Serampangan Tafsirkan Alquran Hingga Sesatkan Nabi? Ini Penjelasan Ilmiahnya

0
1315

Alquran merupakan lautan tak bertepi, yang menyimpan banyak mutiara makna. Barang siapa memahami dan menggali maknanya dari satu sudut pandang, maka ia akan menemukan satu makna dari satu sisi itu, namun barang siapa yang menggali maknanya dari berbagai sudut pandang, maka ia pun akan menemukan makna yang sangat banyak dan sangat luas, seluas lautan.

Sudah seyogyanya seseorang yang akan mempelajari dan memahami Alquran memperkaya dirinya dengan banyak perangkat ilmu, agar makna yang ia temukan dari Alquran juga banyak. 

Fenomena salah faham dan faham salah mengenai makna suatu ayat, terkadang terjadi karena ia belum cukup mumpuni, perangkat yang digunakan belum cukup, namun terburu menggali dan memahami, serta menafsiri suatu ayat.

Ibarat seorang yang ingin menyelam ke lautan guna mengambil mutiara yang ada di dasar lautan, apabila dia memaksakan diri menyelam ke laut padahal alat yang digunakan belum cukup lengkap, boro-boro dia bisa mendapatkan mutiara, bisa pulang dalam kondisi masih hidup saja sudah syukur. Misalnya memahami ayat;

وَوَجَدَكَ ضَالًّا فَهَدَى

Artinya : “Dan Dia mendapatimu sebagai seorang yang tersesat, lalu Dia memberikan petunjuk.” (Surat Ad-Dhuhaa : 7)

Jika memahami ayat ini hanya tekstual lewat terjemah tadi, lalu menyimpulkan bahwa Nabi Saw pernah tersesat, tentu ini kesimpulan yang tidak tepat. Tidak ada satu mufassir pun yang menafsiri ayat ini bahwa Nabi Saw pernah tersesat.

Coba kita cek di kitab Tafsir Qurthubi, Imam Qurthubi menafsiri ayat ini dengan beberapa interpretasi.

Pertama, makna ayat ini adalah Nabi Saw lupa tentang tugas sebagai nabi kemudian Allah Swt mengarahkannya.

Kedua, Nabi belum tahu tentang isi ajaran syariat islam kemudian diberi imu tentang syariat Islam.

Ketiga, Nabi diutus kepada umat yang tersesat supaya beliau memberi petunjuk.

Keempat lupa tentang kondisi ashabul kahfi.

Kelima, mencari kiblat.

Keenam, bingung mengenai makna suatu ayat.

Ketujuh, tersia-sia oleh umatnya, dan lain sebagainya, penasfiran secara lengkap ada di bawah ini.

وَوَجَدَكَ ضَالاًّ فَهَدى أَيْ غَافِلًا عَمَّا يُرَادُ بِكَ مِنْ أَمْرِ النُّبُوَّةِ، فَهَدَاكَ: أَيْ أَرْشَدَكَ وَقَالَ قَوْمٌ: ضَالًّا لَمْ تَكُنْ تَدْرِي الْقُرْآنَ وَالشَّرَائِعَ، فَهَدَاكَ اللَّهُ إِلَى الْقُرْآنِ، وَشَرَائِعِ الْإِسْلَامِ،. ..وَقَالَ قَوْمٌ: وَوَجَدَكَ ضَالًّا أَيْ فِي قَوْمٍ ضُلَّالٍ، فَهَدَاهُمُ اللَّهُ بِكَ.. وَقِيلَ: ضَالًّا أَيْ نَاسِيًا شَأْنَ الِاسْتِثْنَاءِ حِينَ سُئِلْتَ عَنْ أَصْحَابِ الْكَهْفِ وَذِي الْقَرْنَيْنِ وَالرُّوحِ- فَأَذْكَرَكَ..وَقِيلَ: وَوَجَدَكَ طَالِبًا لِلْقِبْلَةِ فَهَدَاكَ إِلَيْهَا، بَيَانُهُ:… وَقِيلَ: وَوَجَدَكَ مُتَحَيِّرًا عَنْ بَيَانِ مَا نَزَلَ عَلَيْكَ، فَهَدَاكَ إِلَيْهِ، فَيَكُونُ الضَّلَالُ بِمَعْنَى التَّحَيُّرِ، لِأَنَّ الضَّالَّ مُتَحَيِّرٌ. وَقِيلَ: وَوَجَدَكَ ضَائِعًا فِي قَوْمِكَ، فَهَدَاكَ إِلَيْهِ،. الى أن قال وَقِيلَ:” ضَالًّا” فِي شِعَابِ مَكَّةَ، فَهَدَاكَ وَرَدَّكَ إِلَى جَدِّكَ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ. 

Artinya : “Dan Dia mendapatimu sebagai orang yang tersesat” maksudnya orang yang lupa atas apa yang diharapkan dari derajat kenabian, kemudian Allah Swt mengarakannya. Ada yang berpendapat; maksud dlolal adalah belum tahu tentang Alquran dan syariat, kemudian Allah Swt menunjukkan pada Alquran dan ajaran Islam. Ada yang berpendapat: ‘maksudnya adalah diutus kepada kaum yang tersesat’. Ada yang berpendapat: ‘Lupa atas perkara, ketika ditanya mengenai Ashabul Kahfi dan dzulqornain. Dan dikatakan: ‘Dia menemukanmu mencari kiblat, kemudian Dia menunjukkannya’. Dan dikatakan: ‘Dia mendapatimu bingung tentang penjelasan wahyu yang turun. Dikatakan: ‘Tersia-sia di kaummu’… Dan dikatakan: ‘Tersesat di lembah kota Mekah, kemudian Allah swt menunjukkan dan mengembalikan ke kakeknya yaitu Abdul Mutholib.” (Imam Qurthubi, Tafsir Qurthubi, [Maktabah Syamilah, tt], jilid 20, halaman 96.)

