Nahdhatul Ulama Tetap Setia kepada NKRI

0
1796

Judul : Khazanah Aswaja

Penulis : Tim Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur

Penerbit : Aswaja NU Center

Cetakan : Oktober 2016

Tebal : xxiv + 486 halaman

ISBN : 978-602- 74756-0

Secara nominal, anggota Nahdhatul Ulama (NU) terbesar di Indonesia. Dari aspek organisasi kemasyarakan dan keagamaan, juga terbesar di seluruh dunia. Hampir satu abad NU menjadi garda depan perjuangan kemerdekaan dan kesatuan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dengan berpijak pada nilai-nilai Islam Nusantara dalam formula ahlus sunnah wal jamaah (aswaja).

Sekarang, NU berada di ambang bahaya karena berhadapan dengan gerakan penghancuran basis pemahaman aswaja. Eksesnya bukan hanya pada keliaran pemikiran dan tindakan yang ditimbulkan, namun juga pada retaknya kesatuan bangsa yang selama ini dijunjung tinggi.

KH Ma’ruf Amin, selaku ketua PBNU, mengatakan ancaman datang dari tiga arah. Pertama, dari dalam tubuh NU dimotori para pemuda yang kebelet untuk menggerakkan lokomotif pemikiran warga NU. Mereka nekat memakai langgam pemikiran liberal, meninggalkan pakem berpikir manhaj yang selama ini dipegang teguh ulama NU.

Kedua, gerakan transnasional yang atas nama Islam bersyahwat mengislamkan Indonesia dengan mau mengubah undang-undang, hukum, dan sistem pemerintahan menjadi khilafah. Ketiga, gerakan historisida yang dimotori kaum Wahabi. Gerakan ketiga ini juga mengatasnamakan ahlus sunnah wal jamaah. Ciri khasnya, purifikasi ajaran Islam dari anasir kultural, historis, dan lokalitas (hlm 7).

Di depan tiga ancaman ini banyak warga NU bingung, bahkan sebagian terseret. Maklum, setiap gerakan tadi ditata secara sistemik dengan kucuran dana tidak sedikit. Rata-rata penyandang dananya dari luar negeri. Para penyebarnya juga sudah dididik secara matang dan menguasai medan dakwah.

Pesan Buku : Khazanah Aswaja

Ditambah lagi beragama aliansi media yang mereka miliki. Sebab itu, agar warga NU tidak mudah terpengaruh gerakan masif tersebut, buku ini memberi patokan jelas tentang manhaj aswaja yang dipegang NU, yaitu moderat, toleran, reformatif, dinamis, dan metodologis (hlm 15).

Dalam sejarah, aswaja yang dipegang NU memang tidak pernah ekstrem. Ia justru menjadi juru damai dua pihak ekstrem yang bertikai. Bagi Aswaja, pertikaian muncul karena terlalu eksklusif menganggap dirinya terbaik. Mereka lupa kelemahannya. Mereka juga buta melihat sisi positif kelompok lain karena terlalu fokus atau memang sengaja bernafsu mencari kesalahannya. Aswaja tidak demikian. Akal sehat masih dipertahankan. Ini dicontohkan teolog Imam Asy’ari saat mendamaikan golongan Mutazilah yang cenderung rasionalis dan Ahlul Hadis yang gandrung tekstualis (hlm 246).

Sikap moderat ini bukan karena dorongan politis atau mencari aman. Tapi, ini didasarkan pada sabda Rasulullah, moderat itu terbaik, tidak kaku. Ali bin Abi Thalib tegas mengatakan, “Ikutilah kelompok moderat yang dapat diikuti dan menjadi rujukan orang yang berlebihan alias ekstrem (hlm 309).”

Buku ini mengajak warga NU senantiasa memegang rumusan aswaja yang dibingkai KH Hasyim Asy’ari. Ini satu-satunya cara menafsirkan Islam sesuai dengan konteks keindonesian. Buku juga mengetengahkan sejarah NU mempertahankan kemerdekaan Indonesia dan pendedahan skeleton politik NU (hlm 458). Semua sebagai anasir historis untuk menebalkan rasa nasiolisme tubuh NU.

Indonesia sekarang, setelah reformasi, beragam aliran, gerakan, partai, dan golongan bermunculan. Di satu sisi, aura demokratis sangat terasa. Di sisi lain, beragam bentrok sering bergolak. Ini amat merisaukan karena mengancam masyarakat, negara, dan stabilitas.

Ibarat perahu besar, Indonesia seperti berada di tengah samudra yang diterjang badai. Alangkah sangat bijak jika setiap penumpang, apa pun agama, aliran, dan etnisnya bersama-sama menjaga diri, berbagi, dan bertoleransi tanpa tendensi menguasai perahu. Sebab merasa paling berhak dan paling benar. Itulah tujuan inti buku ini.

Diresensi Suryanto, Kandidat Doktor UIN Malang

sumber : koran-jakarta.com