Home Akhlak Salah Kaprah Membela Diri dengan Membawa Nama Nabi

Salah Kaprah Membela Diri dengan Membawa Nama Nabi

0
hukum menyebarkan hoax

Mempelajari sirah dan kehidupan para nabi terdahulu memang penting. Bisa menjadi teladan dan pegangan hidup, saat kita mampu menyerap dan mengambil pelajaran dari berbagai peristiwa yang dialami oleh para utusan Allah Subhanahuwata’ala tersebut.

Namun akan menjadi kurang baik saat hanya sekedar tahu tanpa bisa merenungkan kembali hikmah dibaliknya.

Lidah memang tidak bertulang. Kadang dengan sadar atau tidak, manusia dengan segala kekurangannya sering terlalu egois untuk ingin selalu tampil sempurna. Dengan berbagai cara kadang mereka berusaha menutupi berbagai kekurangannya.

Pernahkah suatu ketika, dalam suatu percakapan kita secara tidak sadar membandingkan diri dengan para nabi? Membawa-bawa nama nabi Muhammad shallahu’alaihiwasallam untuk sekedar membela diri.

Dulu memang nabi Muhammad shallahu’alaihiwasallam pernah berdagang. Pernah di masa muda menggembalakan ternak. Perjuangan dalam menyebarkan agama Islam juga tidak mudah. Beragam fitnah dan perlakuan semena-mena pernah dialami.

Lantas ada orang yang mencoba membela diri saat mengalami hal semacam itu. Tatkala hidupnya hanya menjadi pedagang kecil tanpa ada kemajuan, lantas diejek orang, lalu dengan ringannya mengucapkan, “dulu nabi saja berdagang kok”. Ketika pekerjaannya hanya sebagai penggembala kambing, saat dihina orang lantas mengatakan, “dahulu nabi saja pernah merawat ternak”. Atau ketika terkena fitnah, lantas berdalih “nabi juga pernah mengalami hal demikian.”

Kalimat semacam itu bisa jadi muncul dari orang yang tidak benar-benar mengenal hakikat ketinggian derajat para nabi. Hanya tahu tentang para nabi dari kisah-kisah dan sebatas mengenal nama. Mengapa orang begitu tega, membawa-bawa para nabi cuma demi membela kepentingan pribadi?

Menurut imam Ibnu Hajar, kalimat bernada “membela diri” semacam itu sangat tidak terpuji, dan harus dihindari. Beliau pernah ditanya suatu ketika,

 وسئل رحمه الله تبارك وتعالى بما لفظه كثيرا ما يتخاصم اثنان فيعير أحدهما الآخر بالفقر، أو رعي الغنم مثلا فيقول الآخر الأنبياء كانوا فقراء ويرعون الغنم، أو نحو ذلك مما هو معروف عند العامة مألوف فما حكم ذلك؟

 فأجاب :عفا الله تبارك وتعالى عنه بقوله هذا مما ينبغي أن يفطم عنه الناس غاية الفطم؛ لأنه يؤدي إلى محذورات لا يتدارك خرقها ولا يرتقع فتقها وكيف وكثيرا ما يوهم ذلك العامة إلحاق نقص له – صلى الله عليه وسلم – ببعض صفاته التي هي من كماله الأعظم.

Imam Ibnu Hajar al-Haitami pernah ditanya dengan pertanyaan yang kalimatnya adalah, ‘sering terjadi ada dua orang yang berseteru. Kemudian salah satunya menjelek-jelekan yang lain dengan kondisinya yang fakir, atau dia sebagai penggembala kambing misalnya. Lalu orang yang dihina tersebut mengatakan, ‘para nabi juga dulu fakir dan menggembalakan kambing’, atau kalimat lain sejenisnya yang sudah jamak diketahui orang banyak. Lantas bagaimanakah hukumnya?

Beliau menjawab, hal semacam ini termasuk perkara yang seyogyanya sangat-sangat perlu untuk dijauhi. Karena hal tersebut mendatangkan banyak bahaya yang sangat besar. Bagaimana mungkin? Banyak sekali masyarakat salah paham dengan menyamakan kekurangan dirinya dengan nabi Muhammad shallahu’alaihiwasallam, yang sejatinya hal yang dikira sebagai kekurangan tersebut dalam diri nabi sejatinya merupakan kesempurnaan yang agung.” (Imam Ibnu Hajar al-Haitami, al-Fatawa al-Fiqhihhyah al-Kubra, [Maktabah Syamilah, tth.], Vol. IV, hal. 236.)

Mengetahui sejarah kehidupan para nabi bukan justru digunakan untuk membela diri dan menutupi kekurangan. Hal tersebut termasuk suuladab dan sembrono.

Seyogyanya yang kita lakukan adalah mengambil pelajaran, karena para nabi adalah pribadi yang sempurna. Apa yang nampak sebagai kekurangan sebenarnya adalah kelebihan. Bahkan saat nabi Muhammad shallahu’alaihiwasallam lupa dengan jumlah rakaat misalnya, hal tersebut justru memiliki hikmah yang besar. Berbagai hukum fikih bisa disimpulkan dari peristiwa tersebut.

Tak perlu membawa nama para nabi demi kepentingan pribadi. Apalagi hanya sekedar untuk membela diri. Demi menjaga harkat dan martabat. Siapalah kita? Sedangkan para utusan Allah Subhanahuwata’ala begitu sempurna, mulia, dan tinggi derajatnya.

Wallahu a’lam…