagai ujian, cobaaan, musibah dan rintangan kehidupan,
bagaimana bisa kita hanya berharap kepada Allah sebagai penolong? Mentalitas percaya
sepenuhnya kepada Allah tidak akan pernah ada pada diri seseorang kecuali dengan
berprasangka baik kepada Allah. Dalam konteks ini Syaikh Ibn ‘Athaillah as-Sakandari
berujar:

إِنْ لَمْ تُحْسِنْ ظَنَّكَ بِهِ لِأَجْلِ وَصْفِهِ حَسِّنْ ظَنَّكَ بِهِ لِأَجْلِ مُعَامَلَتِهِ مَعَكَ. فَهَلْ عَوَّدَكَ إِلَّا حُسْنًا؟ وَهَلْ أَسْدَى

إِلَيْكَ إِلَّا مِنَنًا؟

“Bila kamu tidak berbaik sangka kepada Allah karena sifat (rahmat)-Nya, maka baik
sangkalah karena perlakuan-Nya kepadamu. Tidakkah Allah telah membiasakanmu kecuali
pada kebaikan? Tidakkah Allah memberimu kecuali berbagai anugerah-Nya?”

Berprasangka Baik Kepada Allah:
Antara Orang Khusus dan Orang Awam

Di kalangan orang Islam ada dua golongan orang berprasangka baik kepada Allah, golongan orang khusus (khash) dan orang awam.

Orang khusus berbaik sangka kepada Allah karena sifat-sifat- Nya yang Maha Tinggi dan Maha Mulia. Prasangka baik mereka lahir dari penyaksiannya terhadap keindahan dan kesempurnaan Allah Ta’ala, dari rahmat, kasih sayang dan kemurahan Allah yang sangat luas, sehingga takdir apapun yang Allah berikan kepadanya tidak mengurangi sedikitpun terhadap prasangka baiknya.

Berbagai ujian, cobaaan, musibah dan rintangan kehidupan yang kadang datang bertubi-tubi tidak menghalangi mereka untuk berprasangka terhadap Allah Ta’ala.

Lain halnya dengan orang awam, di mana prasangka baiknya kepada Allah lahir dari
perbuatan Allah yang telah memberinya berbagai kenikmatan, sehingga ketika
mendapatkan ujian, cobaaan, musibah dan rintangan kehidupan, kadang prasangka baiknya kepada Allah berkurang. Yaitu ketika pemikiran dan perenungannya atas berbagai nikmat Allah melemah (Iqadh al-Himam, 54).

Sebab itu, ketika mendapat ujian hidup hendaknya orang mengingat berbagai nikmat Allah yang telah dianugerahkan kepadanya dan tidak terhitung jumlahnya, menerimanya dengan penuh kerelaan, sekaligus tetap optimis dan berprasangka baik kepada Allah—subhanahu
wa ta’ala—seiring firman-Nya dalam hadits qudsi:

أَنَا عِنْدَ ظَنِّ عَبْدِي بِي، فَلْيَظُنَّ بِي مَا شَاءَ. (رواه الطبراني والحاكم. صحيح)

“Aku (Allah) ada pada prasangka hamba-Ku kepada-Ku, karnanya hendaklah ia
berprasangka semaunya kepada-Ku.” (HR. at-Thabarani dan al-Hakim. Shahih)

Baca Juga: Hanya Kepada Allah Kita Mengadu (Hikam-38)

إَنَّ حُسْنَ الظَّنِّ بِاللهِ مِنْ حُسْنِ عِبادَةِ اللهِ. (رواه أحمد والترمذي والحاكم. صحيح)

“Sungguh berprasangka baik kepada Allah termasuk ibadah yang baik kepada-Nya.” (HR.
Ahmad at-Tirmidzi dan al-Hakim. Shahih)

Berprasangka Baik dalam Urusan Dunia Akhirat

Dalam urusan duniawi hendaknya orang berprasangka baik kepada Allah. Percaya penuh
bahwa Allah akan memenuhi segala kebutuhannya. Begitu pula dalam urusan akhirat, orang seharusnya berprasangka baik kepada Allah. Terlebih menjelang kematiannya yang menjadi tempat paling utama berprasangka baik kepada-Nya, sesuai pesan Nabi Muhammad—shallallahu ‘alaihi wa sallam— tiga hari sebelum wafatnya:

لَا يَمُوتَنَّ أَحَدُكُمْ إِلَّا وَهُوَ يُحْسِنُ الظَّنَّ بِاللهِ. (رواه أحمد ومسلم. صحيح)

“Sungguh janganlah salah seorang dari kalian mati kecuali dalam kondisi berbaik sangka
kepada Allah. (HR. Ahmad dan Muslim. Shahih)

Hikmah Utama

Karenanya dalam kondisi apapun, ketika ditimpa berbagai ujian, cobaaan, musibah dan
rintangan kehidupan, kita harus tetap optimis dan berprasangka baik kepada Allah—subhanahu wa ta’ala—. Begitu pula terkait urusan apapun, urusan dunia maupun akhirat, terlebih menjelang kematian yang pasti datang pada saatnya.

Baca: Seri Artikel Kajian Hikam

Referensi :
1. Ibn ‘Ujaibah, Iqazh al-Himam, 54.
2. Abdurrahman bin Abi Bakr as-Suyuthi, al-Jami’ as-Shaghir, II/140.
3. Abdul Majid as-Syarnubi, Syarh al-Hikam al-‘Athaiyyah,49.
4. Dll.


Ilustrasi: healthio