Wajib bagi kita meyakini bahwa perbedaan di antara ulama adalah rahmat. Hal ini disampaikan Sulaiman al-Kurdiy di dalam kitabnya, al-Fawaidul Madaniyah. Di sana ia mengutip sebuah hadis Nabi saw.
اختلاف أمتي رحمة
“Perbedaan di antara umatku adalah rahmat.”
Menurut al-Kurdiy, perbedaan di antara ulama ahlussunnah wal jamaah di dalam menyikapi persoalan furu’ merupakan nikmat dan rahmat yang agung dari Allah swt. Ada rahasia tersendiri di balik perbedaaan para ulama tersebut. Hal ini dapat dijumpai oleh orang-orang yang berilmu sekaligus mengamalkan ilmunya. Namun tidak akan terasa bagi mereka yang menyimpang dan sekumpulan orang-orang yang lupa.
Maksud “berbeda” di dalam hadis
Sekilas tulisan al-Kurdiy sangat mengamini akan hadis Nabi tersebut. Namun, di lain tempat ada satu potongan ayat Al-Qur’an yang mengganjal. Ayat ini terkesan kontra dengan hadis di atas. Sehingga kita perlu menelisiknya lebih lanjut.
ولا تكونوا كالذين تفرقوا واختلفوا من بعد ما جاءهم البينات
“Janganlah kalian semua seperti umat terdahulu yang bercerai-berai dan berbeda-beda setelah datangnya bukti-bukti kebenaran.” (QS. Ali Imran: 105)
Al-Baidlawiy dalam tafsirnya memahami, maksud dari larangan berbeda pada ayat di atas adalah khusus pada persoalan ushul. Sedangkan dalam persoalan furu‘ Nabi saw. sendiri telah membuka kesempatan berbeda. Dengan bukti hadis
من اجتهد فأصاب فله أجران ومن أخطأ فله أجر واحد
“Barangsiapa berijtihad dan benar maka baginya dua pahala. Jika salah, maka baginya satu pahala.”
Di dalam Risalah al-Qusyairiyah, Abi Yazid al-Busthami membenarkannya. Ia berkata,
“Aku telah menghabiskan waktu selama 30 tahun untuk mujahadah. Tidak kutemui hal yang lebih sulit dari pada memahami ilmu yang lalu diikuti oleh amal perbuatan. Andaikan saja tidak ada perbedaan ulama, tentu aku akan berhasil. Dan perbedaan ulama adalah rahmat, kecuali dalam memurnikan ajaran tauhid.”
Arti dari kalam al-Busthami kurang lebih adalah, ia pernah mujahadah 30 tahun lamanya. Setiap ingin mengamalkan sesuatu, terlebih dahulu ia harus mengetahui bahwa hukumnya legal melalui kesepakatan ulama. Mungkin ini saking berhati-hatinya ia. Ia berusaha idealis, tidak bersedia melakukan sesuatu yang masih khilaf. Tapi nyatanya ia menemui kesulitan. Hampir setiap persoalan selalu saja didasari perdebatan seputar legal dan ilegal.
Perbedaan ternyata adalah rahmat
Karenanya, perbedaan adalah hal wajar sekaligus merupakan anugerah dari Allah Swt. Agar umat dapat memilih aturan-aturan sesuai kondisi dan lingkungan. Tentu, selama demikian itu berkutat pada persoalan furu‘.
An-Nabhaniy dalam kitab Syawahid al-Haqq mengutip kalam al-Munawi:
“Perbedaan pendapat di antara ulama adalah kemudahan bagi umat. Keberagaman madzhab tidak lain seperti syariat yang berbeda-beda, yang Nabi diutus dengan membawa seluruhnya. Umat tidak keberatan menunaikan segala kebutuhannya. Mereka juga tidak terbebani oleh apa yang di luar batas mampu mereka. Maka perbedaan itu adalah rahmat. Nabi telah berjanji. Dan kini telah terbukti. Sebab itu bagian dari mukjizat.”
Baca juga: Belajar Cara Memaafkan dari Ibnu Hajar al-Haitami
Jika berbeda adalah rahmat, apakah bersepakat justru menjadi azab?
Pertanyaan demikian memang cukup menyudutkan keberadaan posisi hadis Nabi di atas. Namun An-Nawawi memiliki jawaban tandingan dalam Syarh Muslim.
An-Nawawi mengutip kalam al-Khathabi yang berkisah
“Ada dua lelaki yang menentang hadis Nabi bahwa perbedaan adalah rahmat. Mereka bernama ‘Amr bin Bahr al-Jahidh dan Ishaq bin Ibrahim al-Mushiliy.
Pada saat itu, mereka berdua menulis kitab menyikapi hukum terkait profesi sebagai penyanyi. Dalam kitab tersebut mereka memaki-maki para penyanyi dan menghukumi dosa. Bahkan pada satu titik mereka mencela ashabul hadis, yang disebutnya sebagai orang-orang yang berpendapat dan bicara di luar kapasitasnya.
Mereka berdua mengatakan, jika memang perbedaan ulama adalah rahmat, sebaliknya, maka kesepakatan mereka adalah azab.
Andai pun toh benar perbedaan adalah rahmat, itu hanya berlaku pada zaman Nabi dan para sahabat. Di saat para sahabat berselisih pendapat, maka menghadaplah mereka kepada Nabi untuk mencari keputusan. Demikian itu klaim mereka.”
Ikuti Live Ngaji Ramadan setiap hari di halaman facebook kami
Al-Khathabi tidak sepakat dengan pemahaman yang dangkal ini. Sebab tidak setiap kebalikan dari rahmat adalah azab. Samasekali tidak ada keterikatan. Ini terbukti dengan salah satu ayat Quran
ومن رحمته جعل لكم الليل والنهار لتسكنوا فيه (القصص: 73)
“Termasuk rahmat Allah adalah dicitipkannya untuk kalian malam dan siang supaya kalian tentram.” (QS. Al-Qashash: 73)
Sebagai contoh, malam dan siang jelas dua hal yang berbeda. Akan tetapi, jika malam disebut sebagai rahmat, tidak lantas siang bisa disebut sebagai azab. Justru keberadaan dan perpaduan keduanya menentramkan, mewarnai kehidupan semesta.
Kesimpulan
Oleh karena yang telah disebutkan, al-Khathabi menyimpulkan macam-macam hukum berbeda pendapat dalam Islam.
Pertama, ketetapan terkait keberadaan dzat yang menciptkan alam semesta beserta ke-esa-anNya. Maka berbeda pendapat dalam hal ini, yakni dengan mengingkarinya adalah kufur.
Kedua, ketetapan terkait wujudnya sifat-sifat dan kekuasaan Allah. Berbeda pendapat dalam hal ini dengan mengingkarinya adalah perilaku bid’ah.
Ketiga, berbeda pendapat terkait hukum furu’ yang memiliki banyak kemungkinan. Di sinilah letak rahmat Allah dan menjadi karamah bagi para ulama. Inilah maksud dari hadis ikhtilafu ummati rahmah, perbedaan di dalam umatku adalah rahmat.
Penulis: Muhammad Aqil, alumni PP Lirboyo (2017), Kediri. Tinggal di Sumenep, Jawa Timur. Aktif di berbagai kegiatan bahtsul masail di lingkungan Nahdlatul Ulama.