Home Opini Menikah di Zaman Now

Menikah di Zaman Now

0
menikah di zaman now

Oleh: Moh Nasirul Haq Lc

Bedah kasus pergaulan remaja zaman now, Sebuah penelitian yang dilakukan oleh perusahaan internasional Synovate atas nama DKT Indonesia terhadap perilaku seksual, remaja berusia 14-24 tahun memberikan data yang menarik. Sebanyak 450 remaja dari Medan, Jakarta, Bandung dan Surabaya yang diteliti.

Hasilnya bahwa 64% remaja mengakui secara sadar melakukan hubungan seks pranikah dan telah melanggar nilai-nilai dan norma agama. Tetapi, kesadaran itu ternyata tidak mempengaruhi perbuatan dan perilaku seksual mereka. Alasan para remaja melakukan hubungan seksual tersebut adalah karena semua itu terjadi begitu saja tanpa direncanakan. Hasil penelitian juga memaparkan para remaja tersebut tidak memiliki pengetahuan khusus serta komprehensif mengenai seks.

Melihat fenomena diatas menjadikan saya bertafakkur tentang apa sebenarnya esensi islam seutuhnya. Dalam hal ini saya mencoba menghadirkan referensi dari kitab kitab salaf, guna lebih komprehensif dalam memaknai kemurnian esensi pernikahan.

Menurut seorang Ulama bernama Ibnu Abidin dalam kitabnya Roddul Mukhtar ‘Ala Dzurril Mukhtar Hal:2/552 beliau mengatakan;

وليس للمسلمين عبادة شرعت من عهد آدم إلى الآن ثم تستمر في الجنة إلا النكاح والإيمان

“Dan tidaklah ada bagi kaum muslimin suatu ibadah yang disyariatkan semenjak nabi adam hingga saat ini dan terus berlangsung hingga kelak disurga kecuali Nikah dan Iman.”

Jadi pernikahan merupakan produk ibadah surgawi yang dilanjutkan di duniawi hingga kembali pada kehidupan yang kekal abadi. Tentunya pernikahan tidak terjadi sesama jenis, namun harus berlawanan jenis.

Apa Itu Pernikahan?

Kurang lega rasanya jika kita belum mengetahui pandangan Ulama mengenai terminologi nikah. Dalam hal ini para Ulama Madzhab Empat mencoba memberikan terminologi dalam kitab Mausu’ah Kuwaitiyah sebagai berikut;

فقال الحنفية النكاح عقد يفيد ملك المتعة بالأنثى قصدا ، أي يفيد حل استمتاع الرجل من امرأة لم يمنع من نكاحها مانع شرعي .

“Menurut Madzhab Hanafi bahwa nikaj berfaedah kepemilikan bersenang senang dengan wanita secara disengaja, atau berfaedah untuk kehalalan bersenang senangnya laki laki dari wanita yang mereka tidak ada larangan dari pernikahan dalam syariat.”

وقال المالكية النكاح عقد لحل تمتع بأنثى غير محرم ومجوسية وأمة كتابية بصيغة .

“Menurut Madzhab Maliki bahwa nikah adalah suatu akad untuk tercapainya kehalalan bersenang senang dengan wanita yang bukan mahrom dan terpenjara dan budak kitabiyah. Dengan sebuah ucapan.”

وقال الشافعية النكاح عقد يتضمن إباحة وطء بلفظ إنكاح أو تزويج أو ترجمته .

“Menurut Madzhab Syafii bahwa nikah adalah sebuah akad yang mengandung esensi kebolehan bersenggama dengan lafadz Nikah atau tazwij atau terjemahannya. “

وقال الحنابلة النكاح عقد التزويج ، أي عقد يعتبر فيه لفظ نكاح أو تزويج أو ترجمته

“Menurut Madzhab Hambali bahwa nikah adalah akad pernikahan, dengan artian suatu akad yang dikategorikan didalamnya lafadz Nikah atau tazwij atau terjemahannya. “

Mengapa harus menikah?

Pernikahan adalah hal yang urgen bagi manusia. Karena manusia tercipta dengan segenap kelengkapan unsur kimiawi lengkap hasrat dan emosionalnya. Sehingga manusia memerlukan pelengkap kebutuhan unsur tersebut, dan nabipun bersabda atas setiap ummatnya;

يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ، فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ، وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ.

“Wahai para pemuda! Barangsiapa di antara kalian berkemampuan untuk menikah, maka menikahlah, karena nikah itu lebih menundukkan pandangan, dan lebih membentengi farji (kemaluan). Dan barangsiapa yang tidak mampu, maka hendaklah ia shaum (puasa), karena shaum itu dapat membentengi dirinya.” (HR Muslim nomer 1400).

Dalam Hadits ini ulama berbeda pandangan tentang makna الْبَاءَةَ “Menikah”.

