Home Fiqih Hukum Jilbab dan Aurat Perempuan (2): Anggota Tubuh yang Wajib Ditutup

Hukum Jilbab dan Aurat Perempuan (2): Anggota Tubuh yang Wajib Ditutup

0
wanita di pesantren

Sebagaimana penjelasan sebelumnya di bagian pertama, syariat tidak memerintahkan wanita memakai busana tertentu. Yang terpenting dapat menutup aurat. Berangkat dari pemahaman ini, anggota tubuh wanita yang wajib ditutup dengan jilbab/kerudung—dalam istilah yang lazim dipakai di Indonesia—adalah bagian kepala, rambut kepala dan leher. Kewajiban menutupi bagian-bagian tersebut tidak harus memakai jilbab dengan model tertentu, namun boleh dengan penutup dan model busana apapun.

Bagian Tubuh Lainnya yang Wajib Ditutupi

Selain bagian kepala, leher, dan rambut kepala yang wajib ditutupi sebagaimana penjelasan di muka, wanita juga wajib menutupi bagian tubuh lainnya yang tergolong aurat. Aurat wanita sendiri adalah seluruh anggota tubuhnya, meliputi kaki, betis, paha, perut sampai ujung kepalanya. Namun terdapat beberapa pengecualian yang tidak wajib ditutupi yang akan dibahas satu-persatu di bawah ini.

Wajah dan Kedua Telapak Tangan

Wajah dan kedua telapak tangan bukan termasuk aurat menurut pendapat ulama mazhab Hanafi, Maliki dan Syafi’i. Namun mengenai hukum membukanya di depan laki-laki “nonmahram” (yang bukan mahramnya) ada perbedaan pendapat lintas mazhab sebagai berikut:

  1. Menurut mazhab Hanafi perempuan diperbolehkan membuka wajah dan kedua telapak tangan di depan laki-laki nonmahram. Demikian pula laki-laki nonmahram boleh melihatnya dengan syarat tidak disertai syahwat. Karenanya, bila dikhawatirkan menimbulkan fitnah atau syahwat bagi laki-laki yang melihatnya, maka hukum membukanya juga haram. Dalam kondisi adanya kekhawatiran “fitnah” seperti ini, perempuan wajib menutup wajah dan kedua telapak tangannya.
  2. Menurut kutipan Al-Imam Al-Mawaq dari Al-Imam ‘Iyadh (mazhab Maliki) perempuan boleh membuka wajah dan kedua telapak tangan di depan laki-laki nonmahram. Sebaliknya laki-laki nonmahram juga boleh melihatnya dengan syarat tidak bertujuan menikmati (berhasrat seksual) dan tidak menemukan kenikmatan seksual.
  3. Menurut mazhab Syafi’i perempuan boleh membuka wajah dan kedua telapak tangan di depan laki-laki nonmahram. Namun bagi laki-laki nonmahram haram melihatnya. Namun apabila dengan membukanya, ada dugaan atau keyakinan akan dipandang laki-laki nonmahram, maka hukum membukanya haram.

Kedua Dzira’ (Lengan Bagian Bawah)

Dzira’ adalah bagian lengan tangan dari ujung siku hingga ujung jari tengah, atau dapat diungkapkan sebagai lengan bawah. Menurut satu riwayat dari Abu Hanifah, dzira’ bukan termasuk aurat yang wajib ditutupi (Ala‘uddin al-Hashkafi, Ad-Durr al-Mukhtar, hlm. 58). Ibn Mazah al-Bukhari mengutip dari kitab Jami’ al-Baramikah, dengan menukil pendapat Imam Abu Yusuf, bahwa laki-laki boleh melihat dzira’ perempuan, karena keperluan memasak, mencuci dan aktivitas lainnya yang meniscayakan perempuan membuka lengannya. Namun kebolehan melihat lengan wanita tersebut disyaratkan tidak disertai syahwat. Demikian pula kebolehan membuka lengan bagi wanita di depan laki-laki nonmahram, disyaratkan tidak khawatir menimbulkan fitnah/syahwat (Al-Muhith al-Burhani fil-Fiqh an-Nu’mani, vol. 5, hlm. 334).

Baca juga: Hukum Jilbab dan Aurat Perempuan (1): Definisi Jilbab dan Substansinya

Kedua Telapak Kaki

Menurut pendapat “muktamad” (pendapat yang dijadikan pegangan) dalam mazhab Hanafi, kedua telapak kaki, baik bagian luar atau dalam tidak termasuk aurat yang wajib ditutup perempuan. Imam al-Hasan meriwayatkan dari Abu Hanifah, bahwa laki-laki non mahram boleh melihat telapak kaki perempuan karena kebutuhan wanita saat berjalan kaki meniscayakan ia membuka telapak kakinya, sebab tidak setiap saaat seorang perempuan dapat menemukan al-khuff (muzah: alas kaki yang menutup rapat). Namun kebolehan melihatnya disyaratkan tidak disertai syahwat. Demikian pula kebolehan membuka telapak kaki bagi wanita di depan laki-laki non mahram, disyaratkan tidak khawatir menimbulkan fitnah/syahwat (Keputusan Muktamar Nahdlatul Ulama ke-8 Tahun 1933, hlm. 8-9).

Rambut Kepala yang Terurai ke Bawah

Dalam mazhab Hanafi, mengenai ke-aurat-an rambut kepala yang terurai ke bawah hingga keluar dari batas kepala terdapat dua pendapat. Menurut pendapat yang disahihkan dalam kitab al-Hidayah, al-Muhith, al-Kafi dan mayoritas khazanah fikih Hanafi, rambut tersebut tergolong aurat yang wajib ditutup. Sementara menurut pendapat yang disahihkan dalam kitab al-Khaqaniyyah dan dipilih oleh al-Shadr al-Syahid bukan termasuk aurat. Pendapat ini juga dituturkan dalam riwayatnya al-Muntaqa (Ibn ‘Abidin, Radd al-Muhtar ala ad-Durr al-Mukhtar, vol. 1, hlm. 405-406). Berpijak dari pendapat yang terakhir, hukum membukanya adalah boleh. Namun bila hal itu dikhawatirkan menimbulkan fitnah/syahwat bagi laki-laki nonmahram yang memandangnya, maka haram.

Sumber: Keputusan Bahtsul Masail Syuriyah Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jawa Timur tentang Hukum Jilbab dan Aurat Perempuan di PP Matholi’ul Anwar, Jalan Raya Simo, Sungelebak, Karanggeneng, Lamongan pada Sabtu-Ahad, pada 5-6 Rajab 1441 H/29 Februari-1 Maret 2020.