Bijak Menyeimbangkan Akhlak dan Fikih

0
1782
menyikapi covid 19

Dalam fikih hukumnya boleh-boleh saja, sah ibadah seseorang yang melakukan salat dengan prosedur minimal. Seperti saat hanya memakai pakaian yang sekedar bisa menutupi anggota badan antara pusar hingga lutut bagi lelaki. Hal demikian tidaklah haram untuk dilakukan.

Dalam fikih juga hukumnya boleh-boleh saja salat tanpa membaca tasbih ketika rukuk dan sujud. Salat yang hanya sekedar mempraktekkan gerakan tanpa membaca apapun selain bacaan rukun.

Tapi apakah meskipun sah-sah saja jika seseorang berlaku demikian sesuai fikih, lantas menjamin hal tersebut pantas untuk dilakukan?

Ibarat kata jika ada seseorang yang sowan kepada seorang ulama besar dan tidak mengenakan pakaian yang layak, tentunya akan dianggap tidak etis dan tidak sopan. Apalagi jika sedang menghadap dan bermunajat kepada Allah Subhanahuwata’ala. Dan orang yang salat tanpa membaca bacaan tasbih saat rukuk dan sujud akan dianggap orang yang tidak memiliki marwah. Tidak punya harga diri. Meskipun salatnya sah. Apakah pantas bila ada seorang hamba menghadap Allah Subhanahuwata’ala tanpa mengucapkan sepatah kata?

Dalam fikih juga tidak bisa dikatakan melanggar hukum, bila suami menafkahi istrinya dengan takaran minimal. Seperti hanya memberikan lauk pauk beserta makanan sejumlah satu mud (sekitar 6,8 ons beras) bagi orang miskin, satu setengah mud bagi yang berkecukupan, dan dua mud bagi orang kaya.

Suami yang tidak memberikan apapun selain kewajiban nafkah minimal dalam fikih sebenarnya tidak menjadi masalah. Seperti saat suami menolak memberi biaya pengobatan bila istrinya sedang sakit.

Namun hal tersebut jika dipandang dari sisi akhlak dan kepantasan, tidak seyogyanya untuk dilakukan. Meskipun sah-sah saja secara hukum fikih. Karena apa yang ada dalam fikih belum tentu sesuai dengan akhlak, sedangkan apa yang ada dalam akhlak sudah pasti cocok dengan hukum fikih.

Sebab akhlak adalah,

عبارة عن هيئة للنفس راسخة تصدر عنها الأفعال بسهولة ويسر من غير حاجة إلى فكر ورويَّة

Suatu karakter yang mengkristal dan menjiwa dalam diri seseorang, sehingga dengan karakter tersebut keluarlah perbuatan secara refleks tanpa adanya keraguan.” (Imam Ghazali, Ihya Ulumuddin, [Semarang, Maktabah Karya Thoha Putra, tt.], juz III, halaman 52.)

Sedangkan syariat adalah,

الأحكام المنزل علي سيدنا محمد التي فهمها العلماء من الكتاب والسنة نصا و استنباطا

Hukum-hukum yang diturunkan kepada nabi Muhammad Shalallahu’alaihiwasallam, yang kemudian dipahami oleh ulama baik secara tekstual maupun kontraktual.”

Syariat sendiri dikumpulkan dalam tiga hal, akad, fikih, dan tasawuf.

Kalau suatu perbuatan cocok dengan akal dan syariat maka disebut sebagai akhlak yang baik. Namun jika tidak sesuai maka disebut akhlak yang buruk.

Maka saat kita hanya mengamalkan fikih saja, tanpa diimbangi dengan yang lain akan berpotensi menjadi orang fasik.

من تفقه ولم يتصوف فقد تفسق، ومن تصوف ولم يتفقه فقد تزندق، ومن تفقه وتصوف فقد تحقق

Barangsiapa yang mempelajari fikih tanpa bertasawuf maka dia disebut fasiq. Siapa yang bertasawuf tanpa mendalami fikih, disebut zindiq (orang yang pura-pura beriman). Dan siapapun yang menyeimbangkan antara keduanya maka itulah yang benar (ahli hakikat yang sesungguhnya).” (Syaikh Ali bin Sultan Muhammad Al-Qari, Mirqatul Mafatih Syarh Misykatul Mashobih, [Beirut, Darul Kutub Ilmiyyah, 2001], juz 1, Halaman 478.)

Wallahu a’lam.

Ditranskrip dari kajian ilmiah Islam K.H. Azizi Hasbullah (Dewan perumus LBM PBNU). Sumber.

Editor: Muhammad Khoirul Wafa.