Oleh:
Ach.Hafidz Ibrohim Mallisiy
Malang, 1 Mei 2020
Menanggapi sebuah caption dari beberapa postingan yang menyimpulkan bahwa onani dengan memakai kondom tidak membatalkan puasa dengan mengutip ibarot kitab Fathul Aliy yang disinyalir adalah pendapat Imam Ibnu Hajar serta disimpulkan pula pendapat dari Imam Romliy yang kemudian menyisipkan komentar Imam Az-Zayadiy bahwa Imam Romliy mengklaim ulang dengan hukum batal. Sekilas seakan-akan demikian namun ketika kita sedikit berfikir kok pendapat Imam Ibnu Hajar dan Imam Romliy walaupun selanjutnya ada revisi berbeda jauh dengan rumusan Fuqoha’ Syafi’iyyah.
Setelah kita telusuri teks asli dari beberapa referensi terkait pendapat Ibnu Hajar dan Imam Romliy maka tidak ditemukan secara shorih pendapat yang menyatakan bahwa onani dengan penghalang (media) tidak membatalkan. Hal ini terbukti dari beberapa komentar Fuqoha’ terkait masalah Istimna’ yang seharusnya kita teliti sumber asalnya.
Bahwa kesimpulan dalam kitab Fathul-Aliy berangkat dari Ibarot yang tertulis dalam kitab Al-Manhajut-Tullab serta Syarahnya Fathul Wahhab karya Imam Zakariya Al-Anshoriy RA. yang berbunyi :
وترك (استمنائه) اى من مر (ولو بنحو لمس) كقبلة (بلا حائل) إلى أن قال بخلاف ما كان لو ذلك بحائل.
Kalau dilihat secara dhohir ibarot di atas seakan-akan bisa disimpulkan :
Bahwa istimna’ (onani) dengan cara memakai hail (media : tanpa menyentuh kemaluan) tidak membatalkan puasa. Namun hal ini tidak serta merta disimpulkan demikian sebab masih menuai sebuah pertanyaan dari teks atau ibarot yang tersaji di atas. Pertanyaan yang muncul :
- Apakah kalimat Ghoyah لو itu merujuk pada kalimat استمناء yang terkesan memiliki terjemah : bahwa syarat puasa yang dilakukan mukallaf harus meninggalkan onani walaupun hanya dengan cara menyentuh misal mencium dengan tanpa hail. Yang mafhumnya jika memakai hail tidak membatalkan puasa
- Apakah Ghoyah kalimat لو adalah termasuk dari salah satu larangan yang wajib dihindari walaupun sekedar menyentuh yang tanpa hail/Penghalang hingga berakibat keluar air mani yang nanti berimbas hukum yang sama seperti onani
- Apakah yang dimaksud dari lafadz إستمناء adalah خروج المني keluar mani dengan makna Mujarrod tidak menghendaki makna tholab/ mengupayakan
Berangkat dari kontradektif caption dengan Jumhur Ulama Syafi’iyyah yang melibatkan khilaf Ibnu Hajar dan Imam Romliy yang sangat disiplin dan obyektif dalam menganalisa sebuah masalah plus ‘Adillahnya sangat gegabah dan ceroboh dalam memutuskan khilaf terkait caption di atas. Maka pertanyaan-pertanyaan ini memang perlu ditampilkan dan diulas mengingat para Fuqoha’ memberi kritik susunan Ibarat yang termaktub dalam Fathul Wahhab yang mengindikasikan sebuah pemahaman yang kontradektif dengan rumusan para jumhur Syafi’iyyah dengan mengklaim khilaf yang muncul dari dua Tokoh Ulama yang sangat populer
Ketelitian dalam memahami tekstual sebuah ibarot adalah hal yang sangat prinsip untuk memberi sebuah kesimpulan/Natijah yang Sah. Maka sebagai pijakan untuk mencari pemahaman yang betul-betul valid dan sah terkait dengan pendapat Imam Ibnu Hajar dan Imam Romliy kita harus menelaah apakah memang betul-betul terjadi khilaf Fuqoha’ dalam lingkup Madzhab Syafi’iyyah hingga kita dapat menyimpulkan bahwa onani dengan memakai media adalah terdapat pendapat yang mengklaim tidak membatalkan puasa.
- Sebagai penyangga caption di atas, kami mencoba untuk menganalisa dan mengidentifikasi dari beberapa referensi Hasyiah terlebih karya Imam Ibnu Hajar dalam Tuhfahnya sebagai komentar Kitab Al-Minhaj karya Imam An-Nawawi dan komentar Imam Romliy yang sudah tercover dalam ulasan Imam Az-Zayadiy.
