Nilai filosofis yang terkandung dalam sila keempat adalah, bahwa hakikat negara merupakan penjelmaan sifat manusia sebagai makhluk individu dan makhluk sosial.
Hakikat rakyat adalah sekelompok manusia makhluk Allah Swt yang bersatu bertujuan mewujudkan harkat dan martabat manusia dalam satu wilayah negara.
Negara adalah dari, oleh, untuk rakyat, oleh karena itu rakyat merupakan asal mula kekuasaan negara. Sehingga dalam sila keempat terkandung nilai demokrasi yang secara mutlak harus dilaksanakan dalam hidup bernegara.
Nilai demokrasi yang terkandung dalam sila keempat adalah demokrasi yang didasarkan pada moral ketuhanan, kemanusiaan, dan nilai persatuan. Oleh karena itu demokrasi yang didasari oleh ‘hikmat kebijaksanaan’ meletakkan kedaulatan di tangan rakyat, dengan nilai kebijaksanaan untuk kehidupan bersama yang harmonis, bukan persaingan bebas dan menguasai yang lainnya.
Yang menarik, kata rakyat sendiri merupakan serapan dari bahasa arab رعية yang berarti ‘menjaga’ (Ibnu Faris, Maqayis Lughoh hal. 336). Makanya ada qoidah ; ‘تصرف الإمام على الرعية منوط بالمصلحة’ “kebijakan imam didasarkan pada kemaslahatan rakyat”.
Tidak kalah menarik juga kata ‘musyawarah’ dan ‘wakil’ , keduanya juga bahasa serapan dari bahasa arab. Musyawarah berasal dari bahasa arab yang mempunyai akar kata berupa huruf syin, wawu, dan ro’ (شور), menurut Ibnu Faris mempunyai arti ‘mengambil sesuatu’ (أخذ الشيئ). Kemudian diikutkan wazan faa’ala (فاعل) yang berfaidah lilmusyarokah “melakukan sesuatu secara timbal balik/saling”, menjadi syaawara (شاور) yang berarti ‘saling mengambil sesuatu’. Sehingga terbentuklah kata ‘musyawarah’ yang bermakna ‘saling mengambil suatu pendapat’.
Sedangkan kata ‘wakil’ adalah derivasi dari وكل , menurut Ibnu Faris, mempunyai arti ‘ketergantungan orang lain terhadap kamu’. Oleh karena itu ‘wakil’’وكيل’ berarti orang yang dipasrahi tanggung jawab oleh orang lain. Tiga kata ‘rakyat, musyawarah, dan wakil’ yang asalnya diadopsi dari bahasa arab, sekarang sudah menjadi bahasa Indonesia, dan menjadi bagian penting dari negara ini, karena masuk dalam teks pancasila.
Kalau kita pelajari, salah satu dasar permusyawaratan ini sebenarnya merujuk pada nash:
وَالَّذِينَ اسْتَجَابُوا لِرَبِّهِمْ وَأَقَامُوا الصَّلَاةَ وَأَمْرُهُمْ شُورَى بَيْنَهُمْ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ – الشورى :38
Artinya : ‘Dan orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhan dan melaksanakan sholat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara mereka; dan mereka menginfakkan sebagian dari rezeki yang Kami berikan kepada mereka’.
Menurut Syekh M Ali As-Shobuni, Surat ini dinamakan surat as-Syuro bertujuan menunjukkan bahwa dalam Islam asas musyawarah sangat dijunjung tinggi, dan untuk mengingatkan orang-orang muslim agar senantiasa membiasakan bermusyawarah dalam kehidupan mereka (Syekh M. Ali As-Shobuni, Sofwatu Tafasir, [Maktabah Syamilah] juz 3, hal. 171 ).
Frasa ‘وَأَمْرُهُمْ شُورَى بَيْنَهُمْ ‘ masih menurut Syekh M Ali As-Shobuni, menunjukkan karakter seorang muslim, khususnya para sahabat, yang bermusyawarah dalam urusan apapun, baik duniawi maupun ukhrowi.
وَأَمْرُهُمْ شورى بَيْنَهُمْ أي يتشاورون في الأمور ولا يعجلون، ولا يُبرمون أمراً من مهمات الدنيا والدين إلا بعد المشورة
Artinya : “sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah” maksudnya mereka bermusywarah pada semua urusan dan tidak terburu-buru, mereka tidak mengesahkan urusan penting baik duniawi maupun ukhrowi kecuali setelah musyawarah.” (Syekh M Ali As-Shobuni, Sofwatu Tafasir [Maktabah Syamilah] juz 3, hal. 133)
Syekh Wahbah Az-Zuhailiy juga menjelaskan di dalam karya masterpiece-nya, Tafsir Munir, :
الأخذ بنظام الشورى: وَأَمْرُهُمْ شُورى بَيْنَهُمْ أي يتشاورون فيما بينهم في الأمور الخاصة والعامة، ولا ينفردون برأي في كل أمر من القضايا العامّة، كتولي الحكم (أو الخلافة) وشؤون تدبير الدولة والتخطيط لمصالحها، وإعلان الحرب، وتولية الولاة والحكام والقضاة وغيرهم. وكان النبي صلّى الله عليه وسلّم أكثر الناس مشاورة لأصحابه
Artinya : “ Mengambil sistem musyawarah : “sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah” maksudnya mereka bermusyawarah dalam urusan khusus maupun umum, tidak memilih pendapat pribadi dalam urusan keputusan orang banyak, seperti perpindahan kekuasaan, mengurus negara, perencanaan untuk kemaslahatan negara, mengumumkan perang, pergantian pemimpin, hakim, dsb. Nabi Saw adalah orang yang paling sering musyawarah dengan sahabatnya. (Syekh Wahbah Az-Zuhailiy, Tafsir Munir, [Maktabah Syamilah] juz 25, hal. 81)
Sungguh sangat romantis beragama dan bernegara di Indonesia ini. Keduanya benar-benar ada hubungan simbiosis mutualisme, hubungan saling menguntungkan.
Wallahu A’lam
___
*Penulis: Amin Ma’ruf, PP Al-Iman Bulus Purworejo; Mahasiswa Tafsir Pascasarjana UNSIQ Wonosobo.