Home Fiqih Hukum Jilbab dan Aurat Perempuan (1): Definisi Jilbab dan Substansinya

Hukum Jilbab dan Aurat Perempuan (1): Definisi Jilbab dan Substansinya

0

Fenomena jilbab menjadi isu yang belakangan menyeruak lagi. Terdapat silang pendapat dan kontroversi berkaitan dengan kewajiban memakai jilbab bagi perempuan muslimah. Akibatnya, perbedaan pandangan pro dan kontra tidak bisa dihindari. Sebab itu, sangat diperlukan adanya penjelasan fiqhiyyah yang proporsional mengenai hakikat jilbab, substansinya, hukum memakainya dan hal-hal seputarnya yang berhubungan dengan aurat perempuan.

Definisi Jilbab

Jilbab dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) diartikan dengan kerudung lebar yang dipakai wanita muslimah untuk menutupi kepala dan leher sampai dada.

Dalam Al-Qur’an, jilbab disebutkan pada QS Al-Ahzab ayat 59. Ia disebutkan dengan menggunakan lafal jalabib yang merupakan pentuk plural dari jilbab. Allah Swt. berfirman:

يٰٓاَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لِّاَزْوَاجِكَ وَبَنٰتِكَ وَنِسَاۤءِ الْمُؤْمِنِيْنَ يُدْنِيْنَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلَابِيْبِهِنَّۗ ذٰلِكَ اَدْنٰىٓ اَنْ يُّعْرَفْنَ فَلَا يُؤْذَيْنَۗ وَكَانَ اللّٰهُ غَفُوْرًا رَّحِيْمًا

“Wahai Nabi! Katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mukmin, ‘Hendaklah mereka menutupkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.’ Yang demikian itu agar mereka lebih mudah untuk dikenali, sehingga mereka tidak diganggu. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”

Berkaitan tafsir kata jalabib dalam ayat di atas, terdapat silang pendapat di antara ulama. Ada ulama yang mengartikan jilbab dengan baju yang menutupi semua badan. Sementara dalam kamus Lisan al-‘Arab karya Ibn Manzhur, sebagaimana dikutip Syekh Ali ash-Shabuni dalam tafsirnya (Rawa‘i’ al-Bayan, vol. 2, hlm. 374), jilbab diartikan sebagai pakaian yang lebih longgar daripada kerudung (khimar) dan lebih kecil daripada selendang (rida‘) yang digunakan sebagai penutup kepala dan dada perempuan.

Syekh Thahir bin ‘Asyur memberi penjelasan senada dengan definisi Ibn Manzhur tersebut. Ia menambahkan, jilbab dikenakan oleh perempuan di bagian kepalanya, kedua sisinya terurai ke bagian dua ‘idzar (bagian samping telinga, jawa: athi-athi), sedangkan bagian lainnya terurai ke arah pundak dan punggung. (Thahir bin ‘Asyur, at-Tahrir wa at-Tanwir, vol. 12, hlm. 106).

Substansi Perintah Mengenakan Jilbab

Menurut Bin Asyur, substansi ayat jilbab di atas adalah perintah terhadap wanita untuk menutupi aurat dengan busana model apapun. Tidak harus memakai model busana tertentu yang menjadi ciri khas suatu golongan atau bangsa. Begini penjelasan beliau:

وَهَيْئَاتُ لُبْسِ الْجَلَابِيبِ مُخْتَلِفَةٌ بِاخْتِلَافِ أَحْوَالِ النِّسَاءِ تُبَيِّنُهَا الْعَادَاتُ وَالْمَقْصُودُ هُوَ مَا دَلَّ عَلَيْهِ قَوْلُهُ تَعَالَى: “ذلِكَ أَدْنى أَنْ يُعْرَفْنَ فَلا يُؤْذَيْنَ.”

“Bentuk pemakaian jilbab dapat berbeda-beda sesuai perbedaan kondisi para wanita yang dipengaruhi berbagai adat. Sedangkan maksud utamanya adalah substansi dari tafsir firman Allah: ‘Yang demikian itu agar mereka lebih mudah dikenal sehingga tidak disakiti.’”

Sementara dalam kitabnya yang berjudul Maqashid as-Syari’ah al-Islamiyyah (vol. 3, hlm. 268-270), Bin Asyur memberi penegasan. Dirinya meyakini bahwa adat suatu bangsa, dalam posisinya sebagai adat, tidak boleh dipaksakan kepada bangsa lain—atau bahkan kepada bangsa itu sendiri—atas nama syariat. Namun, ada beberapa adat suatu bangsa yang ditetapkan sebagai aturan syariat karena mempertimbangkan dampak baik/buruknya. Terkhusus permasalahan jilbab, Bin Asyur berkata:

فَهَذَا شَرْعٌ رُوْعِيَتْ فِيْهِ عَادَةُ الْعَرَبِ فَالْأَقْوَامُ الَّذِيْنَ لَا يَتَّخِذُوْنَ الْجَلَابِيْبَ لا يَنالُهُمْ مِنْ هَذَا التَّشْرِيْعِ نَصِيْبٌ

“(Urusan jilbab) ini adalah pemberlakuan syariat yang di dalamnya terdapat pertimbangan terhadap adat istiadat bangsa Arab. Sehingga bangsa-bangsa lain yang tidak memakai model jilbab seperti ini tidak mendapatkan bagian dari pemberlakuan syariat (kewajiban memakai model jilbab seperti yang disinggung dalam ayat).”

Maka dari itu …

Yang dimaksud dengan jilbab dalam konteks pernyataan Bin Asyur ini adalah model jilbab bangsa Arab tempo dulu. Sama sekali bukan jilbab dalam pengertian umum yaitu kain penutup aurat kepala, rambut, leher dan dada, yang di Indonesia lazim disebut kerudung. Walhasil, hukum memakai model jilbab sebagaimana bangsa Arab tempo dulu tidak wajib. Sedangkan hukum menutup aurat, apapun model pakaiannya, adalah wajib bagi setiap muslimah. Wallahu a’lam.

Sumber: Keputusan Bahtsul Masail Syuriyah Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jawa Timur tentang Hukum Jilbab dan Aurat Perempuan di PP Matholi’ul Anwar, Jalan Raya Simo, Sungelebak, Karanggeneng, Lamongan pada Sabtu-Ahad, pada 5-6 Rajab 1441 H/29 Februari-1 Maret 2020.