Dalam ibarot At-Tuhfah dikatakan :
قول المتن ( عن الاستمناء ) أي : ولو بحائل كما هو ظاهر بصري و ع ش عبارة سم عبارة المنهج واستمناؤه ولو بنحو لمس بلا حائل ا هـ قال في شرحه بخلاف ما لو كان ذلك بحائل ا هـ وقضيته أن من عبث بذكره بحائل حتى أنزل لم يفطر وفيه نظر ظاهر ا هـ وعبارة شيخنا ، والحاصل أن الاستمناء وهو طلب خروج المني مع نزوله مفطر مطلقا ولو بحائل ا هـ .
kesimpulan dari ibarat di atas bahwa : Walaupun Istimna’ dengan Hail (media) Imam Ibnu Hajar RA. mengganggap batal.
Lebih lanjut Beliau Imam Ibnu Hajar RA. mengomentari ibarot sang Guru di atas dalam Al-Manhaj yang berbunyi :
عبارة المنهج واستمناؤه ولو بنحو لمس بلا حائل ا هـ قال في شرحه بخلاف ما لو كان ذلك بحائل ا هـ وقضيته أن من من عبث بذكره بحائل حتى أنزل لم يفطر وفيه نظر ظاهر ا هـ
Qodliyyah : Mengindikasikan sebuah kesimpulan hukum bahwa orang yang bermain dengan alat kemaluannya tanpa menyentuh secara langsung hingga keluar air mani tidak membatalkan. Dalam hal ini masih dibutuhkan pembahasan yang jelas.
Kesimpulan terakhir beliau adalah :
وعبارة شيخنا ، والحاصل أن الاستمناء وهو طلب خروج المني مع نزوله مفطر مطلقا ولو بحائل ا هـ .
Ibarot Guru kami : secara kesimpulan bahwa masturbasi yang dimaksud adalah mengupayakan keluarnya air mani, hingga tatkala betul-betul mengeluarkan air mani maka secara mutlak membatalkan puasa walau tidak menyentuh kelamin secara langsung.
Maka jelas beliau tidak menyimpulkan ibarot dari Al-Manhaj dan Syarahnya Fathul-Wahhab bahwa onani dengan tidak menyentuh kelamin tidak membatalkan puasa.
Kami belum meneliti lebih lanjut dalam karya lain dari Imamuna Ibni Hajar, Al-Imdad dll, namun dari Ibarot Tuhfah sudah bisa diasumsikan bahwa Beliau tidak berpendapat terkait onani dengan hail tidak membatalkan puasa.
- Versi Imam Romliy juga tidak terdapat keterangan yang shorih bahwa onani dengan hail tidak membatalkan puasa. Hal ini bisa kita fahami dari komentar Imam Az-Zayadiy dalam Hasyiyah Bujairimiy ‘Alal-Manhaj atau Hasyiah Syekh Sulaiman Al-Jamal.
Bujairimiy Alal-Manhaj :
(قَوْلُهُ بِخِلَافِ مَا لَوْ كَانَ ذَلِكَ) أَيْ اللَّمْسُ، أَوْ الْقُبْلَةُ بِحَائِلٍ وَإِنْ رَقِّ وَهَذَا صَرِيحٌ فِي أَنَّهُ إذَا طَلَبَ إخْرَاجَ الْمَنِيِّ بِوَاسِطَةِ لَمْسٍ أَوْ مَسٍّ بِحَائِلٍ وَظَاهِرُهُ وَلَوْ تَكَرَّرَ ذَلِكَ لَا يُفْطِرُ بِخِلَافِ مَا إذَا كَانَ الِاسْتِمْنَاءُ بِغَيْرِ حَائِلٍ وَنَقَلَ شَيْخُنَا الزِّيَادِيُّ عَنْ م ر أَنَّهُ بَحَثَ أَنَّ الِاسْتِمْنَاءَ أَيْ بِيَدِهِ، أَوْ بِيَدِ زَوْجَتِهِ يُفْطِرُ وَلَوْ مَعَ وُجُودِ حَائِلٍ لِأَنَّهُ يُشْبِهُ الْجِمَاعَ وَعَلَى هَذَا يَنْبَغِي أَنْ يَكُونَ مِثْلُ الِاسْتِمْنَاءِ بِالْيَدِ الِاسْتِمْنَاءُ بِإِدَامَةِ الْقُبْلَةِ، أَوْ اللَّمْسِ بِحَائِلٍ اهـ وَهَذَا خِلَافُ صَرِيحِ كَلَامِ الْمُصَنِّفِ وَلَمْ أَجِدْ مَا نَقَلَهُ عَنْ شَيْخِنَا فِي شَرْحِهِ وَلَا فِي كَلَامِ وَالِدِهِ وَالْحَقُّ أَنَّ عِبَارَةَ الْمِنْهَاجِ أَوْلَى مِنْ عِبَارَةِ الْمُصَنِّفِ لِأَنَّهَا تُفِيدُ أَنَّ الِاسْتِمْنَاءَ يُبْطِلُ الصَّوْمَ مُطْلَقًا وَبِالْإِنْزَالِ إنْ كَانَ بِلَمْسٍ؛ لِأَنَّ اللَّمْسَ لَا يَكُونُ إلَّا حَيْثُ لَا حَائِلَ فَحَقُّ الْعِبَارَةِ أَنْ يُقَالَ وَتَرْكُ اسْتِمْنَاءٍ وَتَرْكُ إنْزَالٍ بِلَمْسٍ ح ل.
