Home Fiqih Hukum Mempidanakan Perbuatan LGBT

Hukum Mempidanakan Perbuatan LGBT

0

Isu LGBT—sebuah akronim dari lesbian, gay, biseksual, dan transgender, yang digunakan semenjak tahun 1900-an menggantikan frasa komunitas gay—kembali muncul ke permukaan setelah Mahkamah Konstitusi (MA) menolak permohonan pemohon untuk memperluas penafsiran mengenai pasal-pasal yang terdapat di dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Di antaranya pasal 284 mengenai zina, pasal 285 mengenai pemerkosaan dan pasal 292 mengenai perbuatan cabul. Alasan MK sendiri menolak permohonan itu adalah karena memang bukan kewenangan MK untuk memperluas dari pasal yang terdapat dalam KUHP, tetapi merupakan kewenangan legislatif, yang dalam hal ini adalah Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).

Sejauh ini hukum nasional Indonesia memang tidak mengkriminalisasikan­ homoseksualitas. Hal ini berbeda dengan hukum mengenai sodomi di Negeri Jiran, Malaysia, produk hukum warisan kolonial Inggris yang mengkriminalisasikan­ tindakan homoseksual, atau lebih spesifik tindakan anal seks. Hukum pidana nasional Indonesia tidak melarang hubungan seksual pribadi dan hubungan homoseksual non-komersial antara orang dewasa yang saling bersetuju. Ini berarti, KUHP tidak menganggap perbuatan homoseksual sebagai suatu tindakan kriminal, selama tidak melanggar hukum-hukum lain yang lebih spesifik; antara lain hukum yang mengatur mengenai perlindungan anak, kesusilaan, pornografi, pelacuran, dan kejahatan pemerkosaan. Perbuatan homoseksual tidak dianggap sebagai tindakan kriminal, selama hanya dilakukan oleh orang dewasa (tidak melibatkan anak-anak atau remaja di bawah umur), secara pribadi (rahasia/ tertutup, tidak dilakukan di tempat terbuka/ umum, bukan pornografi yang direkam dan disebarluaskan), non-komersial (bukan pelacuran), dan atas dasar suka sama suka (bukan pemaksaan atau pemerkosaan). Sebuah RUU nasional untuk mengkriminalisasi homoseksualitas, beserta dengan hidup bersama diluar ikatan pernikahan (kumpul kebo), perzinahan dan praktik sihir, gagal disahkan pada tahun 2003 dan tidak ada undang-undang berikutnya yang diajukan kembali

Kriminalisasi yang dimaksud di sini, adalah proses menjadikan perbuatan yang bukan perbuatan pidana menjadi sebuah bentuk kejahatan baru. Semakin besar proses kriminalisasi, maka semakin besar pula bentuk kejahatan dan semakin banyak pula angka kejahatan.

Kini, upaya mengkriminalisasi homoseksualitas, hidup bersama diluar ikatan pernikahan (kumpul kebo) dan perzinahan, atau upaya perluasan mengpidanakan pasal perilaku zina dan pencabulan sesama jenis, kembali dibahas di DPR lewat revisi KUHP. Dalam Pasal 292 KUHP, perilaku homoseksual bisa dipidana ketika seorang dewasa mencabuli anak dibawah umur. Sementara perilaku seks sesama jenis untuk sesama pria atau perempuan dewasa tidak dapat dijerat pidana. Dari sinilah kemudian muncul wacana aturan tersebut diperluas sehingga seks sesama jenis antara orang dewasa bisa dipidana meskipun tanpa paksaan dan kekerasan. Namun, wacana ini dinilai bisa melanggar hak privasi masyarakat.

Dalam proses legislasi di parlemen, paradigma terpecah ke dalam—sedikitnya—tiga kelompok besar. Pertama, pandangan LGBT adalah kejahatan sehingga harus dipidana. Kelompok ini menggunakan pembenar dari langit, bahwa Kitab Suci telah melaknat dan mengutuk LGBT sejak zaman dahulu kala. Kebenaran langit itu kemudian menggaris batas tegas, mana moral dan mana yang amoral. Alasan lain: LGBT menjadi salah satu kelompok yang rentan terkena HIV/ AIDS, disusul alasan kuantitatif, yaitu menarik angka mayoritas dan minoritas: masyarakat dunia mayoritas heteroseks. Sebagai langkah terakhir, kebenaran langit itu harus diperjuangkan lewat gerakan politik. Dan puncaknya, merumuskan dan mengkonstruksikannya­ menjadi sebuah UU.

