Home Fiqih Rebo Wekasan, Sejarah dan Hukumnya Dalam Islam

Rebo Wekasan, Sejarah dan Hukumnya Dalam Islam

0
rebo wekasan

Rebo Wekasan merupakan sebuah istilah yang berarti hari Rabu terakhir dari bulan Shafar. Di Indonesia, khususnya di Jawa, tradisi ini telah mengakar kuat di sebagaian besar penduduknya. Biasanya, ketika hari Rebo Wekasan tiba, baik pada waktu malam atau siangnya, masyarakat banyak menyelenggarakan beraneka ragam bentuk ritual, mulai dari mengadakan do’a bersama, shalat sunnah berjama’ah, minum air azimat, selamatan, dll.

Asal Mula Ritual Rebo Wekasan

Telah banyak disebutkan dari referensi Islam Klasik bahwasanya awal mula diadakannya ritual Rebo Wekasan ini dikarenakan adanya sebuah perkataan dari seorang Waliyullah yang telah mencapai maqom kasyaf (mendapatkan ilmu tentang sesuatu yang sulit dimengerti orang lain, seperti hal-hal gaib). Suatu ketika, Waliyullah itu berkata bahwa dalam setiap tahun Allah SWT akan menurunkan bala’ sebanyak 320.000 (tiga ratus dua puluh ribu) macam dalam satu malam. Malam itu bertepatan dengan malam Rebo Wekasan. Oleh karena itu, Wali tersebut memberikan nasihat dan mengajak kepada seluruh umatnya untuk bertaqorrub kepada Allah SWT seraya meminta agar dijauhkan dari semua bala’ yang diturunkan pada malam itu.

Perlu kita ketahui bahwa tidak ada satu pun riwayat dari Rosulullah SAW yang menyatakan bahwa Rabu terakhir dari bulan Shafar atau Rebo Wekasan merupakan hari naas, hari sial, atau hari yang penuh dengan bala.’ Pendapat di atas sama sekali tidak bersumber dari hadits Nabi Muhammad SAW, melainkan murni berasal dari kisah Waliyullah tersebut.

Bentuk Ritual Rebo Wekasan dan Hukumnya

Terdapat perbedaan di kalangan masyarakat dalam mengamalkan ritual Rebo Wekasan. Ada yang hanya melakukan sholat sunnah dan do’a tolak bala,’ ada juga yang menyertakan selamatan dan minum air azimat. Ringkasnya, lain daerah lain pula adatnya. Berikut penjelasan dari beberapa macam ritual beserta hukumnya yang sering dilaksanakan pada malam atau hari Rebo Wekasan.

1. Sholat Sunnah

Pada dasarnya, shalat sunnah yang khusus untuk Rebo Wekasan atau shalat tolak bala’ itu tidak ada dalam literature ajaran Islam. Jadi, kita tidak diperbolehkan melakukan inovasi sendiri dalam masalah ini. Karena shalat dan segala sesuatunya sudah ada ketentuan tersendiri mengenai tata cara shalat, sampai jenis-jenis atau macam-macamnya. Berbeda dengan bentuk ritual-ritual lain seperti do’a, dzikir, dan lain sebagainya, di mana pada selain shalat masih bisa diakomodir bentuk-bentuk amaliah baru yang belum pernah dikenal sebelumnya.

Shalat sunnah yang memiliki sifat fleksibilitas adalah shalat sunnak mutlak. Jadi, bilamana dalam melaksanakan shalat sunnah tersebut dengan cara shalat sunnah mutlak, maka hukumnya boleh dan bisa mendapatkan pahala dari sisi melaksanakan shalat sunnahnya. Sedangkan, bilamana dalam melakukan shalat sunnah tersebut niatnya shalat sunnah Rebo Wekasan atau tolak bala,’ maka hukumnya tidak sah dan berdosa, karena telah membuat syariat baru yang tidak dikenal pada masa Rosulullah SAW.