Jika kita pahami ibarot Mushonnif (Al-Manhaj) sekilas melahirkan sebuah kesimpulan hukum bahwa Onani dengan cara menyentuh dan disertai penghalang tidak membatalkan puasa.
Lebih lanjut Imam Az-Zayadiy pernah mengutip pendapat Imam Romliy yang mengatakan bahwa onani dengan tangan walaupun terdapat penghalang adalah membatalkan puasa maka sudah semestinya onani dengan cara yang lain juga membatalkan walaupun terdapat hail/penghalang. Lebih lanjut beliau berkomentar :
Bahwa ketika kita jami’kan dengan redaksi Mushonnif Al-Manhaj jelas berbeda atau bertentangan. Dan belum pernah ditemukan pendapat dari Imam Romliy Ashoghir atau Imam Romliy Al-Kabir yang identik dengan teks Al-Manhaj yang mengindikasikan hukum onani dengan pengahalang tidak membatalkan puasa.
Menurut Imam Az-Zayadiy yang lebih tepat redaksi yang ditulis oleh Imam An-Nawawi dalam Al-Minhajnya dibandingkan ibarot Mushonnif dalam Al-Manhajnya. Dengan alasan Ibarot dalam Al-Minhaj lebih jelas dan tidak menuai kontroversial,
- Hukum onani secara mutlak membatalkan puasa
- Atau batalnya puasa disebabkan keluarnya air mani dengan menyentuh tanpa terdapat hail/penghalang.
وَالْحَقُّ أَنَّ عِبَارَةَ الْمِنْهَاجِ أَوْلَى مِنْ عِبَارَةِ الْمُصَنِّفِ لِأَنَّهَا تُفِيدُ أَنَّ الِاسْتِمْنَاءَ يُبْطِلُ الصَّوْمَ مُطْلَقًا وَبِالْإِنْزَالِ إنْ كَانَ بِلَمْسٍ؛ لِأَنَّ اللَّمْسَ لَا يَكُونُ إلَّا حَيْثُ لَا حَائِلَ فَحَقُّ الْعِبَارَةِ أَنْ يُقَالَ وَتَرْكُ اسْتِمْنَاءٍ وَتَرْكُ إنْزَالٍ بِلَمْسٍ ح ل. - Kami menilai bahwa ibarot yang termaktub dalam Fathul-Aliy bukan ditujukan untuk praktek onani seperti dalam caption netizen, namun masih perlu diulas detail. Kemungkinan besar Muallif mencantumkan redaksi asli dengan menggunakan lafadz istimna’ yang merujuk pada ibarot versi Al-Manhaj plus Syarahnya.
Referensi yang terdapat dalam kitab Hasyiah Al-Jamal juz 2 hal 321 mengomentari ibarot dalam Al-Manhaj plus Fathul-Wahhab sebagai Syarahnya sangat jelas bahwa ibarot Mushonnif memicu salah dalam memahaminya, dan yang dimaksudkan bukanlah onani seperti yang diasumsikan.
(وترك استمنائه) حاصل هذه المسألة أن الصائم متى أخرج المنى بقصد إخراجه كما هو معنى الإستمناء إذ هو طلب خروج المنى فيفهم القصد بطل صومه سواء كان جائزا أو لا كإخراجه بيده بحائل أو لا. وإنما التفصيل بين الحائل وعدمه فيما إذا لم يقصد إخراجه كأن وجد مجرد لذة فخرج منيه، فإن كان بحائل ولو رقيقا لم يضر وإلا ضر. اه شيخنا ح ف. وقال هذا هو المعول عليه ولا إلتفات لما يوهم خلاف ذلك من العبارات كعبارة المصنف. - Dan menurut Syekh Bujairimiy dalam Hasyiyah ‘alal Manhajnya :
وَيُمْكِنُ الْجَوَابُ بِأَنَّ السِّينَ وَالتَّاءَ فِي الِاسْتِمْنَاءِ زَائِدَتَانِ. وَأُجِيبَ أَيْضًا بِأَنَّ الضَّمِيرَ الْمُسْتَتِرَ فِي كَانَ الْمُقَدَّرَةِ بَعْدَ لَوْ عَائِدٌ عَلَى الِاسْتِمْنَاءِ بِمَعْنَى خُرُوجِ الْمَنِيِّ لَا بِمَعْنَى طَلَبِهِ فَيَكُونُ فِيهِ اسْتِخْدَامٌ
[البجيرمي ,حاشية البجيرمي على شرح المنهج = التجريد لنفع العبيد ,2/75]
Kemungkinan yang dimaksud dalam Manhaj terkait kalimat Istimna’ adalah makna mujarrod keluarnya mani, tidak menghendaki makna tholab yang berarti onani.
Ini sedikit sanggahan kami terhapat caption di atas.
Wa Allahu A’lamu Bis-Showab.