Gaji Petinggi ACT Terlalu Tinggi, Bolehkah Secara Fikih?

0
766
Gaji petinggi ACT secara fikih

Gaji para petinggi lembaga filantropi Aksi Cepat Tanggap (ACT) dinilai tidak masuk akal oleh banyak pihak. Sepengakuan Ibnu Khajar, presiden ACT saat ini kepada cnnindonesia.com beberapa waktu lalu, para pengurus ACT berhak mengambil dana sebanyak 13,5% dari donasi yang terkumpul.

Padahal, dalam aturan syariat Islam, lembaga zakat tidak boleh melakukan pemotongan donasi lebih dari 12,5%. Dalih ACT, mereka bukan lembaga zakat. Karena itu bisa mengatur sendiri seberapa besar prosentase yang bisa diambil.

Dengan total donasi masuk yang bisa mencapai 3 triliun rupiah, para petinggi ACT bisa meraup hingga 250 juta rupiah untuk masuk ke kantong pribadi mereka tiap bulannya.

Bilangan ini begitu besar, dan tak wajar. Apalagi ACT terdaftar sebagai lembaga nirlaba, yang berorientasi pada asas tolong menolong. Bukan lembaga mengejar keuntungan.

Lagipula, donasi yang terkumpul adalah harta milik dari donatur yang diamanatkan untuk disalurkan sesuai peruntukannya.

Dalam literatur fikih, para pengurus lembaga filantropi sebenarnya diperbolehkan mengambil dana yang terkumpul, baik itu berupa zakat maupun donasi.

Namun, besaran dana yang diambil tidak serta merta diatur sendiri. Di dalam kitab Hawasy as-Syarwani disebutkan, wali—pengumpul donasi, dalam hal ini ACT, tidak diperkenankan mengambil keuntungan sepeserpun dari dana yang telah terkumpul, jika ia terhitung sebagai orang yang berharta banyak.

Jikapun para pengurus lembaga filantropi itu dinilai membutuhkan dana (faqir), ia tidak boleh mengambil lebih dari nilai nafkah dan upah standar.

(فرع)

ليس للولى أخذ شيئ من مال موليه ان كان غنيا مطلقا فان كان فقيرا وانقطع بسببه عن كسبه أخذ قدر نفقته عند الرافعى ورجح المصنفانه يأخذ الأقل منها ومن أجرة مثله

Tidak diperkenankan bagi pengumpul donasi untuk mengambil sesuatu dari dana yang telah terkumpul, jika ia kaya. Jika ia fakir, dan pekerjaannya terlantar sebab kesibukannya dalam mengumpulkan donasi, ia diperbolehkan mengambil harta sekadar nafkahnya. Ini menurut imam Rafi’i. Mushannif menambahkan, bahkan ia harus mengambil nominal terkecil di antara dua hal: biaya nafkahnya, atau upah standar yang berlaku. (Abdul Hamid as-Syarwani, Hawasyi as-Syarwani, Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, vol. VI hlm. 514-515)

Dalam kaitannya dengan negara, sebuah lembaga pengumpul dana harus tunduk pada peraturan yang telah dibuat oleh pemerintah.

مسألة: ك ): يجب امتثال أمر الإمام في كل ما له فيه ولاية كدفع زكاة المال الظاهر،

Wajib menaati peraturan pemerintah dalam setiap hal yang menjadi kekuasaannya, seperti menyalurkan zakat. (Abdurrahman bin Muhammad, Bughyah al-Mustarsyidin, hlm. 91)

Dalam hal ini, pemerintah telah mengatur besaran prosentase dana yang berhak diambil oleh lembaga terkait. Sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku, pemerintah menentukan nilai maksimal 10% dari dana yang terkumpul.

Dari pembahasan di atas, lembaga ACT menetapkan bilangan nominal yang berhak diambil oleh pengurus tidak sesuai dengan peraturan yang ada. Baik peraturan fikih, maupun peraturan pemerintah.

Maka, tindakan mengambil jatah 13,5% dari donasi yang terkumpul tersebut tidak diperbolehkan.

Sumber: Keputusan Bahtsul Masail FMPP se-Jawa Madura XXXVIII. Dilaksanakan pada 10-11 September 2022, di Ponpes Al-Hamid, Cilangkap Jakarta. File hasil keputusan bisa didownload di sini.