Home Fiqih Joget di Majelis Shalawat

Joget di Majelis Shalawat

0
Joget di majelis

​Oleh: Gus Moh Nasirul Haq Lc.

Fenomena joget di Majelis Shalawat akhir-akhir ini menjadi PR bagi kita bersama.

Banyaknya orkes dangdut yang mulai sepi digantikan Majelis Sholawat, tentu sangat baik. Banyak preman dan penikmat miras pun tobat karenanya.

Dakwah secara bertahap yang berusaha dilakukan berbagai pihak perlu kita apresiasi. Adapun beberapa kekurangan dari kegiatan dakwah tersebut hendaknya benahi bersama.

Karenanya sangat menarik mengkaji pendapat-pendapat ulama perihal tarian dan gerakan saat zikir, di mana dalam hal ini bershalawat juga termasuk zikir.

Maka mari kita kembalikan masalah krusial aktual ini pada beberapa pendapat ulama, sehingga kita tidak menyimpulkan sendiri hukumnya.

Esensi Gerakan Tubuh Saat Zikir

Pertama mari kita lihat esensi gerakan tubuh saat zikir menurut kalangan Sufi. Ibn Hajar al Haitami dalam al-Fatawi Haditsiyah berfatwa:
ان التمايل والتواجد في الاذكار جائز وعبر عنه عندهم بالرقص فانه نشأ من الذاكرين عن صدق قلب بذكرالله تعالى وصحة ارتباط برجال الله واعتصام بحبل الله وحب لله ولرسول الله فلا انكار على فاعله اذا خلا عن التثني والتكسر ويجب تحسين الظن بفاعله

“Pada dasarnya gerakan badan miring (kanan kiri dan semisalnya) dan tawajud (gerakan yang timbul karena dorongan nuansa hati yang biasa dialami para Sufi) itu boleh dilakukan. Oleh sebagian ulama gerakan itu disebut sebagai tarian. Gerakan seperti ini timbul dari kesungguhan hati orang yang berzikir mengingat Allah-subhanahu wa ta’ala-, dari adanya keabsahan ikatan dengan Rijalullah (Ulama/Mursyid), dari berpegang teguh dengan agama Allah, serta cinta kepada Allah dan Rasul-Nya, sehingga hal ini tidak dilarang bagi pelakunya selama tidak ada gerakan seperti wanita dan gerakan yang dibuat-buat. Kita wajib berbaik sangka kepada pelakunya.”
Sementara Imam Ahmad bin Hanbal pernah ditanya perihal orang-orang yang melakukan gerakan saat zikir. Beliau menjawab:
دعهم فرحوا بربهم فان من تجلت عليه المواهب الربانية فرح بها فتمايل وتواجد فويل للقاسية قلوبهم من ذكر الله اولئك في ضلال مبين فلا ينكر التمايل والتواجد الا من سلب حلاوة الايمان.

“Biarkan mereka berbahagia dengan Tuhannya, karena orang yang tampak padanya pemberian Allah, merekapun bahagia dan melakukan gerakan bergoyang dan gerakan tawajud. Sungguh celaka orang yang hatinya keras. Maka tidak ada yang mengingkari gerakan ke kiri kanan dan depan belakang kecuali orang yang hatinya dicabut dari manisnya keimanan.”
Nah, dari dua poin di atas bisa kita ketahui, ternyata tarian dan gerakan bisa jadi muncul karena nikmatnya berzikir ataupun shalawat, bukan karena hawa nafsu. Sebab gerakan zikir ini merupakan perwujudan dari nikmat dan kebahagiaan dekat dengan Tuhan Yang Maha Esa.

Asal Usul Gerakan Saat Zikir

Kemudian kedua, kita akan membahas asal usul dalil gerakan tubuh dalam zikir. Di sini ditemukan referensi yang menyatakan, pada zaman Nabi Muhammad-shallallahu ‘alaihi wasalllam- juga ada gerakan saat zikir. Seperti yang dilakukan Orang Habasyah di Masjid Nabawi saat hari raya. Dikatakan dalam kitab al-Fiqh ‘ala al-Madzahib al-Arba’ah (II/42):

وقد استدل الاستاذ الغزالي على إباحة الرقص : برقص الحبشة والزنوج في المسجد النبوي يوم عيد حيث أقرهم رسول الله صلى الله عليه و سلم وأباح لزوجه السيدة عائشة رضي الله عنه أن تتفرج عليهم وهي مستترة به صلى الله عليه و سلم. وهوكما تعلم لا يثير أي شهوة فالنوع المباح من الرقص هو الذي لا يثير شهوة فاسدة

“Al Ustadz l-Ghazali berdalil atas kebolehan gerakan zikir dari kisah Habasyah dan Zunuj yang menari di Masjid Nabawi saat Idul Fitri yang dibiarkan oleh Nabi, dan diperkenankan bagi istrinya Aisyah untuk menjadikannya sebagai hiburan. Saat melihatnya Aisyah bersembunyi di belakang Nabi. Sebagaimana diketahui gerakan itu tidak menimbulkan syahwat apapun, sehingga jenis gerakan yang boleh adalah yang tidak menimbulkan syahwat.”
Dalam referensi lain para Ulama mengambil kisah Ja’far Ra sebagaimana dalam kitab Al-Adab karya Imam Baihaqi:
استدل العلماء الاعلام رضي الله عنهم على جواز التمايل والتواجد بما وقع لجعفر رضي الله عنه لما قال له صلى الله عليه وسلم: اشبهت خلقي وخلقي. فرقص من لذة هذا الخطاب ولم ينكر عليه صلى الله عليه وسلم  وجعلوا ذلك لجواز رقص الصوفية عند ما يجدون لذة التواجد. .