Mufassir kontemporer seperti Syaikh Wahbah Zuhailiy pun sama, menggaris bawahi ayat ini bahwa Nabi Saw tidak pernah tersesat.

وَوَجَدَكَ ضَالًّا فَهَدى. لا يمكن حمل الضلال هنا على ما يقابل الهدى لأن الأنبياء معصومون من ذلك، قال العلماء: إنه ما كفر باللَّه طرفة عين، وإنما المراد بالضلال: الخطأ في معرفة أحكام الشرائع، فهداه إلى مناهجها وكيفياتها

Artinya : “Tidak mungkin mengarahkan makna dlolal pada sesuatu antonim dari pertunjuk (tersesat) karena para Nabi ma’sum, dijaga dari hal itu. Ulama berkata : Sesungguhnya dia (Nabi) tidak sekalipun kufur kepada Allah Swt. Maksud dari makna dlolal tiada lain adalah kesalahan dalam memahami hukum syariat, kemudian Allah Swt memberi petunjuk kepada metode yang benar” (Syaikh Wahbah Zuhailiy, Tafsir Munir, [Beirut, Dar Al-fikr, 2003, cetakan 2], jilid 15, halaman 669.)

Walhasil, tidak ada mufassir yang memahami ayat ini dengan kesimpulan Nabi pernah tersesat.

Fenomena lain yang terjadi adalah politisasi ayat. Menggunakan ayat-ayat tertentu sebagai legitimasi pilihan politik. Misalnya pada masa orde baru, ketika partai masih berjumlah tiga, yaitu PPP, PDI, dan Golkar, ada seorang politisi PPP, yang partainya berlambang ka’bah, meyakinkan masyarkat awam dengan legitimasi dalil;

فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرامِ

Artinya : “Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram.” (Surat Al-Baqarah : ayat 144)

Sekilas, penerapan dalil semacam itu benar menurut mereka yang tidak memahami tafsirannya. Namun, jika dianalisis lewat tafsir para ulama, jelas penggunaan dalil semacam ini tidaklah tepat, sebab maksud ayat ini adalah perintah kepada Nabi Saw agar salat menghadap kiblat (kakbah), tidak usah ribet-ribet melihat ke tafsir yang besar-besar, coba dicek saja di tafsir jalalain.

 فَوَلّ وَجْهَكَ استقبل في الصلاة شَطْرَ نحوالمسجد الحرام أي الكعبة

Artinya : “(Palingkanlah mukamu) menghadaplah dalam salat (arah) arah (Masjidil Haram) yaitu Kakbah.” (Imam Jalaluddin Mahally dan Imam Jalaluddin Suyuthi, Tafsir Jalalian, [Dar al-Ilmi, Surabaya] jilid 1, halaman 20.)

Fenomena semacam ini ternyata sudah terjadi dari zaman dahulu, ketika Mu’awiyah bin Abi Sufyan Ra berencana mengangkat Yazid, putranya sendiri, sebagai khalifah. Dia mengutus Marwan Ra pergi ke Madinah untuk mengajak penduduk madinah agar baiat kepada Yazid sebagai khalifah, namun ada salah satu yang tidak mau, yaitu Abdurrohman bin Abu Bakar Ra.

Marwan semula hendak menangkapnya, namun keburu ia masuk ke rumah ‘Aisyah Ra. Marwan tidak putus asa, dia masih merayu Abdurrohman bin Abu Bakar agar mau baiat dengan cara menyampaikan, bahwa sistem pengangkatan khalifah semacam ini sama seperti sistem pengangkatan pada masa Abu Bakar As-Sidiq dan Umar bin Khottab Ra. Abdurrohman Ra tetap saja tidak mau berbaiat, lantas Marwan jengkel dan menggunakan ayat Alquran untuk menjastis Abdurrohman Ra. Ia menggunakan ayat :

وَالَّذِي قَالَ لِوَالِدَيْهِ أُفٍّ لَكُمَا أَتَعِدَانِنِي أَنْ أُخْرَجَ وَقَدْ خَلَتِ الْقُرُونُ مِنْ قَبْلِي

Artinya : “Dan orang yang berkata kepada dua orang ibu bapaknya: “Cis bagi kamu keduanya, apakah kamu keduanya memperingatkan kepadaku bahwa aku akan dibangkitkan, padahal sungguh telah berlalu beberapa umat sebelumku?” (Surat Al-Ahqaaf : ayat 17)

Marwan mengatakan bahwa orang yang dimaksud dalam ayat tersebut adalah Abdurrohman bin Abu Bakar. ‘Aisyah Ra tidak terima dengan tuduhan Marwan, dan mengatakan bahwa Marwan berbohong.

Kemudian menjelaskan bahwa tidak ada ayat yang turun menyangkut keluarganya kecuali tentang ketidak benaran tunduhan terhadap ‘Aisyah Ra berbuat serong dengan seseorang.

Dan Tafsir Khozin pun menjelaskan bahwa ayat ini tidak ditujukan pada seseorang secara khusus, namun mencakup semua orang yang mempunyai kelakukan suka berkata kasar kepada kedua orangtuanya.

Walhasil, mengapa fenomena semacam di atas bisa terjadi? Jawabannya karena tidak memahami asbabun nuzul suatu ayat, pada konteks seperti apa suatu ayat diturunkan. Karena memahami asbabun nuzul ayat adalah bagian penting dari perangkat untuk memahami maksud suatu ayat.

Wallahu a’lam

Penulis: Amin Ma’ruf, PP Al-Iman Bulus Purworejo; Mahasiswa Tafsir Pascasarjana UNSIQ Wonosobo.