Menurut Bu Nyai Hj. Roikhanah Faqih, kegiatan Bahsth al-Masa’il merupakan kegiatan perjuangan para bu nyai yang membutuhkan banyak pengorbanan.
Pengorbanan dimaksud adalah status ibu rumah tangga yang disandang oleh para bu nyai. Di tengah kesibukan sebagai ibu rumah tangga dan sekaligus harus mendampingi para kiai untuk mengasuh pesantren masing-masing, para bu nyai tersebut tetap memiliki semangat untuk mengadakan kegiatan tersebut.
Bahkan tidak jarang di dalam melaksanakan kegiatan tersebut juga disertai dengan kegiatan mengasuh anak yang memang sudah menjadi beban tanggung-jawabnya sebagai ibu rumah tangga.
Semangat pemberdayaan tersebut disebabkan oleh kenyataan bahwa pesantren, dalam beberapa hal, sudah banyak mengalami perubahan dan pergeseran, terutama tingkat penerimaan dan penghargaan lembaga ini terhadap eksistensi kaum perempuan.
Paling tidak itu terjadi dalam 2 (dua) dekade terakhir ini. Kini, pesantren tidak lagi sebagai lembaga pembatas hak-hak perempuan dalam keilmuan, bahkan pada tingkat tertentu, pesantren menjadi penganjur hak-hak perempuan.
Ini diakibatkan oleh persentuhan mereka dengan pihak luar, terutama pemerintah (sistem pendidikan yang tidak segregatif) dan kalangan lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang bergerak dalam bidang pemberdayaan hak-hak perempuan dan kesetaraan gender.
Selain itu, terdapat dua keputusan penting yang terjadi di internal NU, ormas yang menjadi afiliasi kalangan pesantren, khususnya yang tergabung dalam RMI putri di wilayah eks-Karesidenan Kediri tersebut, yang secara tidak langsung ikut mempengaruhi semangat pemberdayaan yang sedang menggejolak di kalangan bu nyai tersebut. Kedua keputusan tersebut adalah:
1. Keputusan Bahsth al-Masa’il al-Diniyyah al-Maudu’iyyah tentang Kedudukan Wanita dalam Islam pada Musyawarah Nasional Alim Ulama Nahdlatul Ulama Tahun 1997 di Lombok. Pada keputusan tersebut dinyatakan bahwa di Islam wanita mendapatkan tempat yang mulia, tidak seperti yang dituduhkan oleh sementara masyarakat bahwa Islam menempatkan wanita sebagai subdominan dalam tatanan kehidupan masyarakat.
Kedudukan mulia kaum wanita itu ditegaskan dalam banyak hadis, diantaranya di dalam hadis yang artinya: ‚surga itu berada di bawah telapak kaki ibu‛, serta hadis yang menyebutkan bahwa seorang sahabat bertanya kepada Rasulullah saw tentang siapa yang paling berhak mendapat perlakuan terbaik, Rasulullah saw menjawab ‚ibumu‛ diulang sebanyak 3 (tiga) kali, baru ‚bapakmu‛.
Islam memberikan hak wanita yang sama dengan laki-laki untuk memberikan pengabdian yang sama kepada agama, nusa, bangsa, dan negara, berdasarkan al-Qur’an surat al-Mukmin (40) :40, Ali ‘Imran (3): 195, al-Nahl (14): 97, al-Ahzab (33): 35, dan beberapa hadis Nabi saw. Ayat-ayat dan hadits tersebut adalah sebuah realitas pengakuan Islam terhadap hak-hak wanita secara umum dan anugerah kemuliaan dari Allah SWT.
2. Keputusan Bahsth al-Masa’il al-Diniyyah al-Maudu’iyyah tentang Islam dan Kesetaraan Gender pada Muktamar XXX Nahdlatul Ulama Tahun 1999 di PP. Lirboyo Kota Kediri Jawa Timur. Di dalam keputusan tersebut
dinyatakan bahwa pada dasarnya Islam adalah agama yang menekankan spirit keadilan dan keseimbangan (tawazun) dalam berbagai aspek kehidupan. Relasi gender dalam masyarakat yang cenderung kurang adil merupakan kenyataan yang menyimpang dari spirit Islam yang menekankan pada keadilan. Terdapat 3 (tiga) masalah yang menjadi halangan terciptanya ‘relasi gender‛ yang lebih adil, yaitu bidang yang berkaitan dengan teologi (pandangan agama), kebudayaan (persepsi masyarakat), dan politik.
Kedua Bahsth al-Masa’il tersebut telah menunjukkan fenomena kehadiran kaum perempuan sebagai peserta dengan hak penuh sebagaimana para ulama atau kiai laki-laki. Keterlibatan mereka di dalam Bahsth al-Masa’il al-Diniyyah al-Maudu’iyyah tentang Kedudukan Wanita dalam Islam pada Musyawarah Nasional Alim Ulama Nahdlatul Ulama Tahun 1997 di Lombok bahkan telah melahirkan keputusan yang mengejutkan.
Keputusan Munas pada akhirnya melegitimasi kesetaraan laki-laki dan perempuan untuk melakukan peran-peran sosial-politik mereka masing-masing. Keputusan ini juga dikukuhkan di dalam Bahsth al-Masa’il al-Diniyyah al-Maudu’iyyah tentang Islam dan Kesetaraan Gender pada Muktamar XXX Nahdlatul Ulama Tahun 1999 di PP. Lirboyo Kota Kediri Jawa Timur.
Pada awalnya, dengan penuh semangat, para bu nyai tersebut secara aktif bergiliran mendampingi dan memandu kegiatan dialog interaktif dan tanya jawab tersebut. Namun, lambat laun dengan berjalannya waktu semangat tersebut mulai berkurang karena banyaknya masalah yang menghambat para bu nyai tersebut untuk terlibat secara aktif.
Diantara masalah-masalah yang mengurangi semangat dan menghambat keaktifan para bu nyai tersebut adalah:
Pertama, banyaknya urusan rumah tangga masing-masing bu nyai yang banyak menyita waktu dan perhatiannya.
Kedua, Kesibukan para bu nyai untuk mendampingi para kiai dalam mengurus kepentingan pesantren masing-masing.
Ketiga, Kurangnya dukungan para kiai/suami para bu nyai. Bahkan tidak jarang ada kiai yang justru ikut memprovokasi kiai lainnya agar bu nyainya tidak boleh aktif dalam kegiatan tersebut karena dianggap melawan tradisi pesantren yang patriarkis.
Keempat, status single parent yang membebani para bu nyai karena meninggalnya kiai.
Masalah-masalah yang dihadapi oleh para bu nyai tersebut disebabkan oleh pemahaman keagamaan bias gender sebagaimana dianut oleh mayoritas umat Islam, tanpa terkecuali di kalangan umat Islam Indonesia.
Pemahaman bahwa posisi dan kedudukan perempuan memang rendah, yaitu lebih rendah dari laki-laki. Sebagai akibatnya, dalam realitas empirik di masyarakat Islam, posisi perempuan pada umumnya masih subdominan dan marginal. Masih banyak perempuan memikul beban kerja yang sangat berat dan melelahkan, mengalami dominasi, diskriminasi, eksploitasi, dan kekerasan, terutama kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).
Tulisan ini merupakan bagian dari sub bab disertasi Dr. Moh. Shofiyul Huda MF, M.Ag. berjudul Dasar Pemikiran Pembentukan Forum Musyawarah Pondok Pesantren Putri Se-Jawa Timur.