Kedua, pandangan LGBT sebagai fitrah. Kelompok ini mempunyai sebuah pandangan yang cukup kontras dengan kelompok pertama, bahwa LGBT merupakan fitrah dan bagian dari sejarah yang tak terelakkan. LGBT ada dan akan terus ada sebagai sebuah fitrah manusia. LGBT ada sepanjang sejarah manusia itu sendiri. Manusia otonom untuk memilih dirinya menjadi heteroseks atau homoseks. Oleh sebab itu, LGBT bukanlah bentuk perbuatan pidana. Sepanjang sudah dewasa dan bisa menentukan pilihan, maka manusia tidak bisa dipidana atas pilihan orientasi seksualnya. Dan negara, bagi kelompok ini, tidak bisa mengintervensi hak dasar warga hanya karena perbedaan orientasi seksual. Apabila hubungan seksual sesama jenis dilakukan suka sama suka tanpa paksaan, hal itu berarti tidak ada korban sehingga tidak bisa dikategorikan sebagai tindak pidana. Negara boleh hadir kalau memang ada tindak pidana yang merugikan pihak lain, dan itu semua sudah diatur dalam KUHP, seperti perbuatan seksual di muka umum, atau perbuatan seksual dengan pemaksaan atau kekerasan.

Alasan menolak lainnya: pidana LGBT akan menimbulkan masalah baru, yaitu dalam penegakan hukumnya. Seperti pembuktian, bentuk sanksi pidana hingga proses pemasyarakatannya. Kelompok ini menilai, polisi akan sulit membuktikan apabila seks sesama jenis dilakukan karena faktor suka sama suka. Bagaimana polisi bisa buktikan hubungan seksual sesama jenis kalau tidak ada yang melapor? Akan berapa banyak dari masyarakat Indonesia yang merasa tidak aman jika dalam ruang yang paling privat sekalipun, seperti rumah yang pintunya tertutup bisa dibuka hanya karena ada laporan yang mengatakan ada kegiatan seksual?

Dan ketiga, pandangan LGBT adalah tabu. Di tengah irisan yang hitam-putih di atas, ada yang mengakui bahwa LGBT ada di dalam masyarakat, tapi mempertanyakan: apakah hukuman pidana merupakan hukuman yang tepat. Sebab, pidana adalah upaya hukum terakhir dalam sebuah sistem hukum, masih ada sanksi-sanksi lain yang bisa dipakai untuk menertibkan sebuah masyarakat; moralitas dan etika jika dijadikan hukum negara, akan menjadikan negara menjadi sangat jahat. Ketidakteraturan masyarakat, tidak selamanya harus dipikul oleh hukum pidana dan negara. Masih ada keluarga, tokoh agama, tokoh masyarakat, RT, kepala adat, dan sebagainya untuk mengontrol penyimpangan sosial dalam masyarakat, dengan cara memaksimalkan upaya membumikan nilai-nilai agama, pendekatan sosial (social approach), peningkatan pendidikan seksualitas, dan lain sebagainya. Hukuman keLGBT akhirnya berupa sanksi sosial seperti didiskriminasikan oleh masyarakat, dikucilkan atau tidak diberikan tempat dalam jabatan publik, dan sebagainya. Menurut kelompok ini, LGBT yang dilakukan sesama orang dewasa bukan kejahatan, tetapi perbuatan tabu. Setidaknya, dari tiga konstruksi di atas, maka segala kemungkinan akan terjadi di parlemen. Penyelesaian masalah LGBT memang merupakan permasalahan yang cukup problematis di negeri ini, dan hingga saat ini masih belum terpecahkan.

Melihat berbagai pertimbangan di atas, apakah perlu meregulasikan sebagai undang-undang hukum pidana untuk perbuatan LGBT ?

Pemerintah wajib meregