Rekonstruksi Makna Tawassul dengan Manaqib

0
1224
ngalap berkah

Satu tahun terakhir menjadi masa yang cukup berat dan memilukan bagi kaum muslimin di Indonesia. Pasalnya, dalam kurun waktu ini puluhan – bahkan mungkin ratusan – kiai, ulama, tokoh agama dan figur-figur saleh harus tutup usia. Jika pantas untuk diucapkan, kematian figur-figur saleh seakan menjadi tren yang sedang aktual. Ini kenyataan pahit.

Di sisi lain, seiring merebaknya fenomena memilukan ini, ada fenomena lain yang selalu mengekor kematian seorang figur saleh. Menceritakan manaqib figur-figur saleh yang tutup usia seakan menjadi tren yang tak bisa dipisahkan. Ketika muncul kabar kematian seorang figur yang saleh, hampir bisa dipastikan akan diikuti oleh cerita manaqibnya. Di satu sisi, tren semacam ini tentu merupakan hal yang bagus. Daripada menceritakan keburukan-keburukan sang almarhum, menceritakan manaqib dan keunggulannya tentu jauh lebih baik. Setidaknya ini perbandingan yang realistis.

Namun, entah mengapa, tren menceritakan manaqib figur-figur saleh yang baru saja tutup usia lama-kelamaan terasa sedikit mengganggu. Diakui atau tidak, serta disadari atau tidak, ada semacam penyimpangan motif dari yang seharusnya. Jika tidak demikian, maka ada kesalahpahaman dalam memahami konsep manaqib. Pasalnya, menceritakan manaqib orang-orang saleh yang baru saja tutup usia terasa sekedar media untuk membuat konten yang menaikkan traficserta menambah angka engagement.

Baca Juga: Mbah Sholeh Darat: Mufassir Tanah Jawa

Beberapa orang mungkin saja berkilah bahwa dengan menceritakan manaqib orang-orang saleh, terlepas dari kenyataan bahwa ada motif lain semacam menaikkan engagement, akan membawa rahmat dari Allah. Kata mereka, bi dzikri al-sholihin tanzilu al-rahmat,rahmat Allah akan turun sebab menceritakan (manaqib) orang-orang saleh. Mereka berasumsi bahwa hanya dengan menceritakan manaqib maka rahmat Allah akan seketika turun. Dari hal semacam ini, muncul hipotesis bahwa orang-orang seperti mereka juga berasumsi bahwa tawassul dengan manaqib cukup dilakukan dengan membaca, menceritakan atau mendengarnya saja. Sehingga, membuat konten yang berisi manaqib tentu sudah mereka anggap cukup untuk bertawassul dan menjadi penyebab turunnya rahmat.

Hal semacam inilah yang akhirnya menimbulkan keresahan. Ada kesalahpahaman dalam memaknai manaqib sebagai media tawassul, sehingga perlu ada rekonstruksi pemaknaan manaqib sebagai media tawassul. Rekonstruksi pemaknaan ini penting agar manaqib tidak kehilangan esensinya sebagai salah satu kultur penting di kalangan masyarakat penganut akidah ahlussunnah wal jamaah.

Pertanyaannya, bagaimana cara merekonstruksinya?

Setidaknya ada 2 poin utama yang perlu diulas dalam merekonstruksi pemaknaan tawassul dengan manaqib. Yang pertama adalah substansi manaqib. Secara terminologi, jika merujuk pada Mu’jam Al-Ghoni, manaqib dimaknai sebagai hal-hal yang diketahui dan diceritakan mengenai perilaku seseorang serta akhlaknya yang terpuji. Sehingga, bisa difahami bahwa term manaqib memilki subtansi utama berupa cerita tentang perjalanan hidup seseorang – yang dalam kultur masyarakat sunni adalah figur yang saleh – serta akhlak-akhlaknya yang terpuji. Sepintas, substansi manaqib tampak tidak jauh berbeda dengan sunnah nabawiyah yang tergolong fi’liyyah. Hanya saja, tokoh utama dalam manaqib bukanlah Nabi Muhammad, melainkan para ulama atau orang-orang saleh.

Kedua, fungsi dan pendayagunaan manaqib. Sudah menjadi hal yang jamak diketahui, bahwa sebaik apapun substansi dari sesuatu, jika tak difungsikan serta didayagunakan dengan semestinya maka bisa dipastikan hal tersebut akan kehilangan esensinya. Dalam konteks manaqib, jika dilihat dari substansinya, manaqib seharusnya difungsikan sebagai salah satu sumber teladan untuk kemudian dicontoh dan diamalkan oleh orang-orang yang hidup di masa selanjutnya, bukan sekedar cerita untuk mengisi sebuah forum  dan konten vlog atau sekedar coretan untuk memenuhi timelinesosial media.

Berdasarkan dua hal di atas, esensi manaqib dikonstruksikan sebagai cerita perjalanan hidup orang-orang saleh beserta akhlak-akhlaknya yang terpuji untuk dijadikan inspirasi, teladan serta percontohan bagi orang lain agar bisa mendapatkan kemuliaan serta bisa melanjutkan jejak kebaikan orang saleh tersebut, alih-alih hanya dijadikan sekedar dongeng pengantar tidur.

Lantas, jika esensi manaqib seperti itu, maka tawassul dengan media manaqib untuk mendapat rahmat dari Allah, bukan hanya  serta tidak berhenti pada tahap menceritakan atau membacanya saja. Namun, harus dilanjutkan dengan aksi untuk berusaha mencontoh perilaku orang-orang saleh tersebut. Setidaknya beginilah konstruksi pemaknaan tawassul dengan manaqib yang realistis. Meski tidak menutup kemungkinan bahwa rahmat Allah juga bisa turun dengan hanya membacanya saja, hanya saja ini kurang realistis.

Tonton: Ning Dalliya HQ: Ibadah dengan Skala Prioritas

Dari sudut pandang ini, jika dikontekstualisasikan dengan fenomena yang terjadi saat ini, maka menceritakan manaqib orang-orang saleh beriringan dengan kabar kematiannya seharusnya bisa menimbulkan gairah untuk berusaha meniru perjalanan hidupnya, meniru akhlak dan tingkah lakunya. Bukan sekedar angin lalu untuk mengungkapkan ada kehilangan dan kesedihan yang dirasakan. Karena berusaha melanjutkan kebaikan orang-orang saleh akan lebih bermakna dan berguna daripada berlarut dalam kesedihan atas kematiannya. 

Kendati demikian, seperti yang telah disampaikan di awal tulisan ini bahwa menyebarkan atau membaca manaqib orang-orang saleh memang lebih baik jika dibandingkan dengan menyebarkan atau membaca konten-konten yang negatif dan mengandung unsur maksiat. Namun, alangkah lebih baik jika tidak berhenti pada tahap menceritakan, mendengarkan, atau membaca manaqib, tetapi dilanjutkan pada tahap berikutnya yakni mencontoh serta melanjutkan kebaikan yang telah dilakukan oleh orang-orang saleh tersebut.

Penulis: M. F. Falah Fashih. Mahasantri Pascasarjana Ma’had Aly Lirboyo.