Sering kita mendengar bahwa membaca surah Al-Ikhlas sebanyak tiga kali, itu sebanding dengan menghatamkan Al-Qur’an secara utuh. Pemahaman ini muncul karena ada hadis Rasulullah saw. yang menerangkan bahwa membaca satu kali surah Al-Ikhlas dianggap sebanding dengan membaca sepertiga dari Al-Qur’an.
Salah satu hadis yang menjelaskan hal itu ialah hadis yang diriwayatkan oleh imam muslim berikut:
عَنْ أَبِي الدَّرْدَاءِ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَالَ: أَيَعْجِزُ أَحَدُكُمْ أَنْ يَقْرَأَ فِي لَيْلَةٍ ثُلُثَ الْقُرْآنِ؟ قَالُوا: وَكَيْفَ يَقْرَأْ ثُلُثَ الْقُرْآنِ؟ قَالَ: قُلْ هُوَ اللهُ أَحَدٌ تَعْدِلُ ثُلُثَ الْقُرْآنِ
“Diriwayatkan dari Abi Darda’, dari Nabi saw., beliau bersabda, ‘Apakah kalian tidak mampu untuk membaca sepertiga Al-Qur’an di setiap malam?’ Sahabat berkata: ‘Bagaimana caranya kami membaca sepertiga Al-Qur’an?’ Nabi menjawab: ‘(bacalah surah) qul huwallahu ahad, itu sebanding dengan sepertiga Al-Qur’an.’” (HR. Muslim)
Tentu saja, hadis ini menimbulkan tanda tanya. Bagaimana bisa keduanya dianggap sama? Di mana sisi kesamaannya? Atau justru hadis di atas punya makna lain di luar makna tesktualnya? Dan banyak pertanyaan lain yang tentunya mengganjal dalam pikiran.
Ada beragam pendapat ulama terkait makna hadis di atas. Dari sekian ragam itu, setidaknya bisa dikelompokkan ke dalam empat pendapat:
Pendapat Pertama
Pendapat ini lebih memilih mengartikan makna ‘tsuluts’—sepertiga—dengan makna tekstualnya. Karena pada dasarnya ayat-ayat Al-Qur’an secara umum terbagi ke dalam tiga bagian. Sedangkan surah al-Ikhlas termasuk salah satu dari tiga bagian tersebut. Pendapat ini disandarkan pada hadis nabi yang lain
إِنَّ اللهَ جَزَّأَ الْقُرْآنَ ثَلَاثَةَ أَجْزَاءٍ، فَجَعَلَ قُلْ هُوَ اللهُ أَحَدٌ جُزْءًا مِنْ أَجْزَاءِ الْقُرْآنِ
“Sesungguhnya Allah membagi Al-Qur’an ke dalam tiga bagian, kemudian Allah menjadikan (surah) ‘qul huwallahu ahad’ termasuk salah satu dari bagian-bagian Al-Qur’an.” (HR. Muslim)
Menurut Imam al-Marizi, tiga bagian itu adalah kisah, hukum syariat, dan sifat Allah. Beberapa ulama lain juga mengatakan hal yang serupa.
Baca juga: Ada Apa Dibalik Pembukaan Surat Diawali dengan Huruf-huruf Terpisah (Fawatihu Suwar)?
Pendapat Kedua
Pendapat ini terkesan lebih hati-hati. Mereka, ulama pendukung pendapat kedua ini, menganggap hadis itu tergolong ke dalam hadis ‘mutasyabihat’—tidak benar-benar jelas maknanya. Sehingga, mereka mengembalikan urusannya kepada Nabi saw., tanpa ada usaha untuk menginterpretasi atas maknanya. Seperti yang terkutip dalam kitab Umdah al-Qari, karya Badarudin al-‘Aini.
قال أبو عمر : نقول بما ثبت عن النبي صلى الله عليه وسلم ولا نعده ونكل ما حهلناه من معناه فنرده اليه، صلى الله عليه وسلم، ولا ندري لم تعدل هذه ثلث القرأن.
“Abu umar berkata: kami berkata sesuai dengan apa yang telah ditetapkan oleh nabi saw. Kami tidak mengira-ngira, dan kami berserah diri atas apa yang tidak kami ketahui dari maknanya. Kami mengembalikan semua urusannya pada nabi saw. Kami juga tidak mengetahui dengan persis kenapa surah ini (al-Ikhlas) disetarakan dengan sepertiga Al-Qur’an.”
