Bisri Mustofa
(1914-1977)
Kyai Haji Bisri Musthafa bukan nama asing lagi bagi sebagian kalangan umat Islam Indonesia, khususnya di Pulau Jawa. Tampak sekilas ulama ini biasa-biasa saja sebagaimana ulama lain yang penuh dengan kesederhanaan dan keikhlasan berjuang. Pada umumnya ulama-ulama Indonesia abad ke-20 tidak banyak yang aktif dalam dunia karang mengarang, seakan-akan sudah mencukupkan diri dengan mengajarkan kitab-kitab kuning yang sudah ada sebelumnya, terutama ulama dari pulau Jawa, tetapi KH. Bisri Musthafa berbeda dengan mereka.
Kyai Haji Bisri Musthafa justru memiliki kelebihan di bidang ini, yang memang telah digelutinya sejak usia muda. Kyai Bisri terkenal sebagai seorang yang fasih di atas panggung maupun di atas kertas. Beliau adalah seorang tokoh Nahdlatul Ulama yang sudah terbiasa berdakwah billisan, sehingga tampil sebagai seorang ulama orator yang cukup terkenal. Kebanyakan ulama ataupun tokoh yang lancer sekali dalam pidato, biasanya kurang lancer dalam tulis-menulis, apalagi tokoh organisasi. Lain halnya dengan Kyai Bisri Musthafa. Beliau memiliki kelebihan dalam keduanya, beliau seorang ulama orator sekaligus ulama muallif (ulama penulis), yang karya-karyanya tersebar di mana-mana di seluruh nusantara.
Kyai Bisri Musthafa dilahirkan tahun 1914 di kota Rembang, sebuah kota kabup[aten di pantai utara Jawa tengah. Putera pasangan KH. Zainal Musthafa dan Siti Khadijah ini terlahir dengan nama Mashadi yang kemudian diubah menjadi Bisri. Bisri memiliki beberapa saudara dari beberapa perkawinan ayahnya. Ayahnya, KH. Zainal Musthafa , menikah pertama kali dengan Dakilah berputra H. Zuhdi dan Maskanah, kemudian menikah lagi dengan Khadijah berputra Mashadi (Bisri Musthafa), dan terakhir menikah dengan Umu Salamah, yang kemudian melahirkan Misbah dan Maksum.
Pada tahun 1923 KH. Zainal Musthafa menunaikan ibadah haji bersama istrinya, Siti Khadijah, dan membawa serta anak-anaknya yang saat itu masih kecil. Ketika hendak pulang ke tanah air, di Pelabuhan Jeddah, KH. Zainal Musthafa jatuh sakit dan wafat di sana sehingga Hj. Khadijah bersama anak-anaknya saja yang pulang ke Indonesia, sementara jenazah suaminya harus rela dimakamkan di Jeddah.
Selanjutnya Mashadi bersama adik-adiknya yang masih kecil diasuh oleh kakak tirinya, H. Zuhdi (ayah Prof. Drs. Masfu’ Zuhdi) dan dibantu H. Mukhtar (suami Hj. Maskanah), di samping oleh ibu mereka sendiri. Bisri sempat belajar di sekolah Ongko Loro (Sekolah Rakyat atau Sekolah Dasar untuk bumi putera) hingga lulus. Selanjutnya beliau mengaji di Pondok Pesantren Kasingan, Rembang di bawah asuhan KH. Kholil. Di pesantren inilah Bisri memperdalam ilmu-ilmu keislaman. Untuk sementara waktu pernah juga beliau mengaji kepada KH. Maksum, pengasuh Pondok Pesantren Lasem. Beliau pernah bermaksud nyantri ke Pesantren Termas, Pacitan asuhan KH. Dimyati, tapi tidak kesampaian, kecuali hanya untuk mengaji tabarrukan (minta berkah) dari ulama tersebut.
Tampaknya KH> Kholil pengasuh Pondok Pesantren Kasingan berusaha memikat dan mengikat Bisri agar tidak sampai belajar jauh darinya dan hal ini ternyata ada maksudnya. Ulama tersebut menjodohkan Bisri dengan puterinya, Marfu’ah binti Kholil yang masih berusia sepuluh tahunan. Perkawinan ini terjadi pada tahun 1935 dan dari perkawinan tersebut mereka dikaruniai beberapa orang putera-puteri di antaranya: Kholil Bisri, Musthafa Bisri, Adib Bisri, Audah, Najikah, Labib, Nihayah dan Atikah. Kesemuanya adalah penerus perjuangan ayahandanya sebagai ulama atau sebagai istri dari ulama dan tokoh masyarakat.
