Sombong di Depan Orang Sombong, Benar Boleh?

0
300

Acapkali kita dengar para muballigh berseloroh, “sombong pada orang yang sombong adalah sedekah.”

التكبر على المتكبر صدقة

Padahal, celaan demi celaan, ancaman demi ancaman yang menunjukkan keharaman bagi orang yang berlaku sombong dapat dengan mudah ditemukan. Baik di dalam ayat-ayat Al-Qur’an, hadis-hadis nabi, hingga perkataan para ulama. 

Bahkan ibnu Hajar al-Haitami di dalam kitab al-Zawajirnya mengatakan, perilaku sombong adalah maksiat hati dan tergolong ke dalam dosa besar.

Benarkah perkataan di atas termasuk hadis?

Di dalam kitab tafsirnya, Ruh al-Bayan, syekh Ismail Haqi, ketika beliau mengutip perkataan itu, beliau menggunakan redaksi  berikut: 

وفي قوله عليه السلام التكبر على المتكبر صدقة

Redaksi ini lazim digunakan untuk menyebutkan sebuah hadis.

Hal senada juga bisa kita jumpai di dalam kitab Bariqah Mahmudiyah, yang disusun oleh syekh Muhammad al-Khadimi. Ketika beliau mengutip perkataan itu, beliau menggunakan lafad warada.

والتكبر حرام الا على المتكبر فإنه قد ورد فيه أنه صدقة على من تكبر عليه كما ورد : التكبر على المتكبر صدقة. 

Redaksi warada ini juga lazim digunakan untuk menyampaikan sebuah hadis.

Beberapa ulama lain berpendapat berbeda. Mereka menyebut bahwa perkataan itu ‘hanyalah’ atsar, sebatas perkataan sahabat. Keterangan ini bisa kita temukan di dalam kitab Faid al-Qadir, milik syekh Muhammad bin Abdurrauf al-Munawi. Kita juga bisa menemukannya di dalam kitab tafsir Al-Baidlawi. Pun demikian dengan kitab yang lain. Banyak yang menyebutkan dengan jelas bahwa perkataan itu adalah astar. Sama sekali bukan hadis Nabi.

Tidak ditemukannya fakta bahwa perkataan itu adalah hadis, juga tidak jelas siapa yang mengawalinya, membuat imam Fahrurrazi menyebut perkataan itu sebagai perkataan biasa saja.

وفي الكلام المشهور التكبر على المتكبر صدقة

“Dan (termasuk) di dalam perkataan yang masyhur, (sebuah perkataan) ‘sombong pada orang yang sombong adalah sedekah’.”

Perkataan ini ternyata tidak terdapat di dalam kitab-kitab hadis. Para pakar hadis ternama juga hanya diam. Tidak pernah membahas perkataan ini. 

Karena yang terjadi demikian, maka pada akhirnya mayoritas ulama mengatakan perkataan itu bukan hadis. Sebagian mengatakan atsar, bahkan ada yang menganggapnya hanya perkataan ulama saja.

Jika memang begitu, apakah lantas perkataan ini boleh digunakan sebagai dalil untuk melegalkan sifat sombong? Di bawah ini ada beberapa poin yang bisa dipertimbangkan.

Adakah sombong yang dilegalkan agama?

Menyombongkan diri tentu sudah jelas dilarang oleh agama. Namun, apakah ada pengecualian di mana agama justru melegalkan kesombongan?

Ada kutipan hadis yang perlu kita simak benar-benar. Hadis ini diriwayatkan oleh imam Abu Dawud di dalam kitab Sunannya:

حَدَّثَنَا مُسْلِمُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ، وَمُوسَى بْنُ إِسْمَاعِيلَ، الْمَعْنَى وَاحِدٌ، قَالَا: حَدَّثَنَا أَبَانُ، قَالَ: حَدَّثَنَا يَحْيَى، عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ إِبْرَاهِيمَ، عَنْ ابْنِ جَابِرِ بْنِ عَتِيكٍ، عَنْ جَابِرِ بْنِ عَتِيك، أَنَّ نَبِيَّ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَقُولُ: مِنَ الْغَيْرَةِ مَا يُحِبُّ اللَّهُ وَمِنْهَا مَا يُبْغِضُ اللَّهُ، فَأَمَّا الَّتِي يُحِبُّهَا اللَّهُ فَالْغَيْرَةُ فِي الرِّيبَةِ، وَأَمَّا الْغَيْرَةُ الَّتِي يُبْغِضُهَا اللَّهُ فَالْغَيْرَةُ فِي غَيْرِ رِيبَةٍ، وَإِنَّ مِنَ الخُيَلَاءِ مَا يُبْغِضُ اللَّهُ، وَمِنْهَا مَا يُحِبُّ اللَّهُ، فَأَمَّا الْخُيَلَاءُ الَّتِي يُحِبُّ اللَّهُ فَاخْتِيَالُ الرَّجُلِ نَفْسَهُ عِنْدَ الْقِتَالِ، وَاخْتِيَالُهُ عِنْدَ الصَّدَقَةِ، وَأَمَّا الَّتِي يُبْغِضُ اللَّهُ فَاخْتِيَالُهُ فِي الْبَغْيِ قَالَ مُوسَى:  وَالْفَخْرِ