Pendapat Ketiga
Pendapat ini dipopulerkan Abu al-Hasan al-Qabisi. Ia mengatakan bahwa hadis itu kemungkinan hanyalah sekedar targhib, sebatas motivasi untuk melakukan amal baik. Mungkin amal yang dilakukan hanya sedikit, akan tetapi jika diulang-ulang akan menjadi banyak pula. Al-Qabisi mengutip sebuah hadis berikut
عن أبي سعيد أن رجلا سمع رجلا يقرأ:”قل هو الله أحد” يرددها فلما أصبح جاء إلى النبي صلى الله عليه وسلم، فذكر ذلك له وكأن الرجل يتقالها، فقال النبي صلى الله عليه وسلم:”والذي نفسي بيده إنها لتعدل ثلث القرآن
“Dari Abu Sa’id, sesungguhnya seseorang mendengar orang lain membaca ‘qul huwallahu ahad’ dan mengulang-ulanginya. Keesokan harinya, dia menghadap Nabi saw. Ia menuturkan hal itu kepada beliau, seolah-olah ia menganggap remeh bacaan tersebut. Nabi saw. bersabda, “Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, sungguh bacaan itu menyamai sepertiga Al-Qur’an”. (HR. Bukhari)
Al-Qabisi mengatakan, berdasarkan hadis di atas, kemungkinan orang yang diceritakan di dalam hadis itu tidak hafal Al-Qur’an selain surah al-Ikhlas. Semalam suntuk ia hanya membaca surah al-ihklas saja. Sehingga Nabi saw. memberi motivasi demikian.
Tonton: Tafsir Surah Al-Fatihah – Aswaja Muda on Youtube
Pendapat Keempat
Pendapat ini menta’wil—meninggalkan makna tekstual dari lafad ‘tsuluts’ pada hadis diatas, karna menganggap ada dalil lain yang memalingkan maknanya.
Menurut pendapat ini, lafad ‘tsuluts’ bermakna kelipatan pahala. Sehingga bagi orang yang membaca surah al-ikhlas satu kali, akan mendapat pahala seperti pahalanya membaca sepertiga Al-Qur’an.
Memang tidak ada kesepakatan mengenai apakah pahala yang diterima sama persis atau tidak. Namun, mayoritas ulama mengatakan hanya sama dalam pahala asal saja. Tidak termasuk bonus pahala membaca Al-Qur’an untuk setiap hurufnya yang bernilai sepuluh kebaikan. Hal ini sebagaimana hadis
من قرأ القرآن فله بكل حرف عشر حسنات
“Barang siapa membaca Al-Qur’an maka baginya untuk setiap huruf akan mendapatkan sepuluh kali kebaikan.”
Pendapat ini mendapat dukungan kuat dari imam Al-Ghazali. Ia mengatakan, “Banyaknya lafaz tidak jadi penentu banyaknya pahala. Seperti banyaknya dirham ketika dibandingkan dengan satu butir mutiara, maka jelas mutiara lebih unggul.”
Mayoritas fukaha juga berpendapat demikian. Sehingga di dalam banyak kitab fikih, terdapat keterangan bahwa jika seseorang disewa untuk menghatamkan Al-Qur’an, maka tidak dikatakan cukup hanya dengan membaca surah al-Ikhlas sebanyak tiga kali. Hal itu disebabkan tidak ikutnya bonus pahala baca Al-Qur’an sampai khatam bagi orang yang hanya membaca tiga kali surah al-Ikhlas.
Namun, pendapat ini ditolak oleh al-hafid Ibnu Hajar. Ia berdalih, makna hadis di atas harus dipahami secara mutlak. Tidak boleh ada penyimpangan makna apapun.
وهي دعوي بغير دليل ويؤيد الإطلاق ما اخرجه مسلم من حديث أبي درداء.
“Pendapat itu adalah sangkaan tanpa bukti, dan justru menguatkan kemutlakan hadis yang telah dikeluarkan oleh imam Muslim dari hadis Abi Darda’ tersebut.”
Menurutnya, sama saja besaran pahala yang diperoleh seseorang ketika ia membaca surah al-ikhlas satu kali maupun membaca sepertiga Al-Qur’an. Tidak ada ada kurang atau lebihnya dari masing-masing. Hal ini karena Ibnu Hajar memandang kemutlakan makna hadis tersebut. Sekian. Semoga bermanfaat. Wallahu a’lam.
Penulis: Muhammad Atid. Alumnus Pondok Pesantren Lirboyo (2017), Kediri. Tinggal di Pontianak, Kalimantan Barat dan aktif pada kegiatan bahtsul masail di lingkungan Nahdlatul Ulama (NU).