Pendayagunaan Zakat dan Permasalahannya

Pendayagunaan berasal dari kata “guna” yang berarti manfaat. Pengertian pendayagunaan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah: a) pengusahaan agar mampu mendatangkan hasil dan manfaat; dan b) pengusahaan (tenaga dan sebagainya) agar mampu menjalankan tugas dengan baik. Dari sini dapat disimpulkan bahwa pendayagunaan adalah cara atau usaha untuk mendatangkan hasil dan manfaat yang lebih besar serta lebih baik.

Dalam penyaluran zakat, ada dua macam cara, yaitu:

1. Penyaluran zakat secara langsung, dalam hal ini harta zakat diberikan secara langsung kepada mustahiq, tanpa tindak lanjut dan tanpa memberi arahan agar menjadi lebih mandiri.
2. Penyaluran zakat dengan pendayagunaan, yaitu penyaluran zakat yang disertai pemahaman utuh terhadap permasalahan para mustahiq. Apabila permasalahannya adalah permasalahan kemiskinan, maka harus diketahui penyebab kemiskinan tersebut sehingga dapat dicari solusi yang tepat demi tercapainya target yang telah direncanakan.

Dalam prakteknya, penyaluran zakat dengan pendayagunaan ada beberapa macam:

1. Pemberian/peminjaman bantuan modal;
2. Pelatihan ketrampilan kerja;
3. Bantuan sarana dan pra sarana usaha;
4. Mengelola harta zakat dalam bentuk suatu usaha yang hasilnya diberikan kepada mustahiq.

Hukum Pendayagunaan Zakat

Pada dasarnya tugas utama amil adalah menyampaikan harta zakat kepada para mustahiq, sebab harta zakat adalah milik mereka, karenanya amil tidak boleh menasarufkannya tanpa seizin mereka. Syaikh Abu Ishaq as-Syairazi menjelaskan:

وَلاَ يَجُوْزُ لِلسَّاعِيْ وَلاَ لِلْإِمَامِ اَنْ يَتَصَرَّفَ فِيْمَا يَحْصُلُ عِنْدَهُ مِنَ الْفَرَائِضِ حَتَّى يُوْصِلَهَا اِلَى اَهْلِهَا لِأَنَّ الْفُقَرَاءَ اَهْلُ رُشْدٍ لاَ يُوَلَّى عَلَيْهِمْ فَلاَ يَجُوْزُ التَّصَرُّفُ فِيْ مَالِهِمْ بِغَيْرِ اِذْنِهِمْ.[1]

“Sa’i (amil zakat) dan Imam tidak boleh menasarufkan zakat yang diurusnya hingga menyampaikannya kepada orang yang berhak atasnya, sebab para fakir adalah ahl rusyd (mampu mengurus dirinya sendiri) dan di bawah kuasa orang lain, sehingga tidak boleh menasarufkan harta mereka tanpa seizinnya.”

Inilah prinsip pendayagunaan harta zakat yang harus diperhatikan oleh para amil, sehingga terhindar dari pendayagunaan yang tidak dilegalkan oleh syariat. Berikut ini hukum beberapa seputar pendayagunaan harta zakat yang berkembang di Indonesia:

1. Peminjaman

Berangkat dari prinsip di atas, dalam penyaluran zakat kepada mustahiq, harta zakat tidak boleh diserahkan sebagai pinjaman modal usaha.[2]

2. Pemberian Alat Kerja atau Modal Dagang

Amil boleh memberikan zakat kepada mustahiq berupa alat-alat kerja sesuai keterampilannya atau sebagai modal berdagang bila hal ini dipandang lebih maslahat bagi kebutuhan mustahiq. Secara panjang lebar Imam Ibn Hajar al-Haitami menjelaskan:

أَمَّا مَنْ يُحْسِنُ حِرْفَةً تَكْفِيهِ الْكِفَايَةَ اللَّائِقَةَ بِهِ كَمَا مَرَّ أَوَّلَ الْبَابِ فَيُعْطَى ثَمَنَ آلَةِ حِرْفَتِهِ وَإِنْ كَثُرَ. وَظَاهِرٌ أَنَّ الْمُرَادَ بِإِعْطَاءِ ذَلِكَ لَهُ الْإِذْنُ لَهُ فِي الشِّرَاءِ أَوْ الشِّرَاءُ لَهُ نَظِيرُ مَا يَأْتِي؛ أَوْ تِجَارَةً فَيُعْطَى رَأْسَ مَالٍ يَكْفِيهِ كَذَلِكَ رِبْحُهُ غَالِبًا بِاعْتِبَارِ عَادَةِ بَلَدِهِ فِيمَا يَظْهَرُ، وَيَخْتَلِفُ ذَلِكَ بِاخْتِلَافِ الْأَشْخَاصِ وَالنَّوَاحِي. وَقَدَّرُوهُ فِي أَرْبَابِ الْمَتَاجِرِ بِمَا كَانُوا يَتَعَارَفُونَهُ، وَأَمَّا الْآنَ فَلَا يَنْضَبِطُ إلَّا بِمَا ذَكَرْتُهُ.[3]