Sebagai menantu seorang ulama pengasuh pesantren, KYai Bisri merasa kurang sekali. Beliau belajar secara berkala kepada kyai seniornya, Kyai Kamil di Karang Geneng, Rembang. Selanjutnya, pada tahun 1936 Kyai Bisri menunaikan ibadah haji ke tanah suci Mekah dan menetap di sana selama setahun dan baru pulang pada musim haji tahun berikutnya (1937). Beliau berusaha memperdalam ilmu-ilmu keislaman kepada ulama-ulama di sana di antaranya: Syeikh Hamdan al-Maghribi, Syeikh Alwi al-Maliki, Sayyid Amin, Syeikh Hasan Massyat dan Sayyid Alwi, juga kepada ulama-ulama asal Indonesia seperti KH. Abdul Muhaimin (menantu KH. Hasyim Asy’ari) dan KH. Bakir (asal Yogyakarta). Untuk pengembangan ilmunya KH. Bisri lebih banyak belajar sendiri sebagai seorang otodidak yang berhasil.
Sepulang dari ibadah haji, KH. Bisri Musthafa membantu KH. Kholil mengasuh santri Pondok Pesantren Kasingan, Rembang. Kemudian bersama keluarganya beliau kembali ke kampong halamannya dan mendirikan pesantren sendiri yang dalam perkembangannya diberi nama Raudlatut Thalibin. Pesantren ini mengalami pasang surut sebagaimana pesantren lain pada umumnya, terutama pada masa penjajahan Jepang dan Perang Kemerdekaan. Namun demikian pesantren yang didirikan dan diasuh oleh KH. Bisri Musthafa ini tetap hidup dan berkembang hingga sekarang, walaupun telah ditinggalkan oleh pendirinya menghadap panggilan al-Khaliq pada tahun 1977.
Di samping sebagai pengasuh pesantren, pada masa Perang Kemerdekaan, KH. Bisri diangkat oleh kementrian agama sebagai penghulu darurat, kemudian pada tahun 1950-an diangkat sebagai Kepala Kantor Urusan Agama (sekarang Kantr Departemen Agama) Kabupaten Rembang, dan Ketua Pengadilan Agama Kabupaten Rembang. Setelah pemilu 1955 ulama ini dipilih sebagai anggota konstituante mewakili Partai NU, selanjutnya anggota MPRS pada masa Demokrasi Terpimpin dan sebagai Pembantu Menteri Penghubung Alim Ulama. Setelah Pemilu 1971 beliau terpilih sebagai anggota DPRD Tingkat I Jawa Tengah mewakili Partai NU dan sebagai anggota MPR dari utusan Daerah.
Bisri Musthafa aktif dalam berbagai kegiatan organisasi sosial maupun politik sejak usia mudanya di masa penjajahan. Beliau pernah menjadi Ketua NU Cabang Rembang, kemudian Ketua Masyumi Cabang Rembang merangkap sebagai pimpinan Hizbullah Cabang Rembang. Gerak langkahnya tidak pernah lepas dari gerak Nahdlatul Ulama, baik ketika NU masih bergabung dalam partai Masyumi maupun setelah melepaskan diri dan berdiri sebagai partai NU (1952). Beliau selanjutnya terpilih sebagai Rais Syuriyah NU Cabang Rembang, kemudian sebagai pengurus Syuriyah NU Jawa Tengah dan terakhir sebagai Rais Syuriyah pengurus wilayah NU Jawa Tengah sampai akhir hayatnya. Ketika terjadi fusi (peleburan) empat partai Islam (Partai NU, Parmusi, PSII, PERTI) menjadi PPP (Partai Persatuan Pembangunan), tanggal 5 Januari 1973, KH. Bisri Musthafa termasuk salah seorang anggota Majelis Syuro DPP Partai Persatuan Pembangunan. Dalam pemilu 1977, ulama ini masuk daftar calon anggota DPR mewakili DPP Jawa Tengah, tetapi sudah kedahuluan wafat pada tanggal 16 Februari 1977, sekitar seminggu sebelum kampanye Pemilu 1977.
