Home Kebangsaan Kontekstualisasi Konsep Khilafah

Kontekstualisasi Konsep Khilafah

0
ikrar santri lirboyo kemerdekaan indonesia
ikrar santri lirboyo kemerdekaan indonesia

Bila menemukan istilah al-imam al-a’dzham, maka yang dimaksud adalah khilafatun nubuwah. Dan khilafatun nubuwah tersebut hanya berlaku selama tiga puluh tahun saja. Mengacu pada hadis nabi Muhammad Shalallahu’alaihiwasallam

الخلافة ثلاثون عاماً ثم يكون بعد ذلك الملك

Khilafah ada selama tiga puluh tahun. Setelah itu menjadi kerajaan.” (H.R. Ahmad.) 

Masa tiga puluh tahun tersebut terhitung pada zaman khulafaur rasyidun, memasukkan era khalifah Umar bin Abdul Aziz.

Baca juga: Jihad dan Penerapannya dalam Negara Bangsa.

Baca juga: Perlukah Menghapus Kurikulum tentang Jihad dan Khilafah di Indonesia?

Sementara dalam Alquran dan hadis sendiri tidak ada referensi yang dengan tegas menjadi dalil untuk mekanisme pengangkatan seorang imam. Untuk itulah para fuqaha tidak merumuskan hukumnya secara sistematis. 

Andaikata pengangkatan khilafah adalah suatu keharusan, tentunya nabi Muhammad Shalallahu’alaihiwasallam akan memberikan petunjuk dan pedoman prosedural dengan jelas kepada para sahabat. Akan ada aturan yang tegas, sebab disadari atau tidak keberadaan seorang pemimpin merupakan hal yang sangat penting. 

Maka dapat disimpulkan, pengangkatan khilafah sebenarnya kondisional, dan mekanismenya dipasrahkan kepada masyarakat. Intinya adalah bagaimana tujuan mulia dari adanya khilafah, sebagai sarana dan syarat tercapainya kemaslahatan dalam kehidupan beragama dan bermasyarakat bisa tercapai. 

انتظام الناس إلى طريق مستقيم المنجى فى الدنيا و الأخرة 

Mengatur manusia menuju jalan benar yang bisa menyelematkan mereka di dunia dan akhirat.” 

Maka imam yang dikehendaki dalam keterangan tersebut adalah yang memiliki otoritas dan kekuasaan baik dalam urusan dunia dan agama. Sehingga tidak dapat dipraktekkan untuk zaman sekarang. Hari ini tidak bisa ditemukan orang yang memiliki otoritas ganda tersebut. 

والسياسة في استصلاح الخلق وإرشادهم إلى الطريق المستقيم المنجي في الدنيا والآخرة على أربع مراتب الأولى وهي العليا سياسة الأنبياء عليهم السلام وحكمهم على الخاصة والعامة جميعاً في ظاهرهم وباطنهم والثانية الخلفاء والملوك والسلاطين وحكمهم على الخاصة والعامة جميعاً ولكن على ظاهرهم لا على باطنهم والثالثة العلماء بالله عز وجل وبدينه الذين هم ورثة الأنبياء وحكمهم على باطن الخاصة فقط ولا يرتفع فهم العامة على الاستفادة منهم ولا تنتهي قوتهم إلى التصرف في ظواهرهم بالإلزام والمنع والشرع والرابعة الوعاظ وحكمهم على بواطن العوام فقط فأشرف هذه الصناعات الأربع بعد النبوة إفادة العلم وتهذيب نفوس الناس عن الأخلاق المذمومة المهلكة وإرشادهم إلى الأخلاق المحمودة المسعدة وهو المراد بالتعليم 

Siyasah dalam upayanya menuntun umat manusia menuju jalan yang benar, yang dapat menyelamatkannya di kehidupan dunia dan akhirat dibagi menjadi empat. 

Pertama, yang tertinggi, merupakan siyasah para nabi ‘alaihissalam. Hukumnya khusus dan umum dalam perkara lahir dan batin umat manusia. Kedua, adalah siyasah para khalifah, raja, dan sultan. Hukumnya khusus dan umum secara keseluruhan. Akan tetapi hanya mengatur hal yang nampak (lahir). Ketiga adalah ulama yang menjadi pewaris para nabi. Hukumnya hanya batin saja. Pun tidak bisa memaksa orang awam untuk mengikuti, dan tidak bisa mewajibkan hukum tertentu untuk dipatuhi semua orang. Keempat adalah orang-orang yang memberikan nasihat. Hukumnya hanya sebatas batin orang awam. 

Hal paling mulia setelah nubuwah dari hal tersebut adalah memberikan faidah dengan ilmu pengetahuan, juga membersihkan hati dari akhlak tercela yang merusak. Dan menunjukkan akhlak terpuji yang bisa mendatangkan keberuntungan. Yang mana hal tersebut disebut dengan ta’lim.” (Imam Ghazali, Ihya Ulumuddin, [Beirut, Darul Fikr, 1995 M.], Vol. I, hal. 19.) 

Artinya perbandingan semasa era nabi Muhammad shallahu’alaihiwasallam dan sepeninggal beliau sangatlah jelas menurut keterangan imam Ghazali tersebut. 

Dalam konteks khilafah nubuwah, kejadian apapun dipasrahkan kepada Rasulullah Shalallahu’alaihiwasallam. Tapi sepeninggal nabi, hal tersebut sudah tidak memungkinkan lagi. Karena sudah terlalu banyak “matahari”. Jika dipaksakan akan terjadi peperangan terus menerus. 

Karena sudah tidak memungkinkan adanya khilafah nubuwah, maka diteruskan derajat selanjutnya yaitu umara. Kekuasaannya menyeluruh tapi hanya sebatas lahir. Tidak sampai menguasai penetapan tata cara ibadah tertentu. Mereka tidak punya wewenang dalam hal tersebut. Dengan alasan inilah pemerintah tidak boleh memaksa seseorang untuk mengikuti madzhab tertentu. Apalagi misalnya, mewajibkan qunut, atau melarang qunut, mewajibkan ziarah kubur, dan juga sebaliknya. 

Wallahu a’lam. 

Sumber: kajian Islam K.H. Azizi Hasbullah (Dewan perumus LBM PBNU).