“Adapun orang yang menguasai suatu ketrampilan kerja yang hasilnya dapat mencukupi kebutuhan sepantasnya sebagaimana keterangan di awal bab, maka diberi zakat berupa harfta yang cukup untuk membeli alat sesuai keterampilan kerjanya, meskipun banyak. Dan jelas bahwa maksud memberikan harta tersebut kepadanya adalah memberi izin baginya untuk membeli alat kerjanya tersebut, atau dibelikan untuknya (pembelian dilakukan oleh amil untuk diberikan kepadanya) sesuai padanan kasus yang akan dijelaskan nanti. Adapun orang yang pandai berdagang, maka diberi modal yang secara umum hasilnya dapat mencukupi kebutuhannya dengan mempertimbangkan adat daerah tempat tinggalnya menurut analisis yang jelas, dan hal itu berbeda-beda sebab perbedaan orang maupun tempat tinggalnya. Para ulama telah menetapkan kadar harta zakat yang diberikan bagi orang-orang yang biasa berdagang dengan standard kebiasaan mereka. Namun untuk zaman sekarang, kadar itu tidak baku kecuali dengan standard adat daerah yang telah aku sebutkan.”

Khusus berkaitan dengan kebolehan amil memberikan zakat kepada mustahiq berupa alat-alat kerja sesuai keterampilannya, Syaikh Abdul Hamid as-Syirwani dan Syaikh Ibn Qasim al-‘Abbadi secara berurutan menjelaskan:

(قَوْلُهُ: أَوْ الشِّرَاءَ لَهُ) أَيْ: شِرَاءَ الْإِمَامِ، أَوْ نَائِبِهِ لِلْمُسْتَحِقِّ فَيَجْزِي قَبْضُهُ؛ لِأَنَّهُ كَقَبْضِ الْمُسْتَحِقِّ. اهـ[4]

“Ungkapan Ibn Hajar: ‘Atau dibelikan untuknya’. Maksudnya Imam atau penggantinya yang membelikan untuk mustahiq, sehingga hal itu mencukupi sebagai penerimaan mustahiq atas zakatnya, karena pembelian tersebut seperti penerimaan mustahiq atas zakatnya. Sekian”

(قَوْلُهُ: أَوْ الشِّرَاءُ لَهُ) هَذَا يُفِيدُ الْإِجْزَاءَ هُنَا مَعَ عَدَمِ قَبْضِ الْمُسْتَحِقِّ، ثُمَّ رَأَيْت مَا يَأْتِي مِمَّا يَدُلُّ لَهُ عَلَى هَذَا. [5]

“Ungkapan Ibn Hajar: ‘Atau dibelikan untuknya’. Pernyataan ini memberi pemahaman dalam hal ini cukup dibelikan tanpa harta zakat itu diterima secara nyata oleh mustahiq. Lalu aku melihat keterangan yang akan dijelaskan nanti yang menunjukkan kebolehannya tersebut.”

3. Pelatihan Kerja

Dalam penyaluran zakat, harta zakat tidak boleh dibelanjakan untuk pelatihan kerja bagi para mustahiq.[6]  Sebagai solusinya, amil dapat bekerja sama dengan pihak lain/instansi terkait tanpa menggunakan harta zakat.

4. Izin Pengelolaan Harta Zakat

Sebagaimana telah dijelaskan di awal, bahwa kewajiban utama amil adalah menyampaikan harta zakat kepada  mustahiq. Namun demikian, bila dalam suatu kondisi harta zakat dipandang lebih membawa kemaslahatan bagi mustahiq dengan didayagunakan dan dikembangkan dalam suatu usaha, maka harus memenuhi empat (4) ketentuan sebagai berikut:

1. Mendata dan menentukan mustahiq zakat yang harta zakatnya akan didayagunakan atau dikembangkan.[7]
2. Memenuhi kebutuhan konsumtif mustahiq yang bersifat mendesak.[8]
3. Menyerahterimakan harta zakat kepada masing-masing mustahiq yang telah terdata sehingga harta tersebut benar-benar menjadi milik mereka.[9]
4. Mendapatkan izin pengelolaan harta zakat[10] (yang sebenarnya statusnya bukan lagi merupakan harta zakat, sebab sudah menjadi milik masing-masing mustahiq).

Setelah keempat ketentuan ini terpenuhi, maka harta milik masing-masing mustahiq tersebut boleh didayagunakan dalam suatu usaha yang aman, jelas menghasilkan keuntungan dan sesuai dengan prinsip-prinsip syariat.[11]

Perlu diperhatikan pula, dalam pendayagunaaan seperti ini, sebenarnya amil tidak lagi berstatus sebagai amil zakat, akan tetapi berstatus sebagai mitra kerja para mustahiq sesuai akad yang dilakukan. Karena itu, status kepemilikan keuntungan usaha dan penanggung jawab kerugian disesuaikan dengan prinsip-prinsip akad yang ada dalam kitab-kitab fikih.

---

Judul Asli: Pendayagunaan Zakat.

Keputusan Bahtsul Masail PWNU Jawa Timur
Komisi Maudhu’iyyah
di PP Sunan Bejagung Semanding Tuban
Sabtu-Ahad, 24-25 Jumadal Ula 1439 H /10-11 Februari 2018 M

Mushahih: KH. Arsyad Bushairi; KH. Shofiyulloh

Perumus: KH. Azizi Hasbullah; KH. Suhaeri Idrus; KH. Fauzi Hamzah Syam

Moderator: Ahmad Muntaha AM; KH. Ali Maghfur Syadzili

Notulen: K. Ma’ruf Khozin; KH. Fariz Khairul Anam

Klik Untuk Referensi Lengkap