Syeikh Ahmad Mutamakkin

0
4075
http://www.patinews.com/wp-content/uploads/2013/04/masjid-agung.jpg

Syeikh Haji Ahmad Mutamakkin merupakan salah seorang ulama besar nusantara pada abad ke-18 yang lalu. Namanya terkenal karena munculnya sebuah karya sastra Bahasa Jawa berbentuk puisi yang disebut Serat, yakni Serat Cebolek. Nama ulama ini dalam serat tersebut adalah Haji Mutamakkin, yang digambarkan sebagai seorang ulama yang nyeleneh ora beneh (ajaran sesat), menyimpang dari kebiasaan ulama-ulama lain, dan beliau dikalahkan Ketib (Khatib) Anom dari Kudus dalam perdebatan di keraton Surakarta. Serat Cebolek ini jelas berisi penghinaan yang keterlaluan kepada ulama besar ini yang memang bermotif politik, karena ulama ini tidak mau berkompromi dengan ulama-ulama lain yang mendekat kepada penguasa kerajaan maupun Kolonial Hindia-Belanda.

Syeikh Haji Ahmad Mutamakkin dilahirkan sekitar perempat terakhir abad ke-17 di kawasan pantai utara Jawa antara Jawa Tengah dengan Jawa Timur. Sebagian sumber menyebutkan beliau dilahirkan di Desa Cebolek, Kabupaten Tuban, yang kini mungkin bernama Desa Winong (Kabupaten Tuban), sedangkan sumber sejarah lain menyebutkan bahwa Cebolek adalah desa di Kecamatan Mergoyso, Kabupaten Pati. Beliau kemungkinan berasal dari Cibolek Tuban, tetapi kemudian menetap di Desa Cibolek, Pati lantas pindah ke Desa Kajen, sebuah desa santri yang amat terkenal hingga wafat di sana.

Apabila kita membaca Serat Cebolek tanpa mengetahui latar belakangnya, jelas kita akan mengutuk habis-habisan dua orang ulama besar, masing-masing Syeikh Ahmad Mutamakkin (Haji Mutamakkin) dan Syeikh Ahmad Rifa’i ( Haji Muhammad Ripangi). Serat ini memang dibuat demi kepentingan politik Belanda atau orang-orang yang pro Belanda seperti kelompok priyayi atau ulama kalangan priyayi, untuk menghancurkan nama dan keulamaan ulama yang berpihak kepada umat muslim yang terjajah. Serat Cebolek ditemukan di Semarang, naskah milik pensiunan Bupati Semarang, Adipati Suryokusumo (1892), yang kemudian ditulis ulang oleh Raden Panji Jayasubrata (Joyosubroto), seorang Wedono di Magetan, Karesidenan Madiun (Propinsi Jawa Timur). Serat yang terdiri 31 syair Macapat ini benar-benar ditujukan untuk membabat habis-habisan Syeikh Mutamakkin dan Syeikh Ahmad Rifa’I, walau yang kedua ini nasibnya lebih buruk lagi, karena harus meninggal di tanah buangan (wafat di penjara Belanda di Ambon sekitar 1870 M), satu abad setelah Syeikh Mutamakkin wafat.

Syeikh Ahmad Mutamakkin memang seorang ulama tasawuf yang terkenal pada masanya, karena di masa mudanya beliau juga belajar kepada Syeikh Zain al-Yamani. Ulama Mekah yang berasal dari Yaman ini dalah seorang ahli tasawuf terkenal dan mursyid sebuah tarekat (tidak ada kejelasan tentang aliran tarekatnya) dan mengangkat Syeikh Ahmad Mutamakkin sebagai khalifahnya di nusantara. Melihat perkembangan tarekat yang ada di Indonesia, khususnya di Jawa, kemungkinan besar tarekat yang dikembangkan Syeikh Ahmad Mutamakkin ini adalah antara Qadriyah, Naqsabandiyah atau Syatariyah. Yang jelas Syeikh Mutamakkin adalah seorang ulama sufi, ulama rohani yang besar pada masanya.

Sebagai seorang ulama sufi tentu saja penampilan dan pembawaannya berbeda dengan ulama fikih, terutama ulama birokrat, baik ulama penghulu kraton maupun yang diangkat oleh pemerintah colonial di wilayah jajahannya. Perbedaan pendapat antara Syeikh Mutamakkin dengan ulama-ulama lain (ulama birokrat) dipertajam oleh orang-orang yang tidak senang kepada beliau atau takut terhadap pengaruhnya yang besar di kalangan masyarakat bawah. Timbullah fitnah yang bermacam-macam, termasuk bahwa ulama ini memelihara seekor anjing yang di beri nama Abdul Qahar (identik dengan nama seorang khatib di Tuban). Kemungkinan besar ini hanya perlambang (sindiran) belaka tentang ulama-ulama fikih, khususnya yang menjadi ulama birokrat, yang kegemarannya hanya berdebat, saling memakan, mencari kemenangan dan popularitas di hadapan pejabat atasannya atau rakyat, bahkan tidak segan-segan saling menghancurkan. Kesemuanya adalah perbuatan nafsu belaka dalam menjalankan ajaran agama, tanpa didasari jiwa keikhlasan. Sebaliknya ulama-ulama sufi lebih mementingkan aspek perbuatan batin dan senantiasa memperbanyak zikir kepada Allah dan menjaga keluhuran budi serta kebersihan hati.

