Semakin panjangnya antrian ibadah haji hingga puluhan tahun mendorong minat masyarakat untuk melaksanakan ibadah umrah. Dorongan ini disebabkan keinginan kuat agar segera dapat berziarah ke Baitullah dan ke makam Rasulullah Saw.
Namun, di sisi lain hal ini tidak diimbangi dengan pengetahuan yang memadai tentang ibadah tersebut. Sementara panduan “manasik” yang difasilitasi oleh biro perjalanan umrah masih jauh dari kata cukup, baik secara teoretis maupun praktis. Sehingga, menyisakan banyak masalah dalam pelaksanaan ibadah yang membutuhkan biaya, waktu maupun tenaga yang relatif besar.
Di antara problematika yang sering muncul adalah bagi jemaah wanita yang mengalami haid menjelang atau di tengah-tengah masa ihram, sementara jadwal kepulangan yang diagendakan pihak biro umrah ternyata lebih awal dari masa tibanya “masa suci” yang diperkirakan. Padahal kita tahu, perempuan haid tidak diperbolehkan melakukan tawaf. Akibatnya, ia tidak akan bisa menyelesaikan rangkaian ibadah umrahnya sebelum rombongannya pulang. Sedangkan dalam aturan fikih disebutkan, seseorang yang sudah memulai ibadah umrah/haji, tidak diperbolehkan meninggalkan tanah suci sebelum menyelesaikan rangkaian ibadahnya.
Sebelum menjawab persoalan ini, perlu diketahui bahwa masa maksimum darah haid adalah 15 hari. Lebih dari itu hukumnya istihadah. Jadi, jika ada darah keluar dan baru berhenti tepat pada hari ke-15 (atau pada hari-hari sebelumnya), maka dihukumi haid semuanya. Meskipun di tengah-tengah 15 hari tersebut ada masa di mana darah berhenti, tetaplah semuanya dihukumi haid, karena masih dalam rentang waktu 15 hari.
Oleh sebab itu, jika seorang perempuan haid berumrah dan agar bisa melakukan tawaf ia meminum obat-obatan yang menyebabkan darah haid terhenti/tertunda, maka tawaf yang sudah dilakukannya hanya bisa dinyatakan sah apabila darah tidak keluar lagi dalam rentang waktu 15 hari (terhitung sejak hari pertama darah haid keluar). Namun, jika ternyata setelah melakukan tawaf, darah keluar lagi (dalam rentang waktu 15 hari), maka bisa dikatakan tawaf yang dilakukannya tidak sah. Karena dengan demikian, sudah diketahui bahwa masa berhentinya darah ketika ia melakukan tawaf tetap dihukumi haid.
Kecuali, jika kita mengikuti pendapat yang mengatakan bahwa masa di mana darah berhenti tidaklah dihukumi haid. Masa-masa tersebut dihukumi masa suci, meskipun ternyata darah keluar lagi dalam rentang waktu 15 hari. Syekh Ibrahim al-Baijuri berkata dalam Hasyiah ‘ala Syarh Ibn Qasim (vol. 1, hlm. 333):
وَقِيْلَ: إِنَّ النَّقَاءَ طُهْرٌ، لِأَنَّ الدَّمَ إِذَا كَانَ حَيْضًا كَانَ النَّقَاءُ طُهْرًا.
“Ada sebuah pendapat yang menyatakan bahwa saat darah berhenti, maka dihukumi suci (secara mutlak). Karena, apabila keluarnya darah dihukumi haid, maka berhentinya darah berarti suci.”
Kiranya pendapat yang diutarakan Syekh Al-Bajuri di atas bisa dijadikan solusi bagi perempuan yang sudah mencari cara untuk menghentikan darah haidnya agar bisa melakukan tawaf, tapi setelah tawaf ternyata darah haid keluar lagi.
Kendati demikian, bukan berarti semua masalah sepenuhnya selesai. Masalah lain muncul ketika darah haid tetap mengalir meskipun sudah meminum obat penunda haid. Jika demikian masalahnya, maka solusinya adalah dengan mengikuti pendapat masyhur dari mazhab Hanafi. Yakni mengerjakan tawaf dalam keadaan haid dan tawafnya dihukumi sah. Namun sebagai gantinya, ia wajib membayar “dam” (denda) berupa kambing.
Tentunya sebelum memasuki masjid dan melakukan tawaf ia harus benar-benar memperhatikan pembalutan darah haid agar tidak ada kekhawatiran darahnya akan tercecer dan dapat mengotori masjid.
Solusi yang kami sebutkan di atas berdasarkan keterangan Syekh Wahbah Zuhaili saat menjelaskan ibadah haji dalam kitabnya yang berjudul Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh (vol 3, hlm. 210) berikut ini:
وَإِذَا اضْطُرَّتِ الْمَرْأَةُ اضْطِرَاراً شَدِيْداً لِمُغَادَرَةِ مَكَّةَ قَبْلَ انْتِهَاءِ مُدَّةِ الْحَيْضِ أَوِ النِّفَاسِ، وَلَمْ تَكُنْ قَدْ طَافَتْ طَوَافَ الْإِفَاضَةِ، فَتَغْتَسِلُ وَتَشُدُّ الْحِفَاظَ الْمَوْضُوْعَ فِيْ أَسْفَلِ الْبَطْنِ شَدًّا مُحْكَماً، ثُمَّ تَطُوْفُ بِالْبَيْتِ – إلى قال – وَذَلِكَ تَقْلِيْداً لِلْحَنَفِيِّةِ الَّذِيْنَ يَقُوْلُوْنَ بِصِحَّةِ الطَّوَافِ حِيْنَئِذٍ، مَعَ الْحُرْمَةِ وَوُجُوْبِ إِهْدَاءِ الْبَدَنَةِ.
“Apabila seorang perempuan sangat terdesak untuk meninggalkan Mekah sebelum tuntasnya haid atau nifas, padahal ia belum melakukan tawaf ifadhah (tawaf rukun haji), maka dia boleh mandi dan mengencangkan ikatan yang ada di bawah perut dengan benar-benar kuat untuk kemudian melakukan tawaf di Baitullah … Yang demikian ini dilakukan dengan mengikuti pendapat ulama mazhab Hanafi yang mengesahkan tawaf dalam kasus semacam ini. Meskipun mereka pun mengatakan hukumnya haram serta diwajibkan membayar denda berupa unta”.
Denda unta yang disebutkan Syekh Wahbah ini dikarenakan penjelasan ini sebetulnya membahas tentang haji. Dan jika kita geret keterangan di atas pada permasalahan umrah, maka menurut pendapat mazhab Hanafi tidak ada denda berupa unta, melainkan berupa kambing.
وَلَوْ طَافَ لِلْعُمْرَةِ جُنُبًا أَوْ مُحْدِثًا فَعَلَيْهِ شَاةٌ، لِأَنَّهُ رُكْنٌ فِيهَا، وَإِنَّمَا لَا تَجِبُ الْبَدَنَةُ لِعَدَمِ الْفَرْضِيَّةِ.
“Apabila seseorang mengerjakan tawaf umrah dalam keadaan junub atau hadas kecil, maka ia wajib membayar kambing. Karena, tawaf adalah rukun umrah. Tidaklah wajib membayar unta, karena tidak ada kefarduan dalam melaksanakan ibadah umrah”. (Ibn Maudud al-Mosuli al-Hanafi, Al-Ikhitiyar li Ta’lil al-Mukhtar, vol 1, hlm. 162).
Wallahu a’lam.