Kadangkala di sebuah surau atau langgar di desa terpencil, imam salat adalah seseorang yang telah lanjut usia, yang bacaan salatnya tidak lagi fasih. Kadang salah-salah dalam membaca surat Al-fatihah, entah makhraj yang tidak tepat, atau ada satu dua huruf yang tidak terbaca.
Atau bukan seorang simbah-simbah, imamnya masih muda. Tegas orang dan lantang suaranya. Jelas pula pengucapan kalimatnya. Namun, karena tinggal di daerah yang istilahnya masih “abangan”, yang kebanyakan orang masih awam sekali akan pengetahuan agama, akhirnya bacaan salatnya saat dilantunkan juga ternyata banyak yang keliru.
Ketika sedang bermusafir lalu tak sengaja bermakmum di sebuah masjid atau surau, dan ternyata menemukan imam dengan kasus semacam itu, orang kadang jadi dilema. “Wah, bagaimana ini, salat saya sah apa tidak ini?” Mungkin dalam hati ada unek-unek demikian.
Atau yang lebih kompleks adalah saat menetap tinggal di sebuah desa dengan kondisi semacam itu. Bisa-bisa timbul masalah besar, jika terang-terangan mempertanyakan keabsahan salat sang imam. Bisa saja retak hubungan kemasyarakatan, dan pecah sudah keharmonisan.
Maka bagaimana baiknya?
Jika kita melihat konklusi dalam kitab-kitab fikih, sebuah syarat mutlak keabsahan salat adalah bacaannya harus benar.
Imam an-Nawawi menyebutkan setidaknya ada tiga pendapat mengenai hukum bermakmum kepada imam yang “ummi“, atau imam yang tidak bisa membaca bacaan surat Al-fatihah dengan benar. Sudah berusaha belajar membaca bacaan yang benar, tapi masih merasa kesulitan, dan belum bisa menguasai. Bukan orang yang salah-salah dalam membaca, sebab enggan belajar sama sekali.
فَإِنْ أَخَلَّ بِأَنْ كَانَ أُمِّيًّا، فَفِي صِحَّةِ اقْتِدَاءِ الْقَارِئِ بِهِ ثَلَاثَةُ أَقْوَالٍ. الْجَدِيدُ الْأَظْهَرُ: لَا تَصِحُّ. وَالْقَدِيمُ: إِنْ كَانَتْ سِرِّيَّةً صَحَّ، وَإِلَّا فَلَا. وَالثَّالِثُ: مُخَرَّجٌ أَنَّهُ يَصِحُّ مُطْلَقًا. هَكَذَا نَقَلَ الْجُمْهُورُ. وَأَنْكَرَ بَعْضُهُمُ الثَّالِثَ
“Jika orang yang menjadi imam itu adalah yang tidak bisa membaca Al-Fatihah dengan benar (ummy), maka terkait keabsahan salat bagi makmum yang fasih membaca Al-Fatihah ada tiga pendapat: pertama menurut qoul jadid tidak sah salatnya, pendapat kedua menurut qoul qadim sah jika sedang salat sirriyyah (tidak mengeraskan suara: dhuhur dan ashar), tapi jika salat jahriyyah (mengeraskan suara: subuh, magrib, isya) tidak sah, pendapat ketiga, pendapat mukharraj (pendapat lemah), salatnya sah secara mutlak”. (Imam an-Nawawi, Raudhatul Thalibin [Beirut, Al-Maktab al-Islamy, 1991 M.], juz 1, hal. 349.)
Memang, jika kita sebagai makmum bisa membaca bacaan rukun qauly dalam salat, seperti surat Al-fatihah dengan baik dan benar, menurut pendapat paling kuat, salat kita akhirnya jadi tidak sah jika tetap berjamaah kepada imam tersebut.
Masalah ini juga sudah disadari sejak lama. Hal yang kompleks, dan rawan menimbulkan konflik, bila akhirnya berdalil qoul tersebut, kemudian lantang memprotes orang dengan kriteria “ummi” tadi sebagai imam salat. Bisa-bisa muncul sakit hati, lalu timbul perpecahan di masyarakat. Ada yang sudah “terlanjur setia” dengan imam tersebut.
Kebenaran memang kadang akhirnya nampak menjadi salah, jika disampaikan dengan cara yang keliru. Oleh karena itu dalam kitab-kitab klasik, jika ingin mengikuti qoul pertama yang paling kuat, namun tidak ingin terjadi salah paham, kita bisa tetap salat dibelakang imam, namun tidak niat bermakmum.