Dalam perkembangannya, pertentangan ini kemudian terdengar oleh penguasa tertinggi di pulau Jawa, yakni penguasa kerajaan Surakarta. Syeikh Ahmad Mutamakkin dipanggil ke Keraton Surakarta untuk mempertanggungjawabkan ajarannya, melalui perdebatan melawan jago ulama birokrat, bernama Khatib Anom dari Kudus. Lebih dari itu, perdebatan ini lebih menyerupai pengadilan terhadap diri Syeikh Ahmad Mutamakkin, yang mereka pandang sebagai ulama ortodoks dan perintang utama usaha mereka.

Peristiwa besar ini terjadi tahun 1725 semasa pemerintahan Amangkurat IV (1719-1726), di bawah sutradara Patih Danurejo dengan ujung tombaknya Khatib Anom dari Kudus. Perdebatan di rumah Patih Danrejo di Kartasura antara Syeikh Mutamakkin dengan Khatib Anom, menurut Serat Cebolek dimenangkan secara mutlak oleh Khatib Anom, baik menyangkut segi-segi ilmu fikih, tasawuf maupun masalah kebatinan dalam Kitab Bimasuci. Sebagai keputusannya mereka menyatakan bahwa Syeikh Mutamakkin dinyatakan bersalah karena menyebarkan ajaran sesat. Mereka mengajukan permohonan kepada susuhunan Amangkurat IV agar ulama Cebolek (Ki Cebolek) itu dihukum mati dengan cara membakarnya hidup-hidup.

Untungnya Susuhunan Amangkurat IV tidak percaya begitu saja kepada kelompok birokrat dan ulama yang antipati kepada Syeikh Mutamakkin. Secara diam-diam Susuhunan mengirimkan telik sandinya Raden Demang Urawan (Irawan?) untuk menyelidiki bagaimana sebenarnya masalah yang terjadi. Ternyata laporan Urawan berbeda dengan Patih Danurejo, sehingga masalahnya ditangguhkan dan dalam keadaan demikian Susuhunan Amangkurat IV wafat (1726). Penggantinya, Paku Buwono II, bertindak lebih adil dengan memaafkan Syeikh Ahmad Mutamakkin.

Keputusan Paku Buwono II dapat diterima sebagian tokoh-tokoh kerajaan maupun para ulama, tetapi Khatib Anom tidak mau menerima keputusan itu. Beliau masih menentang Mutamakkin untuk berdebat dan akhirnya dilaksanakan juga di rumah Raden Demang Urawan yang dihadiri juga oleh para ulama dan bangsawan Mataram. Menurut serat Cebolek Syeikh Mutamakkin kalah lagi dalam perdebatan itu, terutama setelah menginjak masalah kitab Bima Suci dan Dewa Ruci, yang menerangkan dialog antara Bima (Werkudara) dengan Dewa Ruci yang merupakan gurunya. Syeikh Mutamakkin ternyata tidak bisa membaca dengan baik dan tidak mampu menjawab pertanyaan Katib Anom, sehingga ia menyatakan takluk kepada ulama birokrat asal Kudus itu. Tetapi versi lain yang diterima di kalangan santri, bahwa ternyata Khatib Anom tidak banyak menguasai ilmu tasawuf dan tidak mampu membaca Serat Bima suci dengan baik, sehingga Demang Urawan mengusulkan kepada forum diskusi agar Syeikh Mutamakkin yang membacanya. Ternyata beliau mampu membaca dengan lancar dan menerangkannya dengan jelas.

Perdebatan di rumah Demang urawan itu akhirnya membawa hikmah bagi Syeikh Mutamakkin. Demang Urawan memberitahukan kepada Susuhunan Paku Buwono II bahwa Syeikh Mutamakkin memang ulama yang mempunyai tingkat kesufian yang tinggi, ajarannya adalah ilmu tawar tidak asin (ajaran haq tidak bathil). Keputusan pengampunan diterima semua pihak dan raja sendiri mengikuti ajaran Syeikh Mutamakkin karena takut kena walat atau mati kafir. Sebagai penguasa kerajaan Mataram, Paku Buwono II memberikan anugerah kepada kedua belah pihak, baik Khatib Anom maupun  Ahmad Mutamakkin. Dengan demikian, cerita versi Cebolek jelas berusaha untuk mendiskreditkan ulama mukhlisin, ulama sufi yang tidak mau mendekatkan diri kepada kerajaan atau penguasa (Pemerinta Hindia-Belanda).

