Sirah Nabawiyah [14]: Rahasia di Balik Pemilihan Jazirah Arabia sebagai Tempat Kelahiran Islam —Bagian 2

0
1110
Rahasia di Balik Pemilihan Jazirah Arabia sebagai tempat kelahiran islam

Pemilihan tempat kelahiran Islam, sebagaimana dijelaskan di tulisan sebelumnya, tidaklah berorientas materi. Kita tahu bahwa yang menjerumuskan komunitas-komunitas berbeda itu pada kehancuran moral dan guncangan sosial adalah satu hal yang sama. Yakni kemajuan dan peradaban tinggi yang dibangun di atas orientasi materi semata. Tanpa ada keteladanan yang mengarahkan pada jalur yang benar.

Peradaban tinggi dengan berbagai tampilan dan aneka ragam penopangnya hanyalah sebuah instrumen. Jika pemiliknya tidak mempunyai pemikiran dan keteladanan luhur yang benar, peradaban berubah menjadi sebuah perangkat yang menjatuhkan mereka pada jurang kesengsaraan dan keguncangan. Sedangkan bila mereka memiliki parameter berupa akal sehat—yang jarang sekali bisa ada tanpa perantara agama dan wahyu Ilahi—maka aneka ragam capaian peradaban maju bisa menjadi instrumen bagus yang memudahkan tercapainya kebahagiaan.

Sedangkan Jazirah Arabia pada masa itu sangat tenang dan jauh, bahkan terisolasi dari pengaruh kebisingan peradaban tinggi tetangganya. Penduduknya tidak memiliki kemodernan dan hedonisme Persia. Di mana mendorong mereka membuat-buat instrumen kebebasan dan kemunduran moral lalu meletakkannya sebagai tatanan agama. Mereka juga tidak memiliki kesewenangan kekuatan militer Romawi untuk melakukan ekspansi dan menjajah daerah sekitarnya. Juga tidak memiliki dialektika filsafat Yunani dan perdebatannya yang menjadikan mereka korban mitos dan takhayul.

Baca juga: Rahasia di Balik Pemilihan Jazirah Arabia sebagai Tempat Kelahiran Islam — Bagian 1

Karakter penduduk Jazirah Arabia lebih mirip logam bahan baku yang belum dilelehkan dan dicetak di pabrik perhiasan. Karakter mereka masih murni sebagaimana adanya fitrah manusia. Mereka memiliki motivasi kuat terhadap nilai kemanusiaan yang terpuji. Semisal, menepati janji, suka menolong, dermawan, tidak mau direndahkan, dan mampu menjaga diri. Hanya saja, ketika mereka tidak memiliki pengetahuan untuk mengarahkan nilai-nilai itu karena kebodohan dan sifat asli, mayoritas mereka menjadi  tersesat dalam memaknainya. Berikut kesesatan mereka dan motivasi di belakangnya.

1. Membunuh anak perempuan demi kemuliaan dan  untuk menjaga diri. 

2. Menghabiskan harta yang mereka butuhkan untuk memenuhi kebutuhan primer demi kedermawanan.

3. Mengobarkan peperangan di antara mereka sendiri karena menolak dihina dan demi menolong sekutu.

Hal-hal itulah yang oleh Allah disebut sebagai kesesatan dalam firma-Nya tentang sifat orang Arab:

وَإِن كُنتُم مِّن قَبْلِهِۦ لَمِنَ ٱلضَّآلِّينَ

“… Dan sesungguhnya kamu sebelum itu benar-benar termasuk orang-orang yang tersesat.” (Al-Baqarah: 198)

Sifat “tersesat” itu jika dilabelkan pada komunitas lain yang berperadaban tinggi, lebih terasa sebagai apologi ketimbang mengatai dan menghina kebodohan. Karena komunitas lain yang berperadaban tinggi melakukan penyimpangan dengan dalih kemajuan dan kecerdasan modern. Jadi, mereka berputar-putar dalam kumparan perilaku bejat berdasarkan pemikiran dan rencana.

Simak Kajian Fikih Perempuan di fanpage aswajamuda.com

Kemudian secara letak geografis, Jazirah Arabia berada tepat di tengah di antara komunitas-komunitas lain di sekelilingnya. Pengamat hari ini—sebagaimana dikatakan oleh profesor Muhammad Al-Mubarak Al-Majma’i (w. 1981 M.) dalam bukunya yang terbit tahun 1959 M.—bisa mendapati Jazirah Arabia berada tepat di antara dua peradaban yang bertolak belakang. Yakni peradaban Barat yang materialistis tanpa spiritualitas, dan peradaban spiritualis penuh fantasi di timur jauh seperti yang ada di India, China, dan sekitarnya.

Bersambung.

Referensi: Muhammad Said Ramadhan al-Buthi, Fiqh al-Sirah al-Nabawiyah, (Mesir: Dar al-Salam, 2021), Hal. 46-47