القول الأول: أن المراد معناها اللغوي: وهو الجماع , فتقديره من استطاع منكم الجماع لقدرته على مؤنه وهي مؤن النكاح فليتزوج , ومن لم يستطع الجماع لعجزه عن مؤنه فعليه بالصوم ليدفع شهوته، ويقطع شر منيه كما يقطع الوجاء، وعلى هذا القول وقع الخطاب مع الشباب الذين هم مظنة شهوة النساء، ولا ينفكون عنها غالبا، وقد رجحه النووي.

Pendapat pertama memandang dari etimologinya yaitu bermakna senggama / sex, maka perkiraan maknanya “Barangsiapa diantara kalian berkemampuan untuk bersenggama karena kemampuannya untuk biaya nikah maka menikahlah” dst

القول الثاني: أن المراد بالباءة مؤن النكاح، وسميت باسم ما يلازمها , وتقديره: من استطاع منكم مؤن النكاح فليتزوج , ومن لم يستطع فليصم، قالوا: والعاجز عن الجماع لا يحتاج إلى الصوم لدفع الشهوة , فوجب تأويل الباءة على المؤن، وهذا التعليل للبازر. (فتح الباري: 9/106، وانظر: نيل الأوطار :6/123، إحكام الأحكام شرح عمدة الأحكام:2/168.)

Pendapat kedua yang dimaksud dengan الْبَاءَةَ “menikah” adalah Biaya pernikahan, diberikan sesuai nama yang ada keterkaitan dengannya. Perkiraan maknanya “barangsiapa diantara kalian mampu membayar biaya nikah maka menikahlah” dst.

Dalam hadits lain Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

وَفِي بُضْعِ أَحَدِكُمْ صَدَقَةٌ، قَالُوْا: يَا رَسُوْلَ اللهِ، أَيَأْتِي أَحَدُنَا شَهْوَتَهُ وَيَكُوْنُ لَهُ فِيْهَا أَجْرٌ؟ قَالَ: أَرَأَيْتُمْ لَوْ وَضَعَهَا فِي حَرَامٍ، أَكَانَ عَلَيْهِ فِيْهَا وِزْرٌ؟ فَكَذَلِكَ إِذَا وَضَعَهَا فِي الْحَلاَلِ كَانَ لَهُ أَجْرٌ.

“… Seseorang di antara kalian bersetubuh dengan isterinya adalah sedekah!” (Mendengar sabda Rasulullah, para Shahabat keheranan) lalu bertanya: “Wahai Rasulullah, apakah salah seorang dari kita melampiaskan syahwatnya terhadap isterinya akan mendapat pahala?” Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Bagaimana menurut kalian jika ia (seorang suami) bersetubuh dengan selain isterinya, bukankah ia berdosa? Begitu pula jika ia bersetubuh dengan isterinya (di tempat yang halal), dia akan memperoleh pahala.” (HR Muslim No 1006).

Realistis dizaman Now

Mari berfikir realistis, dizaman akhir seperti sekarang yang segala seuatu bisa kita dapatkan dalam tekhnologi baik itu maksiat ataupun pahala. Dalam kehidupan sehari haripun kita menemui pergaulan yang semakin terkontaminasi. Sehingga memang benar benar menuntut kita untuk menyelamatkan diri, atau paling tidak meminimalisir hal tersebut.

Lagipula nabi melarang kita memutus hubungan secara ekstrim dengan wanita sebagaimana anjuran imam tirmidzi yang meletakkan bab khusus tentang larangan Tabattul / memutus dari wanita.;

روى الترمذي (النكاح، باب: ما جاء في النهي عن التبتّل، رقم: 1082) عن سمرة رضي الله عنه -: (أن النبي صلى الله عليه وسلم نهى عن التبتّل).

والتبتّل: الانقطاع عن النساء، وترك الزواج انصرافاً إلى العبادة.

Dan ulama kontenporer seperti Prof Abu zahroh dalam kitabnya Al Ahwal Assakhsiyah Hal; 18 cet darul fikr beirut. mengatakan tentang pentingnya menikah;

ليس هدف الزواج الإسلامي الشهوة والاستمتاع الجنسي ، إنما هو غير ذلك ، يتمثل في الغايات الاجتماعية والأخلاقية والدينية … “

“Bukanlah tujuan pernikahan islami hanya syahwat dan bersenang senang dengan lawan jenis, tetapi selain hal itu ada puncak keluhuran sosial, moralitas, dan religi (agama).”

Sehingga bisa kita simpulkan dengan banyaknya pasangan muda mudi yang sudah cukup umur dan memiliki kemampuan sexsual yang cukup serta mampu membayar mahar, maka alangkah baiknya jika disegerakan menikah.

Semoga bermanfaat.