Suatu ketika, seorang pemuda bertanya kepada Imam Hasan Al-Basri;
“Aku telah banyak melakukan maksiat, mengapa aku tidak dihukum oleh Allah?”
Lantas imam Hassan Al-Basri balik bertanya kepada pemuda itu,
“Apakah setiap malam kamu bangun tahajud?”
“Tidak.” Ujar pemuda itu.
“Itulah hukuman kamu yang seberat-beratnya. Tiada hukuman yang lebih perih jika Allah subhanahuwata’ala telah berpaling darimu. Dia tidak lagi mau ‘berbicara’ dan ‘mendengar bicara’ darimu, dibiarkan lena itu panjang padamu. Cukuplah Allah subhanahuwata’ala menarik nikmat dan kelazatan tahajjud dalam dirimu itu sebagai hukuman kepadamu“
Yah, benar. Betapa sering sebenarnya Tuhan telah menghukum kita, namun kita tak pernah menyadarinya.
Dikutip dari kitab Shaidul Khatir:
وربما رأي العاصی سلامة بدنه و ماله فظن أن لا عقوبة ، وغفلته مما عوقب به عقوبة ، وقد قال الحكماء : “المعصية بعد المعصية عقاب المعصة ، والحسنة بعد الحسنة ثواب الحسنة ،، وربما كان العقاب العاجل معنويا كما قال بعض أحبار بني امرائيل : ” با رب كم أعصيك ولا تعاقبني ، فقیل له : ” كم أعاقبك ولا تدري ، أليس قد حرمتك حلاوة مناجاني؟ “
“Terkadang orang yang bermaksiat melihat keselamatan pada diri dan harta bendanya. Lalu menyangka bahwa dia tidak mendapatkan siksaan sama sekali. Padahal lupa dirinya adalah bagian dari satu bentuk siksaan.
Bijak bestari berkata: ‘kemaksiatan yang dilakukan setelah perbuatan maksiat, merupakan hukuman atas maksiat sebelumnya. Dan perbuatan baik yang dilakukan setelah perbuatan baik, merupakan balasan bagi perbuatan baik sebelumnya.’
Dan terkadang hukuman Allah yang disegerakan di dunia itu bersifat maknawi, sebagaimana munajat seorang pemuka Bani Israil: “Wahai Tuhanku, betapa banyak aku bermaksiat kepadamu tetapi Engkau tiada menghukumku“.
Maka dikatakanlah kepadanya: “Betapa banyak Aku menghukummu tetapi kau tidak mengetahuinya. Tidakkah sudah Aku halangi engkau untuk mendapatkan manisnya munajat kepada-Ku?” (Imam Ibnul Qayyim al-Jauzi, Shaidul Khatir, [Damaskus, Darul Fikr, 1960 M.], Vol. I. Hal. 85.)
Baca juga: Benarkah Surah al-Ikhlas Setara Sepertiga Al-Qur’an
***
Kita tak seharusnya memahami bentuk “hukuman Tuhan” kepada hamba-Nya yang berdosa adalah semata-mata hanya hukuman dalam arti kasat mata. Banjir di era nabi Nuh ‘alaihissalam, hancurnya kota Sodom dan Gomora, tanah longsor, gempa bumi, atau kecelakaan parah.
Tapi ada juga hukuman dalam arti tak kasat mata. Dan itu sebenarnya jauh lebih “menyakitkan”, karena dalam beberapa hal, kejadian nyata semacam kecelakaan atau musibah lain seperti hilangnya materi justru pada akhirnya akan membuat seseorang sadar.
Namun tatkala orang melakukan dosa, kemudian ia “dihukum” dengan perlahan-lahan akan semakin jauh dengan Tuhannya, maka itu sebenarnya jauh lebih menyakitkan. Sebab ia sendiri bahkan tidak pernah menyadari kalau ia sedang dihukum.
فرب شخص أطلق بصره فحرم اعتبار بصيرته ، أو لسانه فحرم صفاء قلبه ، أو آثر شبهة في مطعمه فاظلم سره ، وحرم قیام الليل ، وحلاوة المناجاة ، أو غير ذلك .
“Betapa banyak orang yang mengumbar penglihatannya, hingga tidak mampu mengambil nasihat dari mata hatinya. Atau mulutnya, sehingga terhalang bersih hatinya. Atau mendapat dampak buruk makanan syubhat, hingga jadi tercela kelakuannya, dan tidak mampu melakukan salat malam, juga hilang sudah manisnya munajat kepada-Nya. Dan banyak lagi bentuk hukuman-hukuman yang lain.” (Imam Ibnul Qayyim al-Jauzi, Shaidul Khatir, [Damaskus, Darul Fikr, 1960 M.], Vol. I. Hal. 85-86.)
Hari-hari berlalu dengan percuma. Waktu juga lewat dengan sia-sia. Hendak melakukan ibadah sunnah terasa berat. Alquran tak pernah dibaca, dzikir dan salat malam apalagi. Seakan hidup hanya fokus dengan dunia.
Mungkin ia masih diberi kesempatan melakukan salat lima waktu dan puasa Ramadhan. Namun ia tidak pernah menemukan dimanakah letak “kenikmatan” dari ibadahnya. Salat terasa hambar, seperti hanya melakukan ritus yang monoton. Seakan-akan salat hanya dilakukan untuk “menebus” kewajiban saja.
Yah, itu karena Allah subhanahuwata’ala telah mencabut rasa manis ibadah seorang hamba. Seperti kisah pemuka Bani Israil di atas.
Ikuti Live Ngaji Ramadan setiap hari di halaman facebook kami
***
Pernahkah kita menyadari, bahwa saat Allah subhanahuwata’ala hanya memberikan sedikit taufiq untuk beribadah, atau bahkan mencabutnya sama sekali, itu bukan sebuah hukuman?
Bahwa Allah subhanahuwata’ala tidak mengizinkan seseorang untuk menyebut nama-Nya, dengan cara membuat lisan orang tersebut berat melantunkan dzikir juga ayat suci. Lalu mulutnya dibuat merasa ringan dan bersemangat untuk sibuk dengan obrolan yang tidak penting?
Bahwa Allah subhanahuwata’ala tidak ingin mendengar doanya, hingga seseorang dibuat lupa untuk berdoa.
Bahwa Allah subhanahuwata’ala telah menjauh darinya, sehingga seseorang dibuat merasa berat untuk bangun malam, untuk menyentuh air wudhu dan salat tahajud.
Bahwa banyak bulan-bulan mulia telah berlalu, namun kita kadang tak mengambil manfaat darinya. Tidak menjalankan puasa Rajab, puasa enam hari bulan Syawal, bulan Ramadhan juga banyak kosong dari berbagai bentuk dari ibadah.
Bahwa sebenarnya salah satu bentuk hukuman terberat yang tak pernah kita sadari ternyata bukanlah kehilangan materi. Sebab harta benda atau jabatan yang pergi bisa dicari. Tapi hukuman terberat adalah saat pada akhirnya Allah subhanahuwata’ala telah menutup diri dan hati seseorang untuk berbuat baik. Waktu yang dilakukan untuk beribadah tanpa disadari menjadi kian sedikit. Pun ketika suatu saat bermunajat, tak ada manis yang dirasakan.
Banyak manusia dihukum, dan dibuat tidak sadar bahwa mereka sedang dihukum. Sehingga mereka terus menerus berada dalam kondisi demikian.
***
Wallahu a’lam.