Home Fiqih Menjomblo, Kenapa Tidak? Ini Penjelasan Ilmiahnya

Menjomblo, Kenapa Tidak? Ini Penjelasan Ilmiahnya

0
dosa kecil

Kata “jomblo” tidak ditemukan dalam KBBI. Kata jomblo merupakan serapan dari kata “jomlo” dari bahasa sunda yang arti sebenarnya adalah gadis tua atau dagangan yang tidak laku.

Seiring dengan berjalanya waktu, kata jomlo diberi imbuhan “b” dan mengalami perluasan makna. Mengutip dari laman Grid, para pelajar SMA di Bandung adalah yang pertama kali mempopulerkan kata “jomblo”, tepatnya sekitar tahun 1993.

Pada masa itu, istilah “jomblo” mulai digunakan untuk merujuk ke seseorang yang tidak punya pacar. Maknanya pun jadi lebih universal, tidak sekadar untuk para gadis tua yang masih melajang saja, melainkan baik laki-laki ataupun perempuan, pokoknya kalau melajang, berarti layak disebut jomblo.

Mungkin berdasarkan hal tersebut, kemudian jomblo dikonotasikan negatif. Okelah kita hargai penyematan kata jomblo kemudian dipopulerkan dan dikonotasikan negatif, sebagai kekayaan perbendaharaan kata. Meskipun tidak diakomodir dalam KBBI entah diwaktu mendatang akan ada amandemen dan dimasukan didalamnya. 

Yang tidak kami sepakati disini, bukan kata “jomblo” sebagai penyematan laki-laki atau perempuan yang tidak memiliki pacar, melajang dan belum menikah, melainkan konotasi negatif yang disematkan kepada jomblo. Alasan mendasar penolakan itu diantaranya; 

Pertama, tidak memiliki pacar dikonotasikan sesuatu yang negatif. Pacaran tidak ada padanan katanya dalam fikih munakahah. Bisa jadi pacaran malah dilarang, dengan melihat pacaran konvensional dimana pasangan laki-laki dan perempuan yang belum diikat dengan bingkai pernikahan legal formal kemudian melakukan hal-hal yang dilarang dalam agama, semisal bermesra-mesraan, bercumbu rayu, berjalan bersama, bergandengan bahkan berhubungan selayaknya suami istri.

Hal tersebut jelas menabrak aturan agama dan masuk dalam keumuman ayat Alquran 

Surat Al-Isra’ Ayat: 32.

وَلاَ تَقْرَبُوا الزِّنَا إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاءَ سَبِيلاً 

Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk

Dalam agama Islam, bahkan semua agama, menyepakati zina merupakan perkara yang dilarang. Tidak ada agama satupun yang melegalkan zina. 

وقوله أكبر الكبائر بعد القتل: أي لقوله تعالى: ولا تقربوا الزنا إنه كان فاحشة وساء سبيلا. ولاجماع أهل الملل على تحريمه فلم يحل في ملة قط

Kalam mushannif ‘zina adalah dosa terbesar setelah pembunuhan’ maksudnya karena ada firman Allah Subhanahuwata’ala, ‘dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk.’ Serta karena ada kesepakatan agama-agama yang mengharamkannya. Maka zina tidak dihalalkan dalam agama apapun.” (Sayyid Abu Bakar Syatho al-Dimyathi, I’anathu Thalibin, [Beirut, Dar Kutub Ilmiyyah, 2008], juz 4, halaman 230.)

Kedua, memilih belum menikah pada usia tertentu atau memilih tidak menikah tidak selalu buruk, atau dianggap tidak mengikuti nabi, selama tidak mengharamkan menikah.

Tidak menafikan ayat dan sabda nabi yang menganjurkan menikah semisal hadis: 

 يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ، مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ، فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ، وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ، وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ؛ فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ 

Wahai para pemuda, barangsiapa diantara kalian yang mampu menikah, maka menikahlah. Karena dengan menikah  pandangan mata lebih dapat ditahan dan kemaluan lebih terjaga. Dan barangsiapa yang tidak mampu, maka haruslah ia berpuasa. Karena puasa dapat menjadi tameng.” (H.R. Bukhari)

Terlepas dari keutamaan dan keistimewaan menikah, dengan beranggapan jika menikah justru akan membuat mereka lemah dan semakin menjauh dari semangat menggali ilmu.

