Khazanah Aswaja: Pesantren Lirboyo, Aswaja dan Nasionalisme

0
126

aswajamuda.com (210317) Kediri – Penanaman kembali ideologi Ahlussunnah wal Jamaah menjadi begitu penting akhir-akhir ini. Terutama, ketika melihat fakta bahwa cukup banyak alumnus berbagai pesantren, yang mendapat ajaran dan maqalah-maqalah bijak masyayikh (para kiai) saat masih di pesantren, kini justru berkiprah di jalan yang bertentangan dengan ideologi yang bertahun-tahun diterimanya saat di pesantren.

Fakta ini diungkap oleh Ahmad Muntaha AM, salah satu Tim Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur dalam bedah buku Khazanah Aswaja yang dikemas dalam acara Internalisasi Ahlussunnah wal Jamaah dalam Konteks Kekinian (18-19/03) di depan ratusan santri Pondok Pesantren Lirboyo.

Berawal dari kegerahan akan fakta inilah, kemudian menjadi salah satu dasar bagi Tim Aswaja NU Center untuk “menyeduh” kajian-kajian pemahaman bernafas Aswaja yang dapat dinikmati khalayak muslim Indonesia.

Dalam Khazanah Aswaja yang menjadi buku wajib bagi Santri Lirboyo itu, khususnya bagi para santri yang akan melangsungkan safari dakwah selama bulan Ramadhan tahun ini di berbagai daerah se Nusantara dan para santri tamatan Aliyah tahun ini, telah terpapar dengan jelas sejarah berikut analisa berbagai tema Ahlussunnah wal Jaamaah, terutama kaitannya dengan tawaran ideologi dari aliran lain.

Baca: Dawuh Para Kiai Tentang Khazanah Aswaja
Baca: PBNU Bedah Khazanah Aswaja, Referensi Sempurna Wawasan Keaswajaan
Baca: Khazanah Aswaja; Matakuliah Keaswajaan di Kampus-kampus NU

“Sangat banyak aliran yang berusaha mengacaukan ajaran Ahlussunnah. Puncak usaha mereka, umumnya ingin menanamkan ajaran tauhid uluhiyah, rububiyah, dan asma’ wa shifat (yang sangat terlarang bagi akidah aswaja). Pada intinya, mereka ingin akidah pengikut Aswaja menjadi buram”, jelas pria alumnus Lirboyo tamatan tahun 2010 ini.

Muntaha juga menjelaskan, yang juga marak terjadi dewasa ini adalah usaha mempropagandakan jargon Kembali ke Alquran dan Hadits ke dalam mindset kaum muslimin Indonesia. Mereka mengajak untuk meninggalkan kitab-kitab salaf dan pendapat-pendapat ulama. Alquran, kata mereka, adalah kalam Allah, yang terjaga keasliannya dan pasti benar apa yang dikandungnya. Sementara ulama adalah manusia, makhluk yang tak lepas dari kesalahan.

“Kalian pilih mana, Alquran yang ma’shum (terjaga dari kesalahan) atau kitab-kitab yang dikarang makhluk yang tak lepas dari dosa?” tuturnya menirukan jargon yang sering mengemuka itu. “Yang mengherankan, banyak santri yang tergerus jargon ini. Bagaimana bisa? Padahal para kiai, Masyayikh dan pesantren tidak pernah meninggalkannya (Alquran dan Hadits), kok kita diajak kembali. Kembali ke mana?” gumamnya.

Syaikh Ramadhan Al-Buthi, sebutnya, bahkan menilai jargon ini sangat tidak bisa dipertanggungjawabkan. Akhtharu bid’ah, bid’ah paling berbahaya. Karenanya, para santri harus sangat berhati-hati. Propaganda yang dilakukan sudah begitu masif, tidak hanya oleh satu-dua kelompok, namun sudah menjamur dan dilantangkan berbagai komunitas dan kelompok masyarakat.

“Ada pula kelompok yang sering menyorot persoalan-persoalan besar negara yang tidak terpecahkan. Ekonomi yang buruk, itu karena (kita percaya pada konsep) Pancasila thaghut (sesat). Obatnya apa? Khilafah. Politik yang tidak kunjung adem, obatnya apa? Khilafah. Apa-apa khilafah.”

Penjelasan ini kemudian mengundang pertanyaan dari Isrofi, salah satu peserta kelas tiga Aliyah (MHM) Madrasah Hidayatul Mubtadi-ien. “Bukankah alasan-alasan mereka ada di dalam nash? Dan bukankah itu, dengan merujuk bahwa Alquran dan Hadits adalah kabar yang pasti benar, jelas bisa diterima?”

Ahmad Muntaha dalam menjawab kegundahan ini kemudian merujuk sikap para Kiai di pesantren ketika membacakan kitab di depan para santri, saat sampai pada teks-teks yang menngesankan kekerasan dalam Islam, mereka berujar, “Yo ngunu kui kitab, Cung (Ya begitu itu teks kitabnya, Nak)”._ Artinya, nash yang kita baca tidak bisa serta merta dapat dipahami sekilas, lalu diterjemahkan apa adanya. Satu maqalah arif mengatakan, “an-nash syai’un, wa tathbiquhu syai’un akhar.” Dalil nash adalah sesuatu, sementara penerapannya adalah hal lain. Perlu melihat faktor-faktor lain sebelum nash diterapkan.

“Mbah Hasyim (KH. Hasyim Asy’ari) saat kukuh mendukung NKRI apa tidak tahu nash-nash seperti itu? Itulah perlunya penalaran lebih dalam mengenai dalil-dalil nash, terlebih jika ingin melakukan tindakan yang subversif seperti akhir-akhir ini,” terangnya.

Di akhir pembicaraan Muntaha menegaskan, bahwa saat ini diperlukan santri-santri yang berjiwa militan dalam memperjuangkan Ahlussunnah. “Para Masyayikh sangat berharap tumbuh para santri yang tak kenal lelah berjuang dan berkiprah di berbagai bidang, terutama lewat budaya literasi. Karena dengan semakin intensifnya karya tulis santri lahir, keutuhan NKRI dan kelestarian agama Islam dapat terus diabadikan”, pungkasnya. (Nasih-Hasyim/Kediri)