Qaul as-Shahabiy, atau pendapat para sahabat Nabi, acapkali menjadi salah satu sumber hukum yang dipakai oleh para pemikir Islam sejak masa lampau.
Memang, qaul as-shahabiy tak sementereng sumber hukum Islam lainnya: Al-Qur’an, Hadis, ijma’, dan qiyas. Faktanya, hanya empat adillat al-ahkam ini yang disepakati keabsolutannya oleh seluruh ulama. Sementara qaul as-shahabiy bersama lima perkara lainnya masih diperselisihkan keabsahannya. Lima hal itu adalah ihtihsan, maslahah mursalah, urf, isthishab, dan syar’u man qablana.
Sebagian pakar ushul fikih mengira, qaul as-shahabiy ini sah-sah saja untuk diberlakukan. Bahkan, ia harus diutamakan dari pada pendapat empat mazhab mainstream: Hanafiyah, Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah.
Pernyataan ini sempat mengganggu Ibnu al-‘Arabi. Bagaimana jika kemudian pendapat Syafi’iyah—mazhab yang ia anut—berbeda dengan pendapat para sahabat? Ia mengeluhkannya kepada imam al-Ghazali. Keluhan ini terangkum dalam kitab Shinaa’ah al-Fatwa milik syaikh Abdullah bin Bayyah.
ذكر البرزلي. إن ابن العربي سأل الغزالي عن من قلد الشافعي مثلا. وكان مذهبه مخالفا لأحد الخلفاء الاربعة او غيرهم من الصحابة فهل له اتباع الصحابة لأنهم أبعد عن الخطاء ولقوله صلى الله عليه وسلم : اقتدوا باللذين من بعدي ابي بكر وعمر. فأجاب يجب عليه أن يظن بالشافعي أن له لم يخالف الصحابي الا لدليل أقوي من مذهب الصحابي. وإن لم يظن هذا فقد نسب الشافعي للحهل بمقام الصحابي وهو محال.
“Al-Barzali bertutur bahwa Ibnu al-‘Arabi pernah bertanya kepada al-Ghazali mengenai permasalahan orang yang bertaqlid kepada imam as-Syafi’i. Sedangkan mazhab imam as-Syafi’i (bisa saja) berbeda dengan mazhab dari salah satu khulafa’ al-arba’ah atau dari sahabat-sahabat nabi yang lain. (Jika terjadi seperti itu) Apakah ia harus mengikuti sahabat (dan meninggalkan pendapat imam as-Syafi’i)? Toh, para sahabat lebih jauh dari kesalahan. Juga, karena ada hadis Nabi berbunyi, ‘Ikutilah dua orang setelahku: Abu Bakar dan Umar.’ Al-Ghazali menjawab, ‘Wajib baginya untuk menduga bahwa imam Syafi’i tidak berbeda pendapat dengan para sahabat, kecuali karena ada dalil yang dinilai lebih kuat dari mazhab para sahabat. Jika tidak demikian, maka ia sama saja menganggap bahwa imam Syafi’i tidak mengetahui derajat para sahabat. Dan itu tidak mungkin.’”
Baca juga: Bermazhab Syafi’i atau Syafi’iyah?
Syaikh Abdullah bin Bayyah kemudian memberi penjelasan. Ada beberapa alasan kuat mengapa mazhab empat lebih diunggulkan dari pada pendapat para sahabat.
Pertama, harus diakui bahwa pada era tabi’in, dunia hukum islam mengalami stagnasi dalam bidang fatwa. Ini karena masing-masing ulama mereka memberi fatwa bukan dengan kajian yang komprehensif, tapi ‘hanya’ sesuai dengan hadis yang diterima saja. Sementara, masih ada hadis-hadis lain yang juga membahas permasalahan terkait, yang sayangnya, hadis itu tidak sampai kepadanya karena di masa itu hadis-hadis telah menyebar berjauhan ke berbagai negara. Kedua, ada banyak faktor yang menyebabkan fatwa yang dicetuskan berbeda-beda, seperti kepentingan politis yang sangat berpengaruh pada waktu itu.
Sementara di era tabi’i at-tabiin, banyak ulama yang menyibukkan diri dengan mengumpulkan hadis Nabi sebanyak-banyaknya. Mereka lalu melakukan penelitian dan penilaian atas hadis-hadis itu. Dari sanalah lahir produk hukum yang dianggap paling kuat dasar pengambilan dalilnya. Kemudian lahirlah mazhab empat, yang jejaknya terbukukan dengan rapi dan terus dikembangkan oleh para pengikutnya.
Imam an-Nawawi di dalam kitab Majmu’-nya juga menyangsikan qaul as-shahabiy apabila dijadikan sebagai sandaran hukum. Jika pendapat sahabat dilegalkan sebagai salah satu mashadir al-ahkam, ini akan sangat bermasalah. Qaul seorang sahabat Nabi boleh jadi memiliki solusi hukum pada suatu permasalahan. Tetapi seringkali ia tidak memberi putusan hukum apapun di permasalahan lain. Begitu pun pada qaul sahabat yang lain. Tidak komplitnya solusi hukum yang dimiliki ini akan menggiring umat untuk selalu berpindah-pindah mazhab. Hal ini justru sangat menyulitkan. Berbeda dengan pendapat mazhab empat, terutama mazhab Syafi’iyah. Kita bisa menjumpai fatwa-fatwanya untuk menyelesaikan problem hukum apapun. Bahkan bisa dijadikan pegangan untuk segala persoalan muqallid (orang yang bertaklid) sepanjang umurnya.
Dalam diskursus ilmu ushul fikih, sebagaimana yang tertera dalam kitab Lubb al-Ushul milik imam Zakariya al-Anshariy, qaul as-shahabiy cenderung ditolak oleh para pakar ushul fikih. Ia tidak boleh diaplikasikan dalam menentukan solusi hukum.
Berbeda dengan pendapat yang lain, para pakar ushul fikih menolak qaul as-shahabiy karena semata ia tidak mudawwan—tidak terkodifikasi dengan baik. Syarat mudawwan ini begitu penting, karena sangat berpengaruh pada kebenaran teks yang diwariskan.
Tidak mudawwan-nya qaul as-shahabiy ini dinilai membuat kesalahan dari para perawi yang mewariskan pendapat pasca era sahabat sangat mungkin terjadi. Alasan ini, sampai saat ini, adalah alasan terkuat dan belum ditemukan sanggahan yang baik dari pemikir yang kontra dengan pendapat ini.
Baca juga: Fikih Manhaji Sebagai Solusi Bermadzhab Secara Dinamis
Meski begitu, mengetahui dan mempelajari pendapat para sahabat tetap sangat penting. Di samping kedudukannya sebagai ilmu yang akan menambah cakrawala berpikir, juga akan menyadarkan kita betapa luasnya khazanah ilmu fikih. Dengan mengetahui perbedaan pendapat yang hampir kita temukan di setiap persoalan, akan menyadarkan kita untuk tidak tergesa-gesa dalam membuat putusan hukum, dan tidak mudah menyalahkan solusi yang berbeda. Dengan begitu, kita bisa terhindar dari rasa saling bermusuhan dan berkelompok dengan tujuan menyudutkan pihak lain. Wallahu a’lam.
Penulis: Muhammad Atid, Alumni PP Lirboyo (2017), Kediri. Sekarang tinggal di Pontianak, Kalimantan Barat. Aktif pada kegiatan bahtsul masail di lingkungan Nahdlatul Ulama (NU).