2. Membaca Do’a Tolak Bala’

Do’a yang dibaca pada malam atau hari Rebo Wekasan sangatlah beragam. Mulai dari do’a selamat sampai pada serangkaian do’a-do’a yang terdapat pada kitab Kanzun Najah, kitab Mujarrobat, dan pada kitab-kitab kuning lainnya. Meskipun penyusun silsilah do’a itu sendiri belum diketahui secara pasti, namun lfadz dan makna dari do’a itu tidak ada yang perlu diperdebatkan. Persoalannya kembali kepada persoalan klasik seputar hukumnya tawassul dan do’a bighoiril ma’tsur (tidak dari Nabi Muhammad SAW).

Mengenai hukum pembacaan do’a pada malam atau hari Rebo Wekasan ini hukumnya sah dan dapat mendapatkan pahala dari Allah SWT. Bukannya berdo’a adalah salah satu perintah dari Allah SWT? Sebagaimana firman-Nya; “Berdo’alah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu” (QS. Al-Mu’min: 60).

3. Minum Air Azimat

Sebagai orang yang beriman sudah barang tentu kita wajib meyakini bahwa tidak ada sesuatu pun yang dapat mendatangkan manfaat dan mudlorot kepada kita kecuali hanya Allah SWT. Dan, dalam kapasitas sebagai hamba, orang yang beriman meski melakukan upaya dan ikhtiar untuk mendapatkan manfaat dan terhindar dari mudlorot. Keberadaan air azimat adalah dalam kapasitas ikhtiar, sama dengan keberadaan nasi atau obat-obatan sebagai ikhtiar untuk mendapatkan kenyang dan kesembuhan. Ikhtiar dengan menggunakan air azimat ini juga pernah dilakukan oleh para Sahabat pada masa hidupnya Rosulullah SAW. Maka, meminum air azimat ini hukumnya sah dan diperbolehkan.

4. Selamatan

Ada sebagian masyarakat, disamping melaksakan ritual-ritual yang telah disebutkan di atas, mereka juga melakukan acara selamatan dengan cara membagikan nasi kepada para tetangga dan saudara. Umumnya nasi itu dibawa ke suatu tempat seperti masjid atau musholla untuk dinikmati secara bersama-sama. Mereka yang tidak mampu membawa nasi cukup membawa makanan ringan, buah-buahan atau sekadar minuman. Semua itu dilakukan sebagai bentuk taqorrub dengan mengeluarkan sebagian haknya (shodaqoh) didasari harapan diselamatkan dari segala bentuk bala’ dengan lantaran shodaqohnya. Hal ini sesuai dengan tuntunan yang artinya sebagai berikut; “Shodaqoh itu dapat menangkal turunnya bala’.”

Baca Juga: Seputar Mitos Hingga Amaliyah Bulan Suro / Muharram

Selamatan atau membagikan makanan ataupun minuman pada orang lain merupakan suatu perbuatan positif yang sangat dianjurkan oleh Allah SWT dalam banyak ayat. Karena diakui atau tidak, tradisi selamatan yang banyak dilakukan oleh masyarakat kita saat ini merupakan sebuah wujud kepedulian dan kebersamaan yang sangat dianjurkan oleh agama, kapan pun dan dimana pun tanpa terkecuali hari Rebo Wekasan ataupun hari-hari lainnya.

Hukum Rebo Wekasan

Tradisi Rebo Wekasan bukan termasuk bagian dari ajaran agama atau ibadah. Akan tetapi, merupakan salah satu dari tradisi yang positif. Dimana tradisi itu dapat dikatakan sebagai wujud dari rasa ta’dhim dan huznudz dzon kepada auliya’ (kekasih Allah).

Segala bentuk ritual yang dilakukan pada Rebo Wekasan menjadi bagian dari tradisi, seperti halnya ulang tahun, tujuh belas Agustus, Maulid Nabi, Isra’ Mi’roj, dan sebagainya. Jadi, tinjauan hukumnya sangat bergantung pada teknis perayaan itu sendiri. Adakah pelaksanaan itu sesuai dengan ketentuan syari’at ataukah terjadi penyimpangan, maka status hukumnya mengikuti. Wallahu A’lam.

Baca Juga: Bulan Safar Dalam Islam, Benarkah Bulan Sial ?

Referensi:
M. Masykur Khoir, Hidayah: Tuntunan Ibadah Sunnah 12 Bulan, Kediri: Duta Karya Mandiri, tt.