Sirah Nabawiyah [20]: Bercampurnya Ajaran Ibrahim dengan Penyembahan Berhala

0
534
Nabi Muhammad Dituduh Jahiliyah

Kampanye paganisme (penyembahan berhala) yang dilakukan oleh Amr bin Luhay kemudian menyebar ke seantero Jazirah Arabia. Dengan begitu, mereka tercerabut dari aqidah tauhid leluhurnya dan menggantinya dengan keyakinan baru. Sehingga mereka melakukan kesesatan, keyakinan, dan perilaku buruk seperti yang dilakukan oleh umat-umat lain.

Meskipun begitu, masih ada orang Arab yang bersetia memegang ajaran tauhid dan berperilaku berdasarkan ajaran Hanif. Jumlah mereka sangat sedikit, memang. Namun, mereka masih meyakini adanya hari kebangkitan dan bahwa Allah akan mengganjar pahala pada hamba yang taat dan akan menghukum hamba yang durhaka.

Mereka ini membenci ajaran baru berupa penyembahan berhala dan kesesatan pikir yang dibuat-buat oleh orang Arab. Yang populer dari golongan ini adalah Qus bin Saidah Al-Iyadi, seorang bijak bestari, wafat sebelum tahun kenabian. Juga ada Riab Asy-Syinni, dan pendeta Buhaira. Keduanya beragama Nasrani.

Sisa-sisa ajaran, prinsip, dan ritual agama hanif, berkat orang-orang ini, masih mewarnai kehidupan jahiliah orang Arab. Misalnya, memuliakan Baitullah al-haram, tawaf, haji, umrah, wukuf di Arafah, dan penyembelihan unta.

Ajaran Nabi Ibrahim

Pada mulanya, semua itu disyariatkan dan diajarkan turun temurun sejak era Nabi Ibrahim as. Tetapi, lama-lama, mereka mempraktekkannya dengan cara yang tidak benar dan mencampurnya dengan ajaran baru. Misalnya, mengubah bacaan talbiyah dalam haji dan umrah. Kabilah Kinanah dan Quraisy ketika membaca talbiyah akan berucap

لبّيك اللّهم لبّيك، لبّيك لا شريك، إلا شريك هو لك، وتملكه وما ملك

“Aku penuhi panggilan-Mu, ya Allah. Tidak ada sekutu bagi-Mu, kecuali sekutu yang Engkau miliki dan yang dimiliki sekutu-Mu.”

Sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Hisyam, dalam talbiyah itu mereka mengesakan Allah, lalu memasukkan berhala-berhala sebagai sekutu milik Allah.

Ringkasnya, sejarah Arab berkembang dalam naungan agama Hanif yang toleran yang dibawa oleh ayah para Nabi, Ibrahim a.s. Mereka hidup berlandaskan keimanan akan akidah tauhid. Sampai akhirnya, dengan berjalannya waktu yang makin menjauh dari era Ismail, mereka menjauhi ajaran itu. Mereka menggantinya dengan kesyirikan, kesesatan pikir, dan kebodohan dengan tetap mempertahankan sedikit sisa ajaran dan prinsip lampau yang makin tersamar, mengecil, dan melemah karena makin sedikit pula yang menjaganya.

Kerasulan penghabisan para Nabi menyegarkan kembali cahaya agama Hanif yang telah redup. Wahyu Ilahi datang untuk menghapus gelap pekat yang panjang dan menyinarinya dengan cahaya iman, tauhid, dan prinsip-prinsip keadilan dan kebenaran. Wahyu ilahi juga menetapkan kembali, menegaskan, dan menyegarkan dakwah sisa-sisa ajaran Ibrahim.

Baca Juga: Bijak Menyeimbangkan Akhlak dan Fikih

Ahli Sejarah Mengenyampingkan Kebenaran

Sebenarnya, pembahasan di atas adalah sesuatu yang seharusnya bisa otomatis diketahui oleh para peneliti sejarah Islam. Tetapi pada era sekarang, aku terpaksa menyia-nyiakan banyak waktu untuk menegaskan sesuatu yang sudah sangat jelas dan mudah dipahami. Karena aku telah melihat sendiri bagaimana ada orang-orang yang kejujurannya akan kebenaran dikesampingkan demi kepentingan dan kesenangan.

Orang-orang jenis ini benar-benar ada. Akal mereka terbelenggu oleh penghambaan dan perbudakan pemikiran. Alangkah besarnya perbedaan antara kehendak yang mengikuti akidah dan akidah yang mengikuti kehendak. Sangat jauh perbedaan antara kemuliaan dan kehinaan keduanya.

Ada saja orang-orang yang berkata,

“Era pra-Islam (jahiliah) telah bangkit menjelang kenabian Muhammad dengan cara terbaik yang seharusnya diikuti. Pemikiran mereka berkembang dengan menampilkan syirik dan paganisme beserta mitos-mitosnya. Kebangkitan budaya dan pemikiran ini direpresentasikan dengan klaim kenabian Muhammad dan dakwah barunya.”

Maksud statemen di atas adalah bahwa Arab jahiliah menjelang kedatangan Islam makin terbuka untuk menerima tauhid dan cahaya hidayah karena perkembangan zaman. Dengan kata lain, makin jauh mereka dari era Ibrahim dengan berabad yang membentang, mereka makin dekat dengan prinsip dan dakwah ajaran Ibrahim, dan artinya mereka makin dekat (sehingga mereka lebih siap menerima) kenabian dan dakwah Muhammad.

Kunjungi kajian dakwah islam kami di laman facebook aswajamuda.com

Logika Sejarawan yang Terbalik

Apa seperti itu sejarah yang sebenarnya? Ataukah logika sederhana justru mengatakan kebalikannya yang sudah sangat jelas itu?

Setiap peneliti sejarah yang pemikirannya merdeka dan steril pasti tahu bahwa era Muhammad diutus adalah era yang paling jauh dari ajaran Ibrahim bila dibandingkan dengan era sebelumnya.  Prinsip dan ajaran Hanif tinggal puing-puing. Nilai-nilai agama Hanif yang pada akhirnya ditegaskan kembali oleh Islam tidak sampai sepuluh persen mereka jalankan dengan benar selama beberapa abad terakhir. 

Jika mengikuti penggambaran peneliti sejarah yang pikirannya terbelenggu itu, seharusnya Nabi Muhammad diutus beberapa abad dan beberapa generasi sebelumnya.

Allahu a’lam.

Referensi: Muhammad Said Ramadhan al-Buthi, Fiqh al-Sirah al-Nabawiyah, (Mesir: Dar al-Salam, 2021), Hal. 58-60.