Oleh: Arina Robithoh Fuadina (Santri PP Hidayatul Mubtadiaat Kota Kediri)
Hasud adalah mengharapkan hilangnya nikmat orang lain. Adapun mengharapkan sesuatu yang dimiliki orang lain itu dinamakan dengan ghibthah.
Ghibtah bukanlah sesuatu yang hina, karena sesungguhnya ghibthah merupakan sebab untuk mendapatkan kebaikan. Rasulullah Saw bersabda:
اَلْمُؤْمِنُ يَغْبِطُ وَالْمُنَافِقُ يَحْسُدُ.
“Orang mukmin itu melakukan ghibthah, sedangkan orang munafiq melakukan hasud.”
Artinya, pada dasarnya sifat yang diperbolehkan pada diri seorang mukmin adalah sifat ghibthah, yakni mengharapkan nikmat yang dimiliki oleh orang lain tanpa mengharapkan hilangnya nikmat itu dari orangnya. Seperti halnya seorang pelajar mempunyai keinginan bisa menjadi bintang kelas seperti temannya, akan tetapi dia sama sekali tidak mempunyai harapan agar temannya itu tidak dapat menjadi bintang kelas lagi. Sementara itu, ghibthah yang berhubungan dengan dunia hukumnya mubah, sedangkan yang berhubungan dengan ketaatan hukumnya sunnah.
Dengan demikian, sifat hasud merupakan sifat yang hanya diperuntukkan bagi orang-orang munafik saja. Jadi, apabila seorang mukmin memiliki sifat hasud maka ia tidak lagi dikategorikan sebagai orang mukmin, melainkan ia adalah orang munafiq.
Menghilangkan Hasud
Beberapa hal yang dapat menghilangkan hasud pada hati seseorang di antaranya adalah:
- Senantiasa berpegang teguh pada agama Allah Swt.
- Memandang bahwa segala sesuatu yang berhubungan dengan hasud nantinya akan berdampak pada dirinya sendiri.
- Ridha atas takdir dan ketentuan dari Allah Swt.
Dalam hal ini Nabi Muhammad Saw bersabda:
اَلْحَسَدُ يَأْكُلُ الْحَسَنَاتِ كَمَا تَأْكُلُ النَّارُ الْحَطَبَ. (رواه ابن ماجه)
“Hasud memakan kebaikan seperti halnya api melalap kayu bakar.” (HR. Ibn Majah)
Artinya, bahwasanya apabila seseorang memiliki sifat hasud serta membiarkannya tumbuh dan berkembang pada dirinya, maka tanpa disadari pahala setiap kebaikan yang dilakukannya akan hilang sia-sia karena telah dilalap oleh sifat tersebut.
Karena itu, jangan biarkan hasud tumbuh dan berkembang pada dirimu hingga melalap habis kebaikanmu.
Baca Juga: Fenomena Muasyaroh (pergaulan) Santri Putra dan Putri
Sumber:
Hafizh Hasan al Mas’udi, Taisir al Khalaq, (Surabaya: Al Hidayah, 1339 H), 42.
Ilustrasi: freepik