Di era modern ini, solusi untuk mengurangi ketergantungan kita pada hal-hal yang bersifat duniawi adalah hidup dengan bertasawuf.
Sebab, tasawuf adalah cara untuk melatih seseorang menjadi pribadi yang bersih dari hawa nafsu. Tasawuf juga menjadi jalan untuk memperindah akhlak, menghias diri lahir batin, demi mendapatkan kebahagiaan yang abadi. Hal-hal ini adalah puncak tujuan hidup para sufi (para pelaku tasawuf).
Namun bagi sebagian orang, tasawuf masih dianggap jalan untuk menuju ridla Allah yang sangat menyeramkan. Bagaimana tidak. Tasawuf dikenalkan banyak ulama dengan ragam ibadah yang sangat ekstrim. Sebutlah puasa dalam waktu tahunan, tidak berhenti bermunajat malam, dan lain-lain. Ibadah seperti ini tidak bisa dilakukan oleh kebanyakan orang sekarang. Apalagi mereka yang takdir hidupnya banyak disibukkan dengan pekerjaan.
Pada dasarnya, cara-cara ekstrim seperti di atas bukanlah aturan pakem dalam bertasawuf.
Sebab, tasawuf juga ternyata banyak menawarkan cara-cara mudah yang bisa dilakukan oleh semua orang, tak terkecuali pekerja berat atau pemalas sekalipun.
Mereka yang tidak terbiasa berpuasa, ataupun qiyamul lail—ibadah di malam hari, sangat bisa menjalankan cara bertasawuf ini.
Hal ini dikemukakan oleh as-syaikh al-imam Tajuddin bin Atha’illah as-Sakandari dalam kitab Taj al-‘Arusy-nya
من فاته كثرة الصيام والقيام أن يشغل نفسه بالصلاة على رسول الله صلى الله عليه وسلم. فإنك إن فعلت في جميع عمرك كل طاعة ثم صلى الله عليك صلاة واحدة رجحت تلك الصلاة الواحدة على كل ما عملته في كل عمرك كله من جميع الطاعات لأنك تصلى على قدر وسعك وهو يصلى على حسب ربوبيته.
“Barang siapa yang sering terlepas puasa dan ibadah malamnya, hendaknya menyibukkan diri dengan membaca salawat kepada Rasulullah saw. Karena sesungguhnya jika engkau melakukan segala ketaatan di sepanjang umurmu, lalu Allah bersalawat kepadamu dengan satu salawat saja, tentu satu salawat Allah itu mengungguli segala ketaatan yang telah engkau lakukan di sepanjang umurmu dari berbagai macam ketaatan. Sebab engkau bersalawat dengan kadar kemampuanmu, sedangkan Allah bersalawat atas dasar sifat ketuhanan-Nya.”
Tentu pandangan syekh Tajuddin bin Atha’illah as-Sakandari di atas bukan tanpa alasan yang logis secara ilmiah. Ada beberapa alasan yang mendasari pandangan ini.
Kelebihan Salawat dibanding Ibadah Lain
Pertama, banyak sekali hadis nabi yang menjelaskan keutamaan bersalawat. Utamanya hadis yang diriwayatkan oleh imam Muslim sebagaimana berikut
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: مَنْ صَلَّى عَلَيَّ وَاحِدَةً صَلَّى الله عَلَيْهِ عَشْرًا
“Diriwayatkan dari Abu Hurairah bahwasannya Rasulullah saw. bersabda, ‘barang siapa bersalawat satu kali kepadaku, maka Allah akan bersalawat sepuluh kali kepadanya.’”
Imam Ghazali juga mengutip hadis di atas di dalam kitab ihya’nya. Beliau berkomentar
فهذا جزاءه في الصلاة عليه بلسانه فكيف بالحضور لزيارته ببدنه.
“Ini (balasan sepuluh rahmat Allah atas satu salawat kepada nabi) adalah balasan bagi orang yang hanya bersalawat dengan lisannya saja.”
Jika balasan tersebut hanya bagi mereka yang salawatnya cuma di mulut saja, menurut al-Ghazali, tentu ada nilai plus jika salawat tersebut dibaca dengan khusyu’, lebih-lebih dengan membayangkan Nabi hadir?
Sementaara itu, salat tahajud, yang sering didengungkan sebagai salah satu jalan untuk bertasawuf, pahalanya memang besar. Seperti janji Allah,
Namun, bahasa “’asaa an yab’atsaka robbuka maqomam mahmuda” ini menunjukkan pahala yang dijanjikan masih ‘belum tentu’, memandang makna lafaz “’asaa” adalah “barangkali.”
Sehingga tak salah jika kita menilai bahwa pahala salawat ini tidak kalah dengan pahala yang disematkan pada ibadah-ibadah berat, bahkan salat tahajud sekalipun.
Keselamatan di Akhirat tidak Tergantung Amal Kita
Kedua, karena selamatnya seseorang kelak di akhirat bukan tergantung amalnya, Bahkan nabi sekali pun tidak dijamin masuk surga lantaran amalnya, melainkan lantaran rahmat Allah Swt. Sebagaimana hadis yang diriwayatkan imam Bukhari dan imam Muslim berikut:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، عَنْ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ: لَنْ يُنْجِيَ أَحَدًا مِنْكُمْ عَمَلُهُ قَالَ رَجُلٌ: وَلَا إِيَّاكَ؟ يَا رَسُولَ اللهِ قَالَ: وَلَا إِيَّايَ، إِلَّا أَنْ يَتَغَمَّدَنِيَ اللهُ مِنْهُ بِرَحْمَةٍ، وَلَكِنْ سَدِّدُوا،
“Diriwayatkan dari Abu Hurairah, dari Rasulullah saw. sesungguhnya beliau bersabda: ‘tidaklah amal seseorang bisa menyelamatkan salah satu diantara kalian.’ Seseorang bertanya, ‘dan tidak juga engkau, wahai Rasulullah?’ Nabi menjawab, ‘Tidak juga aku. Kecuali Allah melindungiku dari amal itu dengan rahmat-Nya. Meskipun begitu, bersungguh-sungguhlah kalian semua (dalam beribadah).’”
Kesimpulan
Maka pandangan syekh Tajuddin bin ‘Atha’illah di awal tidaklah berlebihan. Benar saja jika beliau mengatakan satu salawat (rahmat) Allah lebih unggul jika dibandingkan dengan amal ketaatan seseorang. Sekalipun ketaatan ia lakukan sepanjang umurnya. ketika melihat hadis nabi tentang jaminan masuk surga.
Dus, cara paling mudah memperoleh rahmat Allah adalah dengan membaca salawat seperti hadis di atas.
Perlu digarisbawahi, tulisan ini bukanlah ajakan terbuka untuk meninggalkan puasa sunnah dan salat malam yang telah menjadi wadhifah—amalan rutin bagi sebagian orang yang sejak dulu sudah menjadi ciri khas para tokoh sufi.
Justru tulisan ini lebih kepada memberi solusi bagi orang yang tidak kuat menjalankan ibadah-ibadah yang dirasa berat bagi orang-orang awam, seperti puasa sunnah dan berjaga di waktu malam demi bermunajat kepada Allah Swt.
Sehingga, orang-orang awam punya kesempatan yang sama untuk bisa mendekat kepada Allah, dan berjalan di atas landasan spiritual para sufi.
Sekian. Semoga manfaat.
Penulis: Muhammad Atid. Alumnus Pondok Pesantren Lirboyo (2017), Kediri. Tinggal di Pontianak, Kalimantan Barat dan aktif pada kegiatan bahtsul masail di lingkungan Nahdlatul Ulama (NU).