Suatu hari Syaikh Abdullah bin Mubarak merasa gelisah hati, sebab banyak orang membicarakan tentang beliau. Tapi bukan dalam konotasi negatif. Masyarakat mengatakan kalau beliau adalah ulama yang zuhud. Opini yang beredar itu konon justru membuat beliau merasa tidak tentram.
Tapi apakah yang sebenarnya membuat hati beliau tidak tenang?
Beliau tidak merasa nyaman dengan julukan tersebut. Sikap rendah hati beliau membuat diri merasa belum pantas menyandang gelar demikian. Beliau merasa perlu meluruskan “desas-desus” di masyarakat tadi, dan menunjukkan kepada mereka siapakah yang benar-benar layak disebut sebagai orang yang zuhud.
“Orang yang zuhud bukan saya, tapi beliau, Khalifah Umar bin Abdul Aziz. Harta benda dalam jumlah banyak mendatangi beliau, tapi beliau menolak. Sementara aku? Aku ini zuhud dari apa?“
Tentunya beliau sekedar mewujudkan tawadhu dalam mengatakan itu. Syaikh Abdullah bin Mubarak juga adalah orang yang zuhud. Namun, jika direnungkan kembali, kata-kata beliau menyadarkan kita, bahwa ternyata zuhud kitalah yang sebenarnya terpaksa.
Kita tidak memiliki dunia bukan sebab pilihan kita sendiri. Tapi karena memang itulah keadaan sebenarnya. Andaikata ditawari jadi orang kaya, mungkin kita tak akan menolak. Jika di suatu pagi mendadak ada yang mau membelikan sebuah mobil baru, kita juga dalam hati kecil mungkin dengan senang hati akan menerima pemberian itu, alih-alih mengatakan “kasih saja kepada tetanggaku yang jauh lebih membutuhkan.”
***
Menggali definisi zuhud kita akan menemukan khazanah yang beragam. Banyak ulama mencoba merepresentasikan itu dengan ragam bahasa dan pengertian. Tapi maksudnya adalah satu pemahaman.
Syaikh Abul Hasan as-Syadzili mengartikan zuhud dengan pengertian singkat, namun memiliki makna mendalam. Zuhud menurut beliau adalah faraghul qalb ‘amma siwa ar-rab, kosongnya hati selain hanya dari Tuhan.
Definisi tersebut tentunya memberikan pemahaman bahwa zuhud sebenarnya tak selamanya berbanding lurus dengan kehidupan yang serba kelihatan sederhana. Pakaian apa adanya, bahkan yang nampak compang-camping. Sebab zuhud bukanlah miskin.
Kita mencoba mengingat dan meresapi kembali makna dibalik syair Imam Malik, tatkala ditanya mengapa beliau selalu nampak mengenakan pakaian mewah. Beliau sering menggunakan baju-baju kebesaran, lebih-lebih saat mengaji.
حسن ثيابك ما استطعت فإنها # زين الرجال بها تعز وأكرم
ودع التحسن في الثياب تواضعا # فالله يعلم ما تسر وتكتم
بجديد ثوبك لا يضرك بعد ما # تخشى الإله وترتقي ما يحرم
و رثيث ثوبك لا يزيدك رفعة # عند الإله وانت عبد مجرم
Perindah pakaianmu sebisa mungkin, sebab itu adalah perhiasan, yang dengan itu kamu akan dihormati dan dimuliakan.
Jangan kau kenakan baju yang buruk karena alasan kerendah hatian, sebab Allah Maha Mengetahui apa saja yang kamu rahasiakan dan sembunyikan.
Dengan baju barumu, tak akan ada pengaruh yang membahayakan, setelah kamu bisa bertakwa kepada Allah dan menjauhi apa saja yang terlarang.
Tapi lusuhnya bajumu tidak akan menambah derajat mulia di sisi-Nya, kalau saja kamu adalah hamba yang berlumur dosa.
***
Definisi dari Syaikh Abul Hasan as-Syadzili, ataupun syair Imam Malik memberikan kesempatan bagi kita untuk merenungkan kembali, bahwa yang nampak dari seseorang adalah sekedar bias akan apa yang terjadi dalam hati. Semacam refleksi, namun bukan tolok ukur sejati.
Kita ingat apa yang didawuhkan oleh Syaikh Ibnu Athaillah Al-Iskandariy,
ما قلّ عملٌ برز من قلب زاهد، ولا كثر عملٌ برز من قلب راغب
“Amal sedikit menjadi banyak jika dilakukan oleh orang zuhud. Amal banyak menjadi sedikit jika dilakukan oleh penghamba dunia.”
Orang bisa saja nampak kaya raya, tapi sebenarnya zuhud. Namun bisa jadi yang miskin papa malah cinta dunia. Kita tidak bisa menilai, dengan sekedar penampilan luar. Sebab zuhud ada didalam hati, dan yang kelihatan mata sekedar pantulan. Cerminan yang bahkan kadang merupakan bias. Yang tidak boleh sembarangan kita dalihkan sebagai justifikasi.
Dengan definisi bahwa zuhud ada didalam hati, ia tak akan kehilangan relevansi di belantara modernisasi dan globalisasi. Karena zuhud adalah sikap, suatu hal yang kita terjemahkan sebagai hilangnya kumanthil ati. Bukan sepenuhnya anti dengan materi.
Zuhud kaitannya dengan perasaan, sehingga tak ada hubungan dengan trend, mode, atau sejenisnya. Bukan menitikberatkan penampilan sebagai bagian yang parsial, akan tetapi lebih kepada norma dan nilai-nilai moral.
Ada sebuah nasihat indah dari seorang bijak bestari. Bukankah dari lebarnya seluruh kasur, hanya sebagian kecil yang kita butuhkan untuk alas tempat tidur? Dari pekarangan yang luas hingga sulit diukur dengan jarak, hanya sekian petak yang kita butuhkan sebagai tempat berpijak? Dari banyaknya makanan yang penuh di sebuah lumbung padi, hanya satu piring yang kita butuhkan untuk sarapan pagi. Dan dari ratusan koleksi baju-baju yang menawan, kita sebenarnya saat ini hanya butuh sehelai pakaian.
Mengapa masih meminta dan berharap akan hal-hal yang berlebihan?
Wallahu a’lam…