UU Pesantren: Sebuah Perlindungan Hak Konsumen

0
957
UU Pesantren

Oleh: M. F. Falah Fashih*

Sejak ditetapkan dan disahkan pada tahun 2019 yang lalu, beberapa orang mungkin masih bersikap skeptis terhadap UU Pesantren. Ada yang berpikiran bahwa ‘Untuk apa lembaga pesantren diatur? Pesantren ‘kan lembaga yang independen, regulasi semacam ini justru berpotensi mempersempit ruang gerak dan fleksibilitas pesantren? Harusnya pesantren dibiarkan saja tetap independen. Tidak perlu diatur.’ Kurang lebih begitulah pernyataan-pernyataan skeptis yang muncul ketika merespon kehadiran UU Pesantren. 

Dalam pandangan semacam ini, tentu saja, kehadiran pemerintah dalam lingkungan pesantren dianggap mereduksi independensi pesantren, bahkan terkesan menganggapnya sebuah distraksi terhadap keberlangsungan pesantren. Formalisasi terhadap pesantren, dalam kekhawatiran mereka, bisa merusak nilai-nilai serta tradisi yang sudah hidup sejak dulu dan diwariskan secara turun-temurun di dunia pesantren. Lebih jauh lagi, masih dalam kekhawatiran mereka, regulasi semacam ini bisa mencederai kekhasan pesantren sebagai sebuah lembaga pendidikan klasik, membuat pesantren tak lagi berbeda dengan sekolah formal pada umumnya.

Namun, terlepas dari respon skeptis semacam itu, UU Pesantren tetap memiliki urgensi yang tak bisa diremehkan dan dipandang sebelah mata begitu saja. Urgensi semacam inilah yang mendesak regulasi ini harus disahkan. Salah satu, yang dalam situasi saat ini, cukup penting dan relevan untuk diperhatikan adalah perlindungan terhadap hak masyarakat, sebagai konsumen, untuk mendapat jaminan dalam memperoleh pendidikan yang bermutu, berkualitas dan tidak—dianggap—menyimpang.

Baca juga: Ma’had Aly, Strategi Mi’raj Pesantren

Diakui atau tidak, pesantren merupakan salah satu provider (penyedia) layanan pendidikan. Ketika melihat pesantren dari sudut pandang semacam ini, maka keberadaan jaminan perlindungan terhadap hak masyarakat sebagai konsumen mutlak dibutuhkan. Dan seperti yang sudah menjadi kemakluman, bahwa hal semacam ini merupakan bagian dari kewenangan pemerintah.

Salah satu kasus yang seharusnya bisa menggugah kesadaran bahwa perlindungan terhadap hak masyarakat sebagai konsumen layanan pendidikan adalah pernyataan BNPT yang mengungkap bahwa ada 198 pesantren yang berafiliasi dengan teroris.

Apa hubungannya?

Penyedia layanan publik yang tidak terikat dengan regulasi pemerintah untuk memberikan perlindungan terhadap hak konsumen berpotensi dan sangat rawan disalahgunakan oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab. Dalam konteks ini, menggunakan nama pesantren sebagai tameng perlindungan untuk menutupi aktivitas terorisme tentu merupakan penyalahgunaan yang berakibat cukup fatal. Baik terhadap pesantren-pesantren lain pada umumnya ataupun kepada masyarakat.

Pembiaran terhadap pemakaian nama pesantren oleh lembaga yang terafiliasi dengan teroris, yang secara kultur bertolak belakang dengan nilai-nilai pesantren pada umumnya, tentu mencoret dan mencederai nama baik pesantren secara umum. Meski generalisasi bukan hal yang bijak, tapi tetap saja, bahwa kasus ini berpotensi menurunkan kredibilitas pesantren, dan membuat masyarakat menjadi ragu, tidak percaya atau mungkin bahkan sampai menyangsikan pesantren. Ini jelas merugikan.

Dari sisi masyarakat, disadari atau tidak, tidak semua masyarakat di Indonesia bisa memberikan penilaian yang akurat terhadap lembaga yang melabeli diri dengan pesantren. Beberapa mungkin justru terkesan memberikan prasangka yang baik, bahwa semua lembaga yang menamakan diri dengan pesantren pasti merupakan lembaga pendidikan yang baik. Risikonya, ada beberapa masyarakat yang terjerumus dalam lembaga yang salah, yang tidak seharusnya menamakan diri dengan pesantren. Alih-alih mendapatkan pendidikan agama yang berkualitas, mereka justru disiapkan sebagai teroris.

Kehadiran pemerintah di lingkungan pesantren, melalui UU Pesantren, tentu bisa meminimalisir kasus semacam ini. UU Pesantren bisa menjadi patokan indikator bagi sebuah lembaga yang berhak menyandang nama pesantren. Melalui regulasi semacam ini, pemerintah juga bisa menghentikan aktivitas lembaga yang memakai atribut pesantren, tetapi menyalahi terhadap regulasi tersebut. Bahkan, pemerintah juga bisa melarang sebuah lembaga untuk menyandang nama pesantren. Sehingga, oknum-oknum tersebut juga tidak akan bisa semena-mena menggunakan nama pesantren jika lembaganya menyalahi undang-undang yang berlaku.

Simak video-video kajian islam kami di fanpage aswajamuda.com

Dari sisi yang sama, UU Pesantren bisa memberikan ruang untuk menjerat dengan hukum pidana  terhadap oknum tidak bertanggung jawab yang memakai nama pesantren untuk kegiatan yang merugikan. Ini merupakan sesuatu yang cukup sulit jika tidak ada regulasi yang mengikat. Dengan cara seperti ini, penyalahgunaan nama pesantren oleh oknum-oknum tidak bertanggung jawab bisa diminimalisir.

Lebih jauh lagi, UU Pesantren juga mengatur tentang penjaminan mutu sebuah pesantren. Dari satu sisi, aturan ini memang berpotensi memberikan kelas dan sekat yang jelas antara satu pesantren dengan pesantren yang lain. Namun, di sisi lain, penjaminan mutu—yang ditengarai dalam jangka panjang tak akan jauh berbeda dengan akreditasi—bisa membantu masyarakat dalam memilih lembaga pendidikan yang mereka inginkan. 

Melalui regulasi ini, pemerintah bisa memberikan garansi kepada masyarakat bahwa lembaga pendidikan yang bernama pesantren telah memenuhi mutu dan kualitas standar yang telah ditetapkan. Imbasnya, masyarakat tidak perlu lagi bimbang sebab hak mereka telah dilindungi dan dijamin.

Lagipula, UU Pesantren ini juga bisa mendorong pesantren untuk terus berbenah dan mengevaluasi diri untuk meningkatkan kualitas. Jika hal ini tercapai sesuai dengan yang diharapakan, tentu merupakan sesuatu yang membahagiakan bagi dunia pesantren.

Premis-premis semacam ini membawa kita pada kesimpulan sederhana, bahwa UU Pesantren terlepas dari pandangan skeptis yang ada tetap merupakan hal urgen yang dibutuhkan, baik oleh pesantren ataupun masyarakat.

*Founder IBIDISM (Inspiration Base, Initiators and Developers Institution for Santri of Ma’had Aly). Mahasantri Pascasarjana Ma’had Aly Lirboyo – Kediri. [email protected].