Hanya Allah Tumpuan Hidup Kita (Hikam-37)

0
2536
allah tumpuan hidup

Oleh: Ahmad Muntaha AM

Begitu sibuknya kita dengan berbagai aktifitas keserharian, dari bekerja, belajar, aktifitas sosial dan lain sebagainya. Karenanya kadang kita lupa dan akhirnya menggantungkan rejeki pada pekerjaan, menggantungkan pengetahuan pada proses belajar dan menggantungkan berbagai kepentingan dan tujuan hidup kepada selain Allah Ta’ala. Kita sering lupa bahwa semestinya hanya Allah tumpuan hidup kita. Dalam konteks ini Syaikh Ibn ‘Athaillah as-Sakandari berujar dengan untaian Hikam-37:

لَا تَتَعَدَّ نِيَّةُ هِمَّتِكَ إِلَى غَيْرِهِ فَالْكَرِيمُ لَا تَتَخَطَّاهُ الْآمَالُ.

“Tidaklah niat keinginanmu melampaui kepada selain Allah. Sebab berbagai angan-angan tidak akan melampaui Allah Yang Maha Pemurah.”

Kalam Hikam-37 ini sangat berkaitan dengan hikmah sebelumnya (Hikam-36), bahwa pada hakikatnya yang ada hanya Allah semata. Wujud manusia hanya merupakan anugerah-Nya. Tidak ada yang pantas dibangga-banggakan. Ilmu, kekayaan, kekuasaan dan bahkan wujudnya sekalipun, hakikatnya akan segera sirna.

Implementasi Tauhid dalam Kehidupan Sehari-hari

Sehingga bila kita benar-benar memahaminya, menurut Prof. Dr. Syaikh Muhammad Sa’id Ramadhan al-Buthi (al-Hikam al-‘Athaiyyah Syarh wa Tahlil, II/99), semenstinya kita juga mengakui bahwa seluruh makhluk di sekeliling kita sebenarnya tidak memiliki kemampuan apapun untuk mendatangkan kebaikan dan menolak keburukan darinya.

Bagaimana makhluk mempunyai kemampuan, sementara ia sendiri tidak mempunyai kemampuan untuk mewujudkan dirinya sendiri yang menjadi sumber segala kemampuannya. Karenanya, manusia siapapun itu bergerak, beraktifitas, tumbuh dan berkembang atas qudrah Allah—subhanahu wa ta’ala—.

Hanya Allah Tumpuan Hidup Kita

Bila keyakinan seperti ini mewarnai hati kita, maka inilah tauhid yang Allah perintahkan kepada kita, yang terkandung dalam kalimat tayyibah: “La ilaaha illallaah”. Karenanya orang yang menempuh perjalanan menggapai ridha Allah akan mengamini dan mengimplementasikannya dalam segala aktifitas.

Ketika sibuk dengan urusan rejeki, ia akan memfokuskan angan-angan hatinya kepada Allah Pemilik rejeki di langit dan dibumi seiring firman-Nya:

وَلِلَّهِ خَزَائِنُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَلَكِنَّ الْمُنَافِقِينَ لَا يَفْقَهُونَ (المنافقون: 7)

“… dan hanya milik Allah kunci-kunci rejeki langit dan bumi, namun orang-orang munafik tidak memahaminya.” (QS. al-Munafiqun: 7)

Baca Juga: Ketajaman Mata Hati (Hikam-36)

Ketika sedang sakit dan ingin segera sembuh, ia arahkan angan-angan hatinya kepada Allah Sang Maha Penyembuh, meneladani Nabi Ibrahim—‘alaihis salam—:

وَإِذَا مَرِضْتُ فَهُوَ يَشْفِينِ (الشعراء: 80)

“Ketika Aku sakit, maka Allah yang menyembuhkannya.” (QS. as-Syu’ara: 80)

Ketika dalam kondisi tidak aman dan sangat butuh perlindungan, ia tujukan angan-angan hatinya kepada Allah Zat Yang Maha Pelindung, sebagaimana Allah melindungi Nabi Musa dan Nabi Harun—‘alaihimas salam—:

قَالَ لَا تَخَافَا إِنَّنِي مَعَكُمَا أَسْمَعُ وَأَرَى. (طه: 20)

“Allah berfirman: ‘Jangan kalian takut, sunggung Aku bersama kalian, Aku Maha Mendengar dan Maha Melihat.” (QS. Thaha: 20)

Pertolongan Makhluk

Bila demikian, apakah berarti kita tidak boleh meminta tolong kepada makhluk sebab akan menghilangkan penghambaan kita kepada Allah?

Baca: Seri Artikel Kajian Hikam

Syaikh al-Islam Abdullah bin Hijazi as-Syarqawi (1150-1227 H/1737-1812 M) Grand Syaikh ke-12 Universitas al-Azhar Kairo Mesir dalam Syarh al-Hikam (33) menjawab, yang dilarang adalah meminta tolong dengan maksud menjadikannya sebagai tumpuan dan sandaran sepenuhnya, serta lalai meminta tolong kepada Allah—subhanahu wa ta’ala—. Adapun meminta tolong makhluk dengan maksud menjadikannya sebagai perantara saja sementara hati tetap bertumpu dan bersandar sepenuhnya kepada Allah, serta tetap menyadari bahwa pada hakikatnya yang memberi pertolongan hanyalah Allah, maka boleh dan tidak menafikan penghambaan kepada-Nya.

Hikmah Utama

Kalam Hikam-37 menyadarkan kita, bahwa yang layak dijadikan tumpuan dan sandaran hidup hanya Allah semata. Sementara pekerjaan, pengobatan dokter, perlindungan keamanan dan sebab-sebab duniawi lainnya hanya sebagai perantara. Wallahu a’lam.

__________

Sumber:

  1. Muhammad Sa’id Ramadhan al-Buthi, al-hikam al-‘Atha’iyyah; Syarh wa Tahlil, (Bairut-Damaskus: Dar al-Fikr, 1424 H/2003 M), II/99-101.
  2. Abdullah bin Hijazi al-Khalwati, Syarh al-Hikam as-Syarqawi pada Syarh al-Hikam, (Singapura-Jeddah-Indonesia: al-Haramain, tth.), 33.
  3. Fakhruddin ar-Razi, mafatih al-Ghaib, (Bairut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah,1421 H/2000 M), XXX/16.

Ilustrasi: whyislam