Syeikh Ahmad Mutamakkin yang tinggal di Desa Cebolek, kemudian pindah ke desa tetangganya, Kajen, dan selanjutnya mendirikan sebuah Padepokan (pondok pesantren) di desa tersebut. Syeikh Mutamakkin kemudian menggantikan peran seorang ulama sekaligus tokoh masyarakat Kajen yang telah berusia lanjut, Haji Syamsuddin. Pesantren Kajen yang didirikan oleh Syeikh Ahmad Mutamakkin ternyata berkembang cukup bagus dan didatangi santri dari berbagai daerah di Jawa, baik pesisir maupun pedalaman. Para santri Syeikh Ahmad Mutamakkin banyak yang menjadi ulama terkenal dan tokoh masyarakat pada periode berikutnya, sebagai penerus perjuangan ulama besar ini, diantara mereka adalah Kyai Mizan, Kyai Raden Saleh, Kyai raden Ronggokusumo, Kyai Raden Endro Muhammad bin Syeikh Mutamakkin, Kyai Bagus bin Syeikh Mutamakkin, Nyai Qalfiyah alias nyai Godheg binti Syeikh Ahmad Mutamakkin dan banyak lagi yang lainnya. Bisa dikatakan ulama-ulama di pesisir Jawa, khususnya Jawa Tengah abad ke-18 mayoritas pernah berguru kepada ulama besar ini, dan mereka pulalah yang kemudian mengembangkan ajaran gurunya kepada generasi penerusnya yang kait-mengait hingga sekarang.

Apabila di lihat silsilah, dari pihak ayahnya Syeikh Ahmad Mutamakkin merupakan keturunan dari Jaka Tingkir (Sultan Hadiwijaya) raja Pajang, yang berarti keturunan Sultan al-Fatah (Raden Fatah) raja Demak pertama, karena Sultan Pajang tersebut adalah cucu menantu dari Raden Fatah. Bila ditarik ke atas berarti keturunan Sunan Ampel, tokoh penyebar Islam yang paling berpengaruh di Jawa pada abad ke-15-16. Dari pihak ibunya, Syeikh Mutamakkin keturunan dari Sayid Ali Akbar yang terkenal dengan Syeikh Bejagung, Tuban yang merupakan ulama besar pada masa awal perkembangan Islam di Jawa.

Keturunan Syeikh Ahmad Mutamakkin merupakan penghias desa Kajen dan sekitarnya dengan belasan Pondok Pesantren yang mereka dirikan. Pada awal abad ke-20 tercatat nama-nama besar keturunan Syeikh Mutamakkin seperti Kyai Ismail, Kyai Abdullah bin Ismail, Kyai abdussalam dan Kyai Nawawi (keduanya pytra Kyai Abdullah), Kyai Mahfudz, Kyai Muhammadun dan lain sebagainya. Keturunan merekalah yang kini memegang pimpinan belasan Pesantren di sekitar kawasan Desa Kajen, Mergoyoso, Kabupaten Pati.

Kajen yang terkenal dengan desa Santri benar-benar memberikan sinarnya kepada masyarakat desa, bahkan daerah-daerah lain di Indonesia. Salah seorang ulama terkenal di penghujung abad ke-20 ini yang menjadi pengendali organisasi Islam terbesar di Indonesia adalah putra kajen. Beliaulah Kyai Haji Ahmad Sahal Mahfudz, Rais Am Pengurus Besar Syuriyah Nahdlatul Ulama, seorang ulama intelektual terkenal masa kini, yang banyak memberikan warna pembaharuan dalam lingkungan Jam’iyyah Nahdlatul Ulama.

Kemajuan yang sedemikian rupa tidak bisa dilepaskan dari peran dan pengaruh uang ditancapkan oleh generasi terdahulu, khususnya rintisan Syeikh Ahmad Mutamakkin. Ulama besar ini tidak jelas kapan wafatnya, tetapi dapat diperkirakan sekitar pertengahan abad ke-18. Walaupun demikian tanggal wafat beliau diperingati setiap tahun (haul) yang jatuh tanggal 10 Muharram, yang berarti ulama besar ini wafat pada tanggal tersebut. Dengan demikian dapatlah diambil kesimpulan bahwa Syeikh Ahmad Mutamakkin bukanlah seperti yang digambarkan oleh Serat Cebolek yang memang menjatuhkan martabat dan pengaruh ulama ini, tetapi sebaliknya Syeikh Mutamakkin merupakan salah seorang ulama besar masa lalu yang pengaruhnya masih bertahan hingga kini.


Sumber : H. M. Bibit Suprapto, Ensiklopedi Ulama Nusantara, (Jakarta: Gelegar Media Indonesia, 2010