Bisri Musthafa juga terkenal sebagai seorang Muallif kitab yang karya-karyanya masih beredar di masyarakat hingga sekarang. Karya-karya ilmiyah KH. Bisri Musthafa sebagian besar menggunakan Bahasa Jawa dengan huruf Pego (Pegon) atau huruf Arab Jawi, sebagian lagi berbahasa Indonesia. Sebagian merupakan karya asli, sebagian adapula saduran atau terjemahan dari ktab-kitab kuning untuk kalangan santri pesantren, sehingga dapat bermanfaat ganda untuk santri pesantren maupun santri kampung. Di antara karangannya yang paling terkenal adalah tafsir al-Ibriz sebuah karya asli untuk tafsir al-Qur’an dengan menggunakan bahasa Jawa ditulis dengan huruf Arab pego. Kitab ini sebagaimana kebanyakan kitab Kyai Bisri yang lain, memiliki kelebihan yang bisa membantu para santri pesantren tahap pemula dan santri kampong yang tidak banyak mendalami kitab kuning tanpa harakat (kitab gundul), bahkan disenangi juga oleh para kyai dalam memberikan pengajiannya karena bisa membantu mereka mengartikan kitab kuning. Dalam tafsir al-ibriz kyai Bisri tidak saja sekadar menerjemahkan al-Qur’an tetapi juga memberikan arti rangkap dan keterangan yang cukup jelas untuk masing-masing ayat atau beberapa ayat sekaligus serta arti miring (makna gandul atau jenggot-Jawa) sebagaimana metode membaca kitab kuning di pesantren, yang tentunya sangat membantu para santri dalam mengartikan kitab kuning sesuai metode pesantren (utawi untuk mubtada’, iku untuk khabar dan seterusnya). Sebenarnya tafsir yang tebal ini asal mulanya semacam kumpulan ceramah atau sketsa ceramah yang beliau tulis di perjalanan ketika berangkat ataupun pulang dari memberikan ceramah (pengajian). Dari serpihan-serpihan itulah akhirnya tersusun menjadi sebuah kitab tafsir yang besar.
Karya-karya Kyai Bisri Musthafa meliputi berbagai macam ilmu tauhid, fikih, Sejarah Kebudayaan Islam, ilmu-ilmu kebahasaan Arab (nahwu, sharaf dan ilmu alat lainnya), hadits, akhlak, dan lain sebagainya. Kesemuanya lebih dari 30 judul buku, di antaranya: Terjemah Bulughul Maram, Terjemah Lathaiful Isyarah, al-ikhsar fi ilm at-tafsir, Munyah adh-Dham’an (Nuzul al-Qur’an), Terjemah al-Faraid al-Bahiyah, Terjemah as-Sulam al-Munauraq, (Indonesia oleh KH. Khalil Bisri), Tanwir ad-Dunyam, Sanif as-Shalah, Terjemah Aqidah al-Awam, Terjemah Durar al-Bayan, Ausath al-Masalik (al-Khulashah), Syarh al-Ajrumiyah, Syarh ash-Shaaf al-Imrithi, Rafiq al-Hujjaj, Manasik Haji, at-Ta’liqah al-Mufidah Li al-Qasidah al-Munfarijah, Islam dan Shalat, Washaya al-Aba li al-Abna’, Al-Mujahadah wa ar-Riyadhah, Tarikh al-Auliya’, Al-Haqibah (kumpulan doa) jilid I-II, Syiir Rajabiyah, Ahl as-Sunnah wa al-Jamaah, Syi’ir Budi Pekerti, Al-Asma wa al-Aurad, Syi’ir Pemilu, Zad az-Zu’ama wa Dzakirat al-Khutaba’, Pedoman Pidato, Primbon, Mudzakirah Juyub Al-Hujjaj dan lain sebagainya.
Melihat dari jumlah karya ilmiyahnya di bidang keislaman menunjukkan bahwa Kyai Bisri Musthafa benar-benar seorang ulama yang allamah pada bidangnya dan seorang muallif kitab yang produktif. Justru di bidang inilah kebesaran Kyai Bisri Musthafa yang jarang diperbuat oleh ulama tradisional abad ke-20, padahal ulama-ulama abad sebelumnya banyak sekali kita ketahui yang merupakan muallif terkenal. Melalui karya-karya ilmiyahnya ini Kyai Bisri mampu memberikan tuntunan yang mudah kepada santri-santri pemula, sanri-santri di desa dan kampong juga orang-orang awam, dalam memahami Islam. PEninggalan atau warisan berupa kitab atau karya ilmiyah biasanya jauh lebih awet disbanding dengan peninggalan lainnya.
Kyai Haji Bisri Musthafa wafat dalam usia 63 tahun tepatnya tangal 16 Februari 1977 ketika Bangsa Indonesia sibuk menghadapi Pemilu 1977. Ulama ini mewariskan lembaga pendidikan (Pesantren Raudlatut Thalibin) yang kemudian diasuh putra-putri beliau. Walaupun ulama ini telah wafat, tetapi pengaruhnya tetap hidup di kalangan umat Islam melalui warisan tersebut yang diperuntukkan bagi umat Islam.
Sumber: H. M. Bibit Suprapto, Ensiklopedi Ulama Nusantara, (Jakarta: Gelegar Media Indonesia, 2010).