“Telah bercerita kepada kami muslim bin ibrohim dan musa bin ismail, yang kedua maknanya sama. Keduanya berkata: telah bercerita kepada kami Aban, ia berkata:  telah menceritakan kepada kami Yahya dari Muhammad bin Ibrahim dari putra Jabir bin ‘Atik dari Jabir bin ‘Atik, bahwa Nabi saw. pernah bersabda: ‘sebagian dari cemburu (tidak suka), ada cemburu yang disenangi oleh Allah Swt., ada pula yang dibenci oleh Allah. Cemburu yang disukai oleh Allah adalah cemburu pada keraguan. Dan cemburu yang tidak disukai oleh Allah adalah cemburu pada sesuatu yang tidak ada keraguan darinya. Dan sungguh sebagian dari kesombongan ada sombong yang dibenci oleh Allah dan ada pula sombong yang disukai oleh Allah. Sombong yang disukai oleh alloh adalah sombongnya seseorang ketika berperang dan sombongnya seseorang ketika bersedekah. Adapun sombong yang dibenci oleh Allah adalah sombongnya seseorang dalam kezaliman. Musa berkata: dan (sombong dalam) kehormatan.”

Dari hadis di atas, ada dua kesombongan yang diperbolehkan di dalam agama, yakni menyombongkan diri dalam peperangan dan menyombongkan diri ketika bersedekah.

Syekh al-Khadimi mengatakan, sombong yang dilegalkan dalam peperangan yakni sombong yang bertujuan untuk memecah belah konsentrasi musuh. Sehingga, mereka akan dengan mudah bisa dikalahkan. 

Dan masih menurut al-Khadimi, yang dimaksud dengan sombong ketika bersedekah ialah menampakkan ketidakbutuhan pemberi sedekah atas harta yang disedekahkannya. Hal ini agar orang miskin yang menerimanya tidak merasa direndahkan dan sakit hati atas pemberian itu. Sehingga tercapai prinsip dasar bersedekah, yakni menghormati, memuliakan, dan menyenangkan orang fakir.

Selain dua hal di atas, ternyata ada dua lagi kesombongan yang diperbolehkan. Pertama, sombong kepada orang yang sombong. Kedua, sombong kepada orang yang riya’.

Para ulama setuju, bahwa untuk menyadarkan orang yang sombong itu diperbolehkan dengan cara menyombongkan diri pula kepadanya. Melebihi kesombongan yang dilakukannya.

Imam Syafi’i berkata:

تكبر على المتكبر مرتين

“Sombongilah orang yang menyombongkan diri dua kali lipat dari kesombongannya.”

Sebab jika dibiarkan, justru orang yang sombong ini akan makin menjadi-jadi dalam kesesatannya.

Lalu, diperbolehkan pula menyombongkan diri pada orang yang riya’ atas harta kekayaannya. Hal ini boleh dilakukan agar pelakunya sadar bahwa di atas langit masih ada langit.

Kesimpulan

Ada empat kesombongan yang diperbolehkan oleh agama: sombong dalam perang; sombong dalam bersedekah; sombong kepada orang yang sombong; dan sombong kepada orang yang doyan pamer.

Memang benar keempat hal ini diperbolehkan. Hanya saja ke-empat-empatnya ini tidak bisa direkomendasikan untuk semua orang.

Imam al-Baidlawi mengatakan, menyombongkan diri yang dimaksud hanyal sebatas surah—luarnya saja. Tidak boleh sampai pada hati. Menurut syekh al-Maula al-Muhassi, kebolehan menyombongkan diri di atas harus tidak melibatkan hati. Jika hatinya juga ikut-ikutan sombong pula, maka jelas tidak diperbolehkan dan haram hukumnya. Wallahu a’lam.

Penulis: Muhammad Atid. Alumnus Pondok Pesantren Lirboyo (2017), Kediri. Tinggal di Pontianak, Kalimantan Barat dan aktif pada kegiatan bahtsul masail di lingkungan Nahdlatul Ulama (NU).