Home Fiqih Qurban Wajib dan Sunnah

Qurban Wajib dan Sunnah

0
qurban wajib


Qurban Wajib
Qurban (tadhhiyah) adalah ternak yang disembelih dengan tujuan mendekatkan diri kepada Allah pada hari raya nahr sampai akhir hari tasyriq.[1]

Adapun hukumnya adalah sunnah kifayah dalam satu keluarga yang berjumlah lebih dari satu orang.[2]  Hal itu berdasarkan surat al-Kautsar ayat 2 dan Hadits Nabi Saw riwayat Muslim :

فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ (الكوثر : 2 )

Maka shalatlah (hari raya) dan sembelihlah (qurban).

عَنْ أَنَسٍ رَضِيَ اللهُ تَعَالىَ عَنْهُ قَالَ ضَحَّى النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِكَبْشَيْنِ أَمْلَحَيْنِ أَقْرَنَيْنِ ذَبَحَهُمَا بِيَدِهِ اْلكَرِيْمَةِ وَسَمَّى وَكَبَّرَ وَوَضَعَ رِجْلَهُ اْلمُبَارَكَةَ عَلىَ صِفَاحِهِمَا (رواه مسلم )

Dari Anas ra ia berkata, bahwa Nabi saw berkurban dengan dua kambing kibasy berwarna putih lagi panjang tanduknya, beliau menyembelihnya dengan tangan beliau sendiri yang mulia seraya membaca basmalah, bertakbir dan meletakkan kaki beliau yang berkah diatas leher kedua kambing tersebut. HR. Muslim

Baca Juga: Fikih Kurban ( Definisi, Dalil, Hukum, Hikmah dan Kriteria Hewan Kurban )

Dari hukum asal qurban yaitu sunnah bisa berubah menjadi wajib apabila dinadzarkan atau dinyatakan melalui pernyataan kesanggupan (ja’li), misalnya “aku jadikan binatang kambing ini sebagai qurban”.[3] Perbedaan hukum sunnah dan wajib berkonsekuensi adanya perbedaan hukum dan pengelolaanya disamping juga masih ada persamaanya.

Persamaan Qurban Wajib dan Sunnah

  1. Jenis ternak qurban dan persyaratannya, yaitu untuk jenis onta, harus berusia genap lima tahun (qamariyyah) dengan fisik tidak cacat dan tidak sakit ; sapi, harus berusia genap dua tahun (qamariyyah) dengan fisik tidak cacat dan tidak sakit ; dan kambing, harus berusia genap satu tahun (qamariyyah) atau sudah lepas giginya (powel :jw) untuk kambing domba/kibasy dan dua tahun (qamariyyah) atau sudah lepas giginya (powel :jw) untuk kambing kacang/jawa. [4]
  2. Waktu penyembelihanya, yaitu pada hari raya qurban dan tiga hari tasyrik berikutnya.
  3. Larangan menjadikan kulit, kepada, kaki atau yang lainya sebagai ongkos dan menjualnya.

(قوله وَلاَيَبِيْعُ) اى يَحْرُمُ عَلىَ اْلمُضَحِّىْ بَيْعُ شَيْئٍ (مِنَ اْلاُضْحِيَةِ) اَىْ مِنْ لَحْمِهَا اَوْشَعْرِهَا اَوْجِلْدِهَا وَيَحْرُمُ اَيْضًا جَعْلُهُ اُجْرَةً لِلْجَزَّارِ وَلَوْ كَانَتِ اْلاُضْحِيَةُ تَطَوُّعًا

(Tidak boleh menjual), maksudnya haram atas mudlahhi menjual sedikit saja (dari qurban) baik dagingnya, bulunya atau kulitnya. Haram juga menjadikannya sebagai ongkos penyembelih walaupun qurban itu qurban sunat.[5]

وَلاَيَجُوْزُ بَيْعُ شَيْئٍ مِنَ اْلهَدْيِ وَاْلأُضْحِيَةِ نَذْرًا كَانَ اَوْ تَطَوُّعًا

Tidak diperbolehkan menjual sedikitpun dari hewan hadiah dan qurban, baik itu nadzar ataupun sunnah.[6]

Baca Juga: Syukur Nikmat di Kala Idul Adha

Dalam madzhab Hanafi dan Hanbali, diperbolehkan menjual kulit qurban akan tetapi hasil penjualannya wajib disedekahkan kepada mustahiq kurban.[7]