Nabi bersabda:

إنَّ الولدَ مَبخلَةٌ مجبَنَةٌ مجهلَةٌ محزَنَةٌ

Sesungguhnya anak menjadi penyebab sifat pelit, pengecut, bodoh dan sedih.” (H.R. Thabarani)

Syekh Abdul Fattah Abu Ghaddah dalam kitab Ulama Al-Uzzab Alladizna Asaru Ilma Ala Zawaj Hal. 11 -12 mengutip penjelasan Imam az-Zamakhsyari atas hadis Rasulullah SAW diatas, bahwasanya kehadiran anak memang bisa mendatangkan rasa bakhil dalam diri seorang ayah. Sebab tak ingin hartanya berkurang. Dalam aspek kebodohan, anak bisa memalingkan dari ghirah mencari ilmu. Sementara dari sisi ketakutan, anak bisa memicu kekhawatiran berlebihan dari sang ayah jika kelak anaknya terbunuh hingga tak lagi memiliki generasi penerus. Sedangkan dari kesedihan, keberadaan anak bisa mendatangkan sedih dengan memikirkan segala urusan anaknya. 

Bahkan Imam al-Khathib al-Baghdadi dalam kitabnya al-Jami’ li Akhlaq ar-Rawi wa Adab as-Sami’ menegaskan, dianjurkan bagi penuntut ilmu untuk menjomblo selama hal itu memungkinkan. Ini agar dia tidak disibukkan dengan urusan keluarga dan mencari nafkah kemudian mengalahkan belajar. 

Ibn al-Jauwzi juga berpandangan demikian, dalam kitabnya yang cukup menarik yaitu Shaid al-Khathir. Bagi Ibn al-Jauwzi, yang dibutuhkan penuntut ilmu agar berhasil dan cara terbaik menjaga hafalan, mendapat waktu pilihan, tempat dan kondisi terbagus untuk ilmu, adalah sebisa mungkin menunda menikah atau memjomblo. Cara ini yang ditempuh Imam Ahmad bin Hanbal yang memilih tidak menikah hingga umur beliau empat puluh tahun. 

Al-Imam Al-Hafidz Syaikhul Islam Muhyiddin Abu Zakariya Yahya bin Syarof Annawawi Assafi’i 631-649, Merupakan Ulama fenomenal dalam madzhab Syafi’i pengarang banyak kitab diantaranya Syarah Shahih Muslim, Riyadusolihin, al-Idhoh Fil Manasik, Syarah Maj’mu, Al-Azdkar dan masih banyak lagi karangan beliau. Imam Nawawi menghafal kitab Tambih selama empat bulan setengah. Imam Nawawi tidak pernah menikah semasa hidupnya. 

Apakah ulama-ulama diatas yang menunda menikah dan yang sama sekali tidak menikah tidak mengetahui anjuran dan keistimewaan menikah atau mengingkari pernikahan? Rasanya tidak mungkin, sebab mereka menjelaskan secara panjang lebar tentang pernikahan mulai dari dalil, keistimewaan, syarat, rukun dan sebagainya dijelaskan secara lengkap dan mendetail dalam kitab-kitabnya. 

Tak bisa dimungkiri memang bagaimanapun tanggungjawab pernikahan sangat besar, mencakup urusan nafkah, keluarga, dan lain sebagiannya yang mau tidak mau akan sangat menyita pemikiran seseorang. Dengan tetap tidak menafikan kebaikan pernikahan, mungkin inilah alasan mengapa mereka memilih tetap menjomblo. 

Walhasil menjomblo merupakan pilihan individu dengan pandangan mereka pribadi. Lebih baik menjomblo atau menikah. Dan jangan disimpulkan menjomblo lebih baik dari menikah. Semua hal harus dilihat kontekstualnya.

Oleh karenanya menjomblo tak selamanya negatif semisal yang dikatakan oleh Imam Al-Khathib Al-Baghdadi, “dianjurkan bagi penuntut ilmu untuk menjomblo selama hal itu memungkinkan. Ini agar dia tidak disibukkan dengan urusan keluarga dan mencari nafkah kemudian mengalahkan belajar“.

Dan yang menjadi pilihan Imam Ahmad bin Hambal yang menikah diusia empat puluh tahun, atau yang dilakukan oleh Imam Muhyiddin An-Nawawi yang memilih tidak menikah. Semata-mata mereka melakukan itu karna kecintaan mereka kepada ilmu sampai mereka rela menunda atau bahkan tidak menikah. Maka hilangkan stigma negatif kepada jomblo. Cobalah berhusnudzon kepada mereka, dan hargai pilihan menjomblo mereka. Lebih-lebih mereka yang sedang fokus mencari Ilmu.

Wallahu A’lam

___

*Penulis: Hanif Rahman, Aktivis Bahtsul Masail PP Al-Iman Bulus Purworejo; Mahasiswa Tafsir Pascasarjana UNSIQ Wonosobo.