“Ulama tasawwuf berargumen atas kebolehan gerakan miring (kanan kiri dan srmisalnya) dan gerakan tawajud dari kejadiaan Sahabat Ja’far r.a atas yang dikatakan Nabi-shallallahu ‘alaihi wasallan-kepadanya:

“Badanmu dan etikamu mirip denganku.”
Maka secara spontan karena nikmatnya yang dikatakan Nabi iapun menari-nari dan Nabi pun tidak mengingkarinya.
Kejadian ini menjadi referensi atas kebolehan tarian kaum Sufi saat menemui kelezatan bertaqarrub kepada Tuhan.”
Selanjutnya di antara contoh gerakan yang di perkenankan dalam zikir adalah gerakan yang disebut hajal, yaitu:
والحجل أن يرفع رِجْلا ويقفز على الأخرى من الفرح. فإذا فعله الإنسان فرحا بما آتاه الله تعالى من معرفته أو سائر نعمه فلا بأس. وما كان فيه تثن وتكسّر حتى يباين أخلاق الذكور فهو مكروه لما فيه من التشبه بالنساء.

“Hajal adalah perbuatan mengangkat satu kaki dan bergerak dengan satu kaki lainnya karena rasa gembira. Jika itu dilakukan karena bahagia atas nikmat yang diberikan Allah dari anugerah mengenal-Nya atau segenap nikmat-Nya maka diperbolehkan.
Adapun gerakan yang menyerupai gerakan wanita dan dibuat- buat sehingga menghilangkan etika kelaki-lakiannya maka hukumnya Makruh karena menyerupai wanita.”

Adab Membaca Shalawat

Dalam konteks ini Hadlratus Syaikh KH Hasyim Asy’ari menjelaskan secara sangat jelas dalam kitabnya Nurul Mubin (17):
“Termasuk salah satu ciri-ciri cinta kepada Nabi yaitu memuliakan dan mengagungkannya ketika disebutkan nama Nabi padanya disertai adab penuh ketenangan, khusyuk dan tawadhu’ di saat menyebut namanya.
Sementara Syaikh Ibrahim bin Ishak At Tajibi mengatakan: “Adapun Sahabat Nabi tidaklah ketika disebut nama Nabi kecuali dengan kekhusyukan dan merinding kulit mereka, serta menangis. Adapula banyak dari kalangan Tabi’in yang membaca shalawat karena cinta dan rindu yang mendalam kepadanya. sebagian lain membaca shalawat karena takut dan memuliakan Nabi.”
(Kitab nurul mubin Hal 17).
Itulah adab kita saat membaca shalawat kepada Nabi Muhammad-shallallahu ‘alaihi wasallam-yang harus  selalu kita jaga. Karena shalawat merupakan bentuk zikir kepada Allah dengan memuji Nabi-Nya.
Bisa kita bayangkan bagaimana penduduk langit (malaikat) dan bumi bershalawat atas Nabi, bahkan Allah juga bershalawat kepadanya.
Bisa dibayangkan bagaimana agungnya shalawat. Banyak Ulama saat dibacakan shalawat menangis karena rindu kepada Nabi. Ada juga yang melakukan tarian dan gerakan karena kerinduan yang mendalam kepadanya.
Tentu saja teladan dari para ulama ini sangat jauh dari hasrat yang timbul dari hawa nafsu.
Gerakan itu terjadi secara spontanitas, tidak hasil dari settingan apalagi propaganda.
Gerakan itu mengalun indah dan penuh makna bukan sekedar gerakan yang mengumbar nafsu, apalagi ditambah  pakaian yang mengundang syahwat.
Karena itu, mari kita hindari hal-hal yang merusak inti sari dan esensi dari membaca shalawat Nabi seperti melakukan gerakan dan tarian yang “su’ul adab” tidak beretika, yang kelak bukan justru mendatangkan hidayah malah mendatangkan murka.
Rasional saja, jika kita di hadapan Presiden dalam forum rapat resmi tidak berani melakukan joget yang sedemikian, lalu di mana nurani kita sehingga di hadapan Nabi dalam majelis shalawat justru berani berjoget sedemikian?
Akan tetapi semua belum terlambat. Cinta shalawat sudah merupakan modal yang sangat bagus. Tinggal bagaimana membenahi cara menghaturkan untaian shalawat kepada Sang baginda Nabi Muhammad-shallallahu ‘alaihi wasallam-.