Perbedaan Qurban Wajib dan Sunnah

  1. Beberapa hal dalam pengelolaanya. Kurban sunnah maupun wajib memang sama-sama boleh didikelola (disembelih dan dibagikan) sendiri oleh mudhahhi atau diserahkan kepada panitia, namun jika diserahkan kepada panitia maka antara qurban sunnah dan wajib harus dipisahkan jangan sampai tercampur, hal ini guna menghindari kekeliruan dalam pembagian dagingnya. Pada dasarnya panitia sebagai wakil mudhahhi mereka tidak ada hak untuk makan bagian dari kurban yang di-anamanah-kan kepadanya, kemudian agar panitia dapat ikut mencicipinya maka harus ada izin dari mudhahhi dan untuk qurban wajib disamping harus ada izin hanya berlaku bagi panitia yang bersatus faqir.

وَلاَيَجُوْزُلِلْوَكِيْلِ اْلأَخْذُ مِنْهَا لِاتِّحَادِ اْلقَابِضِ وَاْلمُقْبِضِ نَعَمْ اِنْ عَيَّنَ لَهُ قَدْرًا جَازَ لِاَنَّ اْلمُقْبِضَ حِيْنَئِذٍ هُوَالْمَالِكُ

Dan tidak boleh bagi wakil (panitia) mengambil dari padanya, sebab akan terjadi menyatunya qabidh (penerima) dan yang menerimakan (muqbidh), tetapi jika pemilik telah menentukan kadar tertentu untuk wakil maka diperolehkan, sebab ketika demikian yang terjadi, maka pihak yang menerimakan adalah langsung pemilik.[8]

Baca Juga: Keutamaan Malam Idul Adha

  1. Memakannya oleh mudhahhi (pekurban) dan keluarganya. Untuk qurban sunnah bagi mudhahhi dan keluarga yang wajib ditanggung nafkahnya boleh bahkan sunnah memakan sebagianya sekedar untuk mencicipi. Sedang untuk qurban wajib bagi mudhahhi dan keluarga yang wajib ditanggung nafkahnya tidak boleh (haram) memakan sebagianya walau sekedar mencicipi, bahkan wajib disedekahkan seluruhnya kepada orang faqir.
  2. Pembagian dagingnya. Untuk qurban sunnah harus ada yang disedekahkan kepada mustahiq yaitu orang faqir walaupun tidak seluruhnya disamping bagi mudhahhi disunnahkan mencicipinya. Sedangkan untuk qurban wajib seluruhnya wajib disedekahkan kepada fuqara’ dan bagi mudhahhi serta keluarga yang wajib ditanggung nafkahnya tidak boleh (haram) makan sedikitpun.

وَلاَ يَأْكُلُ اْلمُضَحِّىْ شَيْأً مِنَ اْلأُضْحِيَةِ اْلمَنْذُوْرَةِ وَيَأْكُلُ مِنَ اْلمُتَطَوَّعِ بِهَا

Pihak yang berkorban tidak boleh memakan sedikitpun dari qurban yang dinadzarkan dan boleh memakannya jika dari qurban sunnah.[9]

Baca Juga: Fikih Kurban (Waktu Pelaksanaan, Kesunahan, Alokasi Daging dan Masalah Seputar Kurban )

Dari penjelasan di atas dapat ditarik kesimpulan, bahwa bagi yang ingin melakukan ibadah qurban (mudhahhi) seharusnya sudah memahami tata caranya, apalagi panitia qurban sebagai penerima amanah wajib memahami secara lebih detail dan jangan sampai keberhasilan panitia sekedar diukur dari jumlah ternak yang banyak dan pemerataan pembagian dagingnya, sebab bisa jadi si penerima itu bukan mustahiq. Semoga bermanfaat

[1] Zakariyya al-Anshari, Fath al-Wahhab, vol. 2, hal. 327

[2] Zakariyya al-Anshari, Fath al-Wahhab, vol. 2, hal. 221

[3] Al-Nawawi, al-Majmu’ Syarh Muhadzdzab, vol. 8, hal. 275

[4] Ibnu Ruslan, Nazham Zubad, hal. 135-136

[5] Al-Bajuri, vol. 2, hal. 311

[6] Al-Majmu’, vol. 2, hal. 150

[7] Lihat : Ali al-Muradi, al-Inshaf, vol.4, hal. 70 ; al-Hishni, Kifayah al-Akhyar, hal. 701

[8] Hasyiyah al-Syarqawiy,  vol. 2, ha. 108

[9] Kifayah al-Akhyar, vol. 2, hal. 241

Ahmad Asyhar Shafwan
Khadimul Ilmi PP. Al-Fatich Tambak Osowilangun Surabaya

Ilustrasi: life24