Home Kajian Mari Selektif dalam Menerima Pendapat

Mari Selektif dalam Menerima Pendapat

0
sanad keilmuan

Manusia sebagai makhluk paling otoritatif di dunia ini, merasa paling berhak mengatur, mengeksplor dunia dan seisinya. Kenyataannya, manusia yang menghuni dunia ini sangatlah beragam, dan tidak sedikit orang yang ingin mengatur dunia ini sesuai dengan keinginannya.

Seakan semua orang harus sama dengan dia, dan harus mengikutinya, sungguh naif. Jika hal itu terbesit dalam pikiran kita, yaitu keinginan agar semua orang di sekitar mengikuti pikiran kita, atau jika ada yang berbeda pandangan /suku/agama lantas menganggapnya musuh, perlu kiranya kita memahami dan men-tadabbur-i ayat ini :

وَلَوْ شَاءَ رَبُّكَ لَجَعَلَ النَّاسَ أُمَّةً وَاحِدَةً وَلَا يَزَالُونَ مُخْتَلِفِينَ (118) هود: 11

Artinya : “Jikalau Tuhanmu menghendaki, tentu Dia menjadikan manusia umat yang satu, tetapi mereka senantiasa berselisih pendapat. “ (QS. Huud : 118)

Syekh M. Aly As-Shobuni, menafsiri ayat ini sebagai berikut :

أي لو شاء الله لجعل الناس كلَّهم مؤمنين مهتدين على ملة الإِسلام ، ولكنَّه لم يفعل ذلك للحكمة

Artinya : ‘Jikalau Allah Swt menghendaki, tentu Dia akan menjadikan semua orang menjadi orang beriman, mendapat hidayah, memeluk agama Islam, namun Dia tidak melakukan hal itu karena ada hikmahnya.’ (Syekh M Aly As-Shobuni, Sofwatu Tafasir, [Beirut : Dar Al-Fikr, 2001] juz 2, hal. 32)

Sebagaimana Syekh As-Shobuni menafsiri ayat ini, Syekh Wahbah Az-Zuhaily juga menjelaskan hikmah kenapa manusia diciptakan beragam :

وإنما شاء أن يكون لهم دور اختياري في الاتّجاه إلى الحقّ والإيمان ونبذ الضّلالة والشّرك، 

Artinya : ‘Dia (Allah Swt) hanya berkehendak agar mereka melewati proses usaha dalam menuju kebenaran dan keimanan, serta menghindari kesesatan dan kemusyrikan.’ (Syekh Wahbah Az-Zuhailiy, Tafsir Munir, [Beirut : Dar Al-Fikr, 2018] juz 6, hal. 505)

Memahami penjelasan dari mufassir di atas, tampak jelas bahwa Allah Swt memang menghendaki manusia berbeda. Tapi perbedaan seperti apa? Apakah perbedaan yang mengantarkan pada permusuhan, atau perbedaan yang saling melengkapi, menghargai, dan mencintai, ibarat pelangi yang terdiri dari bermacam-macam warna yang berbeda. Hal ini yang perlu kita renungkan.

Termasuk dalam perbedaan pendapat/pandangan mengenai suatu hal, dewasa ini medsos menjadi senjata ampuh untuk menunjukkan ketidak cocokan pendapat secara bebas, bahkan mungkin banyak orang yang tidak kompeten di bidangnya pun ikut berpendapat, seakan yang penting berpendapat dan berkomentar, kompeten atau tidak kompeten urusan nomor sekian.

Menjadi miris melihat itu semua. Para ulama salaf sebenarnya sudah memetakkan perbedaan pendapat (ikhtilaf) terbagi menjadi dua ; mu’tabar (direkomendasi) dan ghoiru mu’tabar (tidak direkomendasi).

Ikhtilaf mu’tabar (perbedaan pendapat yang direkomendasi) adalah pendapat yang disampaikan oleh ahlinya. Konsekuensinya boleh diikuti. Sedangkan ikhtilaf ghoiru mu’tabar (perbedaan pendapat yang tidak direkomendasi) adalah pendapat yang disampaikan oleh bukan ahlinya. Konsekuensinya tidak boleh diikuti. (Ibnu Harju, Muqoddimah Tahqiq Hazzir Ru’us, [Jakarta : Maktabah Turmusy Litturost, 2020] hal. 7)

Jika ada seorang arsitek, yang keahliannya membuat bangunan, serta latar belakang keilmuan dan kehidupannya berkecimpung di dunia pembangunan fisik, kemudian ia ikut berpendapat dalam mengobati seorang pasien rumah sakit, jelas pendapatnya adalah ghoiru mu’tabar.

Jika ada seorang dokter ahli bedah kandungan, kemudian ia berbeda pendapat dengan seorang arsitek dalam bentuk kontruksi bangunan, maka jelas pendapatnya adalah ghoiru mu’tabar.

Begitu juga halnya, jika ada seorang artis menyampaikan pendapatnya dalam bidang agama, yang berbeda dengan para kiai yang notabene-nya ahli ilmu agama, maka jelas perbedaan pendapat dari artis tersebut adalah ghoiru mu’tabar.

Walhasil, 

وليس كل خلاف جاء معتبرا * إلا خلاف له حظ من النظر

Artinya : ‘Tidak semua beda pendapat dapat direkomendasi, melainkan hanya perbedaan pendapat yang memiliki analisis’. (Abdul Hamid Hakim, As-Sulam [Jakarta : Maktabah Sa’diyah Putra , 2007] hal. 84)

Wallahu A’lam

*Penulis: Amin Ma’ruf, PP Al-Iman Bulus Purworejo; Mahasiswa Tafsir Pascasarjana UNSIQ Wonosobo.