Salah satu nikmat Allah yang sangat amat saya syukuri—mungkin yang paling saya syukuri—adalah saya mengenal agama ini melalui Nahdlatul Ulama (NU). Menjadi warga NU berarti menjadi makmum hadlratusy syaikh Muhammad Hasyim Asy’ari. Menjadi makmum hadlratusy syaikh, otomatis menjadi makmum Rasulullah saw. Dan hal ini saya yakin sepenuhnya.
Manhaj
Saya berpandangan bahwa seseorang tidak bisa mencapai tujuan akhirnya sebagai muslim (wushul), kecuali melalui perantara guru. Seperti dikatakan Imam Ar-Razi dalam Tafsir Kabir-nya ketika menafsiri ayat
اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ(6) صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّالِّينَ (٧)
“Bimbing (antar)lah kami (memasuki) jalan yang lurus. (Yaitu) jalan orang-orang yang Engkau anugerahi nikmat kepada mereka, bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) orang-orang yang tersesat.” (QS Al Fatihah 6-7).
Ar-Razi berkata:
قَالَ بَعْضُهُمْ: إِنَّهُ لَمَّا قَالَ: اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ، لَمْ يَقْتَصِرْ عَلَيْهِ، بَلْ قَالَ: صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ؛ وَهَذَا يَدُلُّ عَلَى أَنَّ الْمُرِيْدَ لَا سَبِيْلَ لَهُ إِلَى الْوُصُوْلِ إِلَى مَقَامَاتِ الْهِدَايَةِ وَالْمُكَاشَفَةِ إِلَّا إِذَا اقْتَدَى بِشَيْخٍ يَهْدِيْهِ إِلَى سَوَاءِ السَّبِيْلِ وَيُجَنِّبُهُ عَنْ مَوَاقِعِ الْأَغَالِيْطِ وَالْأَضَالِيْلِ
“Sebagian ulama mengatakan, setelah berfirman ‘Bimbinglah kami (memasuki) jalan yang lurus, Allah tidak menghentikannya di situ, akan tetapi dilanjutkan dengan ‘yaitu jalan mereka yang ….’ Ini menunjukkan bahwa seorang murid tak punya jalan untuk mencapai tingkatan-tingkatan hidayah dan mukasyafah, kecuali melalui seorang guru yang dapat menunjukkannya pada jalan yang lurus dan menjauhkannya dari kesalahan dan kesesatan.” (Mafatih al-Ghaib, vol. 1, hlm. 163).
Hal senada diungkapkan Imam Ibn ‘Ajibah Al-Hasani dalam Tafsirnya Al-Bahru al-Madid (vol. 1, hlm. 66). Beliau menjelaskan bahwa jalan lurus yang dimaksud dalam ayat di atas adalah jalan untuk wushul (sampai kepada Allah). Dan untuk menempuhnya, harus melalui bimbingan guru, karena jalan tersebut sangat rumit, banyak “begal”-nya, setan-setannya sungguh pandai. Jika berjalan tanpa guru, kita akan tersesat.
Inilah yang diajarkan NU. Kita diajari menghormati guru dan menjunjung tinggi derajatnya, karena ia adalah wasilah (perantara) kita untuk mencapai rida Allah. Bahkan tidak hanya guru kita saja. Guru dari guru kita, gurunya lagi, dan seterusnya hingga Rasulullah saw. Ini bisa kita lihat dalam tradisi tawasul yang rajin dilakukan warga Nahdliyyin ketika hendak berdoa, membaca Al-Qur’an, mengaji, dsb. Warga NU akan merasa suul adab (tidak sopan) memulai itu semua tanpa didahului tawasul. Nahdliyyin yakin bahwa dengan tawasul itu lah akan terjalin ta’alluq (hubungan batin) dengan para guru.
Tajdid
Telah disebut dalam sebuah hadis, bahwa setiap 100 tahun, Allah mengutus hamba-Nya untuk memperbaharui (tajdid) agama-Nya. Memperbaharui ini maksudnya menjaga ajaran agama agar tetap relevan dengan masanya, bukan membuat ajaran baru. Agaknya tajdid ini lebih tepat jika diartikan merawat.
Menurut Imam Adz-Dzahabi (Tarikh al-Islam, vol. 23, hlm. 124) dan Imam Ibn Katsir (An-Nihayah fi al-Fitan wal-Malahim, vol. 1, hlm. 39), mujadid (pembaharu) yang dimaksud dalam hadis ini tidak harus hanya satu orang, melainkan bisa banyak orang. NU sudah melewati 95 tahunnya, dan segera menyongsong 100 tahun pertamanya.
Seratus tahun lalu (abad 14 H.), kita punya syaikhuna Kholil, mbah kiai Hasyim, mbah kiai Wahab, mbah kiai Bisri, mbah kiai Raden Asnawi, dan banyak ulama lain yang merawat agama ini dan menginisiasi lahirnya organisasi ini. Kita sangat berharap munculnya para “titisan” beliau-beliau yang akan terus merawat agama dan organisasi ini di setiap seratus tahun selanjutnya.
Penutup
Untuk menutup curahan rasa syukur ini, saya ingin menyitir tiga bait syair gubahan K.H. Fuad Hasyim rahimahu-Llah.
يا نهضة العلماء أنت محبتي ومودتي ومسرتي ورضائي
Duhai Nahdlatul Ulama, kaulah cintaku, kaulah kasihku, bahagiaku, juga kerelaanku
يا نهضة العلماء أنت وسيلتي لتمسكي بجماعة العلماء
Duhai Nahdlatul Ulama, kaulah perantara, menyambungku dengan para ulama
يا نهضة العلماء أنت سفينة لسلامتي وطريقة لنعمائي
Duhai Nahdlatul Ulama, kaulah bahtera penyelamatku, kaulah jalan menuju nikmatku
Selamat harlah Nahdlatul Ulama yang ke-95!
Penulis: Rif’an Haqiqi, alumni pondok pesantren Lirboyo, Kediri, Jawa Timur. Pengajar di pondok pesantren Ash-Shiddiqiyyah, Berjan Purworejo, Jawa Tengah.