Oleh: M. F. Falah Fashih*
Sebagai umat muslim, kita terlampau sering mendengar kritikan tentang bahaya yang ditimbulkan oleh bid’ah atau penyimpangan terhadap sunah Nabi. Kritikan tentang bid’ah rasanya sudah sangat banyak. Andai pantas, bisa dikatakan justru terlalu banyak. Sehingga mengkritisi tentang perilaku bid’ah menjadi terlalu mainstream, dan rasanya tidak lagi menarik. Namun pernahkah terlintas dalam pikiran kita untuk mengkritisi perilaku mengikuti sunah Nabi.
Iya, benar. Anda tidak salah baca, mengkritisi perilaku meniru Rasulullah.Â
Ini memang terasa tidak sopan dan kurang ajar di hadapan Rasulullah. Tapi jangan terburu-buru menghakimi. Kita, termasuk saya, memahami dan menyadari dengan sepenuhnya bahwa umat Muslim sudah sepatutnya dan seharusnya meniru segala perilaku terpuji Rasulullah. Bahkan bisa dikatakan bahwa menjadikan Rasulullah sebagai teladan bagi kita untuk menghabiskan waktu dalam kehidupan merupakan sebuah keharusan. Pasalnya, hal semacam itu juga sudah ditegaskan oleh Allah dalam Al-Quran. Firman yang menjadi hal maklum bagi kita.
Akan tetapi, benarkah yang kita lakukan benar-benar menjadikan Rasulullah sebagai teladan? Atau jangan-jangan yang kita ikuti hanya nafsu kita yang salah paham, jika tidak mau menyebut sengaja disesatkan pemahamannya, tentang perilaku Rasulullah.Â
Kesalahpahaman Mengikuti Sunah Nabi
Salah satu kasus yang pernah saya temui adalah menggendong balita ketika sedang melakukan salat. Saya mengakui bahwa memang ada riwayat yang menyatakan bahwa Rasulullah pernah melakukan salat sambil menggendong cucunya. Jika dipahami secara literal, maka menggendong balita ketika salat adalah bentuk meniru tindakan dan sunnah Rasulullah.
Bahkan, tidak akan dianggap berlebihan jika menyebutnya sebagai tindakan yang mencerminkan sikap menyayangi anak kecil, seperti hal yang memang diajarkan oleh Rasulullah.
Akan tetapi dalam realitas modern, ada poin yang mungkin luput dari perhatian dan pemahaman. Kita tahu, bahwa di zaman modern, hampir semua balita menggunakan pamper untuk menampung air kencingnya agar tidak bocor dan baju luarnya juga tetap kering.
Kemungkinan besar hal ini belum dikenal di zaman sebelumnya, termasuk zaman Rasulullah. Dahulu, ketika balita buang air, maka akan tembus pada pakaian luarnya, karena tidak ada pamper. Popok yang hanya menggunakan kain berlapis tentu tidak akan setahan pamper.
Apa hubungannya?
Jika berpikir lebih lanjut, kita dapat memahami bahwa ketika Rasulullah salat sambil menggendong cucunya, hampir dipastikan bahwa cucunya dalam keadaan suci, karena andaikan najis pasti terlihat. Sehingga salatnya tetap sah menurut syariat, karena tidak ada najis yang menempel pada diri Rasulullah. Sedangkan situasi saat ini tak benar-benar sama, bahkan bisa dikatakan sama sekali berbeda.
Menggendong balita yang menggunakan pamper saat salat merupakan tindakan yang riskan. Pasalnya, pamper balita memiliki potensi besar menampung air kencing yang notabene merupakan hal najis. Sehingga, menggendong balita yang menggunakan pamper saat salat tidak berbeda sama sekali dengan membawa najis saat salat. Tentu saja akan berbeda pandangan jika balita tersebut baru saja diganti pampernya. Meski hal tersebut juga tak sepenuhnya menjamin bahwa pampernya kosong dari air kencing.
Kesimpulan
Dengan pola pandang dan berpikir seperti ini, maka menggendong balita pada zaman ini ketika salat tidak bisa benar-benar disebut sebagai meniru sunnah Rasulullah. Bahkan bisa dikatakan bidah secara harfiyah. Mengapa? Karena dia membawa najis saat salat secara sengaja, sesuatu yang tidak dilakukan oleh Rasulullah.
Satu kasus ini harusnya bisa menyadarkan kita bahwa sunah Nabi tidak bisa dipahami mentah-mentah untuk diikuti. Ada syarat dan ketentuan yang berlaku untuk benar-benar bisa mengikuti sunnah Rasulullah. Apa saja syarat dan ketentuan yang berlaku tersebut? Secara sederhana, syarat dan ketentuan yang berlaku untuk mengikuti sunnah Rasulullah adalah memahami situasi, kondisi serta konteks sunnah tersebut, sehingga tidak tersesat pada pemahaman dan praktik yang salah terhadap sunnah tersebut.
Pasalnya, memahami sunnah Rasulullah secara mentah-mentah berpotensi membawa seseorang pada praktik yang salah, dan seperti yang terlah disampaikan tadi, berpotensi melakukan bidah yang dimaknai secara harfiyah. Tanpa memerhatikan syarat dan ketentuan yang berlaku, kita justru melanggar sunnah Rasulullah, alih-alih mengikutinya.
Dari sini, kita memahami bahwa mengkritisi tindakan yang terlihat meniru sunnah Rasulullah pun juga penting, untuk menilai dengan seksama apakah tindakan tersebut benar-benar sesuai dengan sunnah Rasulullah atau justru melanggarnya.
*Founder IBIDISM (Inspiration Base, Initiators and Developers Institution for Santri of Ma’had Aly). Alumni Pascasarjana Ma’had Aly Lirboyo – Kediri. [email protected].