Syariat dan Tarekat, Sebuah Takaran Proporsional

0
573
Syariat dan Tarekat, Sebuah Takaran Proporsional

Oleh: M. F. Falah Fashih*

Dalam beberapa segmen masyarakat Indonesia, di Jawa khususnya, ada semacam dogma yang mengajarkan dikotomis antara ajaran syariat dan tarekat. Dogma ini memberikan gambaran seakan syariat dan tarekat merupakan dua hal yang benar-benar berbeda satu sama lain, dan mengharuskan seseorang untuk memilih salah satunya saja. Pada kasus yang lebih ekstrem, dogma tersebut bahkan berujung pada tindakan menomorsatukan tarekat, dan dalam waktu yang bersamaan, mengesampingkan syariat.

Yang justru terkadang memunculkan keprihatinan adalah tindakan beberapa oknum yang terpengaruh dogma tersebut. Mereka menganggap bahwa jalan yang mereka pilih adalah jalan yang paling benar, sedangkan orang-orang di luar kelompok mereka dianggap sebagai kelompok yang tidak akan mencapai derajat tertinggi dalam hierarki kemuliaan di sisi Allah. Dari satu sudut pandang, tentu tindakan semacam ini merupakan hal yang berpotensi memicu gerakan eksklusif, alih-alih inklusif. Padahal, sudah jamak diketahui bahwa ajaran-ajaran Islam yang dibawa oleh pendahulu kita cenderung inklusif.

Kesenjangan paham semacam ini, jika dikatakan secara jujur, sebenarnya kebanyakan bermuara pada kesalahpahaman—atau bahkan kegagalan dalam memahami—ajaran Islam. Untuk itu perlu ada tindakan untuk meluruskan paham semacam ini, agar tidak terus berlarut-larut serta tidak menimbulkan ketegangan yang berkepanjangan. Setidaknya, ada dua hal yang harus diketengahkan untuk menyelasaikan hal semacam ini.

Pertama, hal yang harus difahami adalah pengertian dan ruang lingkup syariat dan tarekat. Tanpa memahami maksud sebenarnya dari dua hal tersebut, rasanya kurang adil untuk membicarakan dan membahas tentang keduanya. Apalagi jika sampai salah dalam memahami maksud, sehingga berimplikasi pada kesalahan menempatkan keduanya dalam posisi yang tidak proporsional.

Baca Juga: Santunan Anak Yatim, Sebuah Arena Panjat Sosial?

Secara sederhana, syariat bisa dimaknai segala hal yang dijalankan oleh Rasulullah, dengan memahami bahwa kata syari’at semakna dengan kata masyru’. Pemaknaan sederhana ini, jika dielaborasi dan dilakukan break down terhadap makna tersebut, mengantarkan pada pemaknaan syariat yang lebih luas. Yakni, bahwa syariat merupakan segala hal yang diturunkan oleh Allah kepada nabi-Nya yang mencakup hukum, amaliyah ataupun keyakinan. Jika dipersempit dalam konteks Islam, maka syariat Islam dimaknai sebagai segala hal yang diturunkan dan diwahyukan oleh Allah kepada Nabi Muhammad yang mencakup hukum, amaliyah dan keyakinan.

Jika bersikap jujur secara akademik dan berpikir secara linear dari pemaknaan tersebut, sebenarnya syariat juga mencakup tarekat. Atau lebih sederhananya, bahwa tarekat merupakan bagian dari syariat. Pasalnya, tarekat adalah serangkaian cara yang ditempuh oleh seorang hamba untuk mendekatkan diri kepada Tuhannya, Allah. Pada dasarnya, serangkaian cara tersebut merupakan pola yang digunakan untuk mengimplementasikan sikap penghambaan (‘ubudiyyah).

Lalu apakah cara yang digunakan seseorang untuk menghambakan diri kepada Allah tidak tercakup dalam syariat? Tentu saja tercakup. Karena pada dasarnya, syariat berisi tentang cara seseorang beribadah (menghambakan diri) kepada Allah, baik beribadah secara amaliyah ataupun iktikad (keyakinan).

Dari poin pertama ini, sebenarnya dikotomi syariat-tarekat sudah nampak sebagai kesalahan dalam memahami pengetahuan Islam. Namun, bagi beberapa orang, syariat dan tarekat tetap saja dinilai sebagai dua hal yang berbeda. Pasalnya, syariat hanya identik dengan hukum halal-haram, wajib-sunnah dan sejenisnya yang hanya bersifat hitam-putih. Orang yang dilabeli dengan kaum ‘syariat’ dianggap terlalu kaku, dan hanya mengamalkan sisi kulit dari Islam saja. Sedangkan tarekat identik dengan wirid dan zikir yang dinilai sebagai kasta yang lebih tinggi dan lebih dekat dengan Allah.

Jika berdasar dengan pola pikir semacam ini, maka hal kedua yang harus difahami adalah posisi syariat dan tarekat yang proporsional. Harus diakui bahwa dua hal tersebut memang sama-sama penting dalam menjalankan ibadah kepada Allah. Jika diibaratkan secara sederhana, mempelajari syariat sama dengan seseorang yang mempelajari peta dan rambu-rambu untuk menempuh suatu perjalanan hingga mencapai tujuan. Sedangkan mempelajari tarekat diibaratkan sebagai mempelajari cara melakukan perjalanan hingga mencapai tujuan. Artinya, kedua hal tersebut sama-sama tidak bisa diabaikan. Tanpa mempelajari peta dan rambu-rambu, seseorang akan tersesat di jalan. Alih-alih sampai tujuan, ia akan terhenti di jalan, kebingungan, dan yang paling buruk; dia tersesat tanpa terasa sama sekali. Sebaliknya, tanpa mempelajari cara melakukan perjalanan dan mengamalkannya, seseorang tidak akan pernah kemana-mana. Dia hanya diam di tempat.

Rasanya, perumpamaan ini juga didukung oleh pernyataan Imam Al-Ghazali dalam Kitab Ihya’ Ulumiddin bahwa mempelajari syariat terlebih dulu adalah jalan yang lebih kredibel untuk mendekatkan diri pada Allah. Bahkan menurut Imam Al-Ghazali ada banyak orang yang perjalanannya dalam mendekatkan diri kepada Allah menjadi terhenti hanya gara-gara mereka tidak melaksanakan proses ta’allum (belajar syariat) terlebih dahulu. Andai mereka belajar syariat terlebih dulu, maka perjalanan mendekatkan diri kepada Allah menjadi lebih cepat.

Hal serupa juga disampaikan oleh Syaikh Abdul Qodir ketika menceritakan pengalamannya. Beliau meriwayatkan bahwa setan yang mengaku-ngaku sebagai tuhan gagal menggoda beliau. Padahal godaan tersebut sangat ampuh bagi banyak orang sebelumnya. Salah satu bekal yang membuat beliau berhasil menggagalkan godaan tersebut adalah pengetahuan beliau tentang syariat. Pasalnya, setan menggoda beliau dengan menyatakan bahwa hal-hal yang diharamkan kini dihukumi halal. Sehingga, seketika beliau menyadari bahwa hal itu merupakan godaan setan semata.

Baca Juga: Mengaku Tuhan, 70 Ahli Ibadah Teperdaya oleh Setan

Dari penuturan Imam Al-Ghazali dan Syekh Abdul Qodir di atas, bisa dibayangkan bagaimana nasib dan keadaan seseorang yang ‘nekat’ melakukan perjalanan mendekatkan diri kepada Allah tanpa berbekal ilmu yang cukup.

Lagipula, jika bersikap jujur secara fakta di lapangan, para mursyid tarekat saat ini, banyak juga yang menyelipkan ilmu tentang tata cara bersuci, sholat dan ibadah lain. Padahal hal-hal semacam ini tergolong hal-hal yang dilabeli sebagai syariat. Tentu ini memberikan indikasi yang kuat bahwa syariat dan tarekat merupakan dua hal yang tidak bisa dipisahkan begitu saja, serta keduanya bukan merupakan dua hal yang bertentangan.

Sehingga, dalam konteks yang lebih jauh, tidak ada tarekat kredibel yang mengajarkan hal-hal yang bertentangan dengan syariat. Jika ada tarekat yang mengajarkan bahwa sholat lima waktu tidak wajib, maka dapat dipastikan bahwa tarekat tersebut tidak kredibel alias tidak mu’tabarah.

Lagipula, kita harus benar-benar paham bahwa jalan untuk mendekatkan diri kepada Allah tidak hanya satu, misal dengan membaca dzikir tertentu  atau mengikuti tarekat tertentu. Ada sangat banyak jalan untuk mendekatkan diri kepada Allah. Selama jalan itu tidak bertentangan dengan syariat, maka sesungguhnya hal itu tidak problematik. Buktinya, tarekat yang dilabeli mu’tabarah (kredibel) oleh organisasi yang otoritatif tidak hanya satu, kan?

*Founder IBIDISM (Inspiration Base, Initiators and Developers Institution for Santri of Ma’had Aly). Alumni Pascasarjana Ma’had Aly Lirboyo – Kediri. [email protected].