Salat dengan niat munfarid, atau seorang diri. Namun gerakan salatnya dibuat seolah-olah sedang dalam kondisi berjamaah. Jika imam tasyahud, kita ikut tasyahud, jika imam sujud, kita ikut sujud, jika imam masih berdiri membaca Al-fatihah dan surat pendek, kita juga ikut membaca Al-fatihah dan bacaan surat hingga imam rukuk. Seolah-olah sedang berjamaah, padahal kenyataannya tidak. Hanya gerakan salat kita saja yang kebetulan berbarengan dengan imam.
وَلَمْ يَذْكُرْ مُحْتَرَزَ قَوْلِهِ لِلْمُتَابَعَةِ وَمُحْتَرَزُهُ مَا لَوْ انْتَظَرَهُ كَثِيرًا لِأَجْلِ غَيْرِهَا كَدَفْعِ لَوْمِ النَّاسِ عَلَيْهِ كَأَنْ كَانَ لَا يُحِبُّ الِاقْتِدَاءَ بِالْإِمَامِ لِغَرَضٍ وَيَخَافُ لَوْ انْفَرَدَ عَنْهُ حِسًّا صَوْلَةَ الْإِمَامِ أَوْ لَوْمَ النَّاسِ عَلَيْهِ لِاتِّهَامِهِ بِالرَّغْبَةِ عَنْ الْجَمَاعَةِ فَإِذَا انْتَظَرَ الْإِمَامُ كَثِيرًا لِدَفْعِ هَذِهِ الرِّيبَةِ فَإِنَّهُ لَا يَضُرُّ كَمَا قَرَّرَهُ شَيْخُنَا ح ف
“Penulis kitab tidak menampilkan pengecualian dari diksi “lil mutaba’ah” (bertujuan mengikuti gerakan imam). Sedangkan pengecualiannya adalah ketika seseorang menunggu gerakan imam dalam jeda yang lama dengan tujuan selain mengikuti gerakan imam, seperti bertujuan mencegah cercaan orang lain padanya.
Misalnya seperti halnya ketika ia tidak senang salat dengan imam karena suatu hal dan ia khawatir jika ia shalat sendirian dari imam akan diserang oleh imam. Atau ketika ia salat sendirian khawatir akan dicaci oleh orang lain karena akan dianggap ia tidak senang salat berjamaah.
Maka ketika ia menunggu imam dalam jeda yang lama (dan mengikuti gerakan-gerakan imam, padahal ia tidak niat berjamaah dengan imam) karena bertujuan mencegah terjadinya kekhawatiran di atas, salatnya tetap sah seperti halnya yang telah ditetapkan oleh guruku imam al-Hafni.” (Syaikh Sulaiman bin Muhammad al-Bujairami, Hasyiyah al-Bujairami ala al-Manhaj, [Maktabah al-Halaby, 1950 M.], juz 1, hal. 330.)
Sebenarnya salat bisa batal, bila tidak bermakmum, namun sengaja menyamai dan mengikuti gerakan imam, kemudian misalnya berdiri terlalu lama tanpa membaca bacaan apapun. Akan tetapi, dalam beberapa kondisi, misalnya khawatir terjadi hal yang tidak diinginkan seperti dalam keterangan dalam kitab al-Bujayrami diatas, hal tersebut dapat ditoleransi.
Namun sebenarnya kita masih bisa memakai qoul kedua, dan ketiga, sebagai alternatif dan solusi. Menurut qoul qodim, meskipun imam salat berstatus “ummi“, makmum masih sah salatnya dalam salat-salat jamaah yang sirriyyah, atau tidak mengeraskan bacaan salat, seperti dzuhur dan ashar. Karena menurut qoul qodim, imam tidak menanggung bacaan makmum dalam salat sirriyyah, tapi makmum bertanggung jawab atas bacaan masing-masing. (Imam Rafi’i, Fathul Aziz Syarah al-Wajiz [Beirut, DKI, 1997 M.], juz 2, hal.158.)
Atau alternatif terakhir, menurut qoul ketiga, salatnya makmum sah lima waktu secara mutlak. Baik sirriyyah maupun jahriyyah, yaitu salat yang disunnahkan untuk mengeraskan bacaannya.
Pendapat terakhir ini bisa dipakai sebagai alternatif pamungkas, agar jika menjadi musafir kita tidak jadi berburuk sangka kepada penduduk desa, atau bila menetap di sebuah desa tidak terlalu keras dan memaksakan diri mengikuti pendapat terkuat. Kemudian akhirnya justru lantang memvonis kalau salatnya orang satu kampung yang berjamaah di masjid tidak sah semua.
Bahwa ternyata masih ada qoul dhoif, atau pendapat yang walaupun lemah pijakan dalilnya, namun masih mengesahkan salat mereka. Kemudian, dengan pendekatan yang baik dan santun, perlahan-lahan kita memasyarakatkan bagaimana cara membaca bacaan salat yang baik dan benar.
Wallahu a’lam.