Tahqiqul Manath dalam Khilafiyah Penyelenggaraan Shalat Jumat
Perbedaan pendapat tentang wajib tidaknya penyelenggaraan Shalat Jumat di tengah penyebaran Virus Corona di Indoensia adalah wajar. Keputusan Bahtsul Masail, Fatwa, Taushiyah, pandangan bebarap ulama yang merilis pendapatnya di media sosial banyak perbedaan satu sama lain. Dari ragam perbedaan tersebut sebenarnya terdapat titik temu atau persamaan. Dan semuanya dapat dirujuk kepada pendapat ulama salaf yang otoritatif di lingkungan Madzhab Empat.
Perbedaan -menurut hemat penulis- bukan di dalam hukum fiqh tapi di dalam proses dan hasil Tahqiiqul Manath-nya.
Tahqqiiqul Manath adalah upaya pembuktian illat di dalam kasus (waaqi’ah) yang dibahas. Misalnya apakah penyakit yang diderita seorang pasien termasuk penyakit yang jika terkena air akan menyebabkan kesembuhan menjadi melambat (buth’ul bur’i) sehingga sudah bisa menyebabkan seseorang meninggalkan wudlu dan berganti tayammum atau belum.
Bisa jadi pasien dan dokter berbeda pendapat. Atau antar beberapa dokter berbeda pendapat sendiri. Atau pasien dan semua dokter telah sepakat, tapi seorang kerabat pasien yang kebetulan kiai menganggap tetap wajib wudlu.
Sekali lagi perbedaan ini bukan di hukum fiqih tapi di dalam penerapannya di dalam sebuah kasus yang harus dimulai dengan Tahqiiqul Manath. Dalam Tahqiiqul Manath yang dibutuhkan adalah pemahaman atas kasus.
Berikut beberapa hukum fiqih seputar penyelenggaraan Shalat Jumat dan penerapannya.
1. Hukum asal penyelenggaraan Shalat Jumat adalah wajib. Rasulullah mengecam peniadaan Shalat Jumat karena istikhfaf atau juhud.
Hukum fiqih ini tentu disepakati. Tapi persoalaannya ada sebagian orang yang karena selalu suudhon kepada pemerintah, kepada tokoh atau lembaga tertentu, ia menganggap bahwa fatwa peniadaan Shalat Jumat selalu dianggap istikhfaf. Padahal untuk mengetahui motif istikhfaf adalah proses tahqiiqul Manath. Untuk mengetahuinya, seharusnya bukan dengan suudhon tapi tabayyun.
2. Tidak wajib menyelenggarakan Shalat Jumat bagi seluruh penduduk desa yang semuanya terkena udzur seperti dalam ibarat Nihayatul Muhtaj, berarti meniadakan iqamatul Jumat. Diantara udzur menghadiri Shalat Jumat adalah khauf atau khawatir atas keselamatan jiwa.
Hukum ini disepakati.
Perbedaan terjadi dalam hasil pengamatan atas waqi’ah. Apakah udzur berupa khauf sudah berlaku menyeluruh atau belum? Apakah khauf yang terjadi bersifat dhanni atau wahmi? Apakah di masing Zona Hijau, Zona Kuning atau Zona Merah sudah terjadi khauf atau tidak? Ini semua membutuhkan Tahqiiqul Manath. Dan perbedaan hasil Tahqiiqul Manath menyebabkan perbedaan hukum penyelenggaran Shalat Jumat di sebuah daerah.
Tentu setiap orang berbeda-beda sesuai pengetahuannya. Mungkin ada yang menyamakan Virus Corona ini dengan virus yang menyebabkan flu biasa. Ada yang menyimpulkan dari pemberitaan penyebaran Virus Corona di banyak negara lalu menyimpulkan bahwa Virus tersebut di Indonesia akan sama penyebarannya. Ada yang melihat pola penyebaran di Jakarta lalu disamakan dengan penyebaran di Jawa Tengah.
Dhonn yang terjadi adalah hasil dari qiyasusyyahid ‘ala lghooib, yaitu menyamakan hukum kasus yang di dibahas, yang di depan mata dengan kasus yang “di sana”. Maka perlu pemahaman tentang apa yang di bahas dengan apa yang “di sana”. Pemahaman berbeda-beda ini karena perbedaan ilmu dan tentunya informasi yang diterima. Dan pasti menyebabkan hukum fiqihnya.
Hal yang sama, saat kita hendak membeli mangga 10 kg, memilih mangga mana lagi yang enak tentu tidak perlu mencicipi semua mangga agar kita yakin bahwa semua mangga yang akan kita beli adalah enak.
Kita tentunya akan melakukan qiyas, dengan memperhatikan mangga yang akan kita beli lalu melakukan qiyas yaitu menyamakan mangga yang di depan kita dengan konsep “mangga yang enak” yang berasal dari pengalaman kita sebelumnya? Demikianlah ilmu tentang penyakit dan obat. Pencegahan penyebaran penyakit dan penyembuhan sebuah penyakit juga melalui qiyas yang dhonni.
3. Kaidah menolak mafsadah didahulukan dari pada mendatangkan kemaslahatan.
Kaedah ini tentu menjadi kesepakatan. Perbedaan adalah di dalam penerapannya. Ada yang menilai peniadaan Shalat Jumat adalah cara menolak mafsadah yaitu cara mencegah penularan penyakit. Ada yang menilainya sebagai cara yang tidak perlu diberlakukan secara umum, tapi dengan melihat masing-masing desa, kelurahan atau lingkungannya.
Contoh lain, seorang yang sakit yang kata dokter dia dilarang berwudlu dan harus menggantinya dengan tayammum. Bisa jadi, karena saking kuat percaya dirinya, ia menilai air tidak akan menyebabkan kesembuhan penyakitnya melambat (buth’ al-bur’i). Ia memilih tetap berwudlu karena itu kewajiban yang asal. Ia menolak tayammum. Ia lebih berpegang pada pengertian umum hadis yang menyebutkan bahwa wudlu adalah sebuah ikhtiar kesembuhan atas penyakitnya.
Dalam masalah ini tentu.sangat wajar terjadi perbedaan kesimpulan hukum. Tapi sebenanya perbedaan bukan di kaedah hukum yang dipakai, tapi disebabkan perbedaan hasil Tahqiiqul Manath. Dan sekali lagi hasil Tahqiiqul Manath tergantung ilmu dan informasi tentang penyakit tersebut.
Lain halnya jika penerapan kaidah tersebut dalam kasus apakah saya harus menolong orang yang tenggelam atau tetap melakukan Shalat, tentu semua sepakat bahwa saya harus menolong orang yang akan tenggelam. Karena kasusnya sangat jelas.
4. Madzhab Hanafi mensyaratkan penyelenggaraan Shalat Jumat harus dengan izin Pemerintah. Shalat Jumat tanpa izin Pemerintah hukumnya tidak sah.
Sementara itu, di Tuhfatul Muhtaj disebutkan, bahwa kebijakan pemerintah yang melarang penarikan zakat atas harta milik anak kecil sebaiknya diikuti warga bermadzhab Syafii. Kebijakan Pemerintah melarang penyelenggaraan Shalat Jumat dapat disamakan dengan masalah zakat ini. Artinya, masalah yang khilafiyah, Pemerintah dapat memilih pendapat sesuai kemaslahatan.
Hukum Fiqih diatas jika disepakati tentu masih menyisakan persoalan. Apakah di Indoensia sudah ada larangan menyelenggarakan Shalat Jumat sehingga wajib dipatuhi. Atau sekedar anjuran. Atau ada larangan tapi tidak ada sangsinya yang berarti seperti anjuran. Atau ada larangan tapi ada pengecualian.
Maklumat Kapolri, yang menyebutkan larang melakukan perkumpulan termasuk perkumpulan keagamaan masih ada celah yaitu di nomor 2c Maklumat tersebut. Disebutkan bahwa jika memang tidak mendesak dan tidak bisa dihindari perkumpulan tetap wajib mengikuti protocol pencegahan yang ditetapkan Pemerintah.
Artinya masih boleh menyelenggarakan Shalat Jumat karena shalat Jumat adalah ibadah wajib dengan tetap harus mengikuti Protocol Pencegahan.
Atau ada yang memahami, penyelenggaraan Shalat Jumat untuk pekan ini tetap dilarang karena ditemukan dalam praktek Shalat Jumat di pekan kemarin, banyak masjid yang tidak mematuhi protocol.
Bagi Pemerintah ini menakutkan. Tenyata, belum ada keseriusan dari Takmir Masjid dalam mematuhi protocol. Katakutan ini beralasan bagi pemerintah. Sebab jika ada penularan lalu ada yang sakit, yang bertanggung jawab bukan Takmir Masjid. Orang yang sakit tentu mau tidak mau akan dibawa rumah sakit. Sementara tenaga medis terbatas, obat terbatas dan fasilitas terbatas. Kalau ada salah penanganan atau tidak tertangani yang disalahkan bukan kiai, bukan pula Takmir tapi yang disalahkan adalah pemerintah.
Sekali lagi perbedaan pendapat ini bukan di hukum fiqih tapi di dalam hasil Tahqiiqul Manath atau hasil pengamatan illat di dalam kasus.
Pengamatan atas illat tentu akan berbeda-beda tergantung ilmu dan informasi yang diterima.
Kesimpulannya, mari kita menyikapi perbedaan pendapat dengan saling menghormati. Karena perbedaan pendapat yang ada di dalam masalah ini sebenarnya bukan dalam hukum fiqih. Tapi di dalam perbedaan tashawwur atau hasil Tahqiiql Manath. Jadi wajar jika berbeda hasil akhirnya. Maka tidak perlu saling kecam dan petentang petenteng menolak pendapat yang berbeda. Sekali lagi mari saling menghormati.
In uriidu illal ishlaah ma statha’tu.
Wallahu A’lam
KH M Faeshol Muzammil (Wakil Ketua LBM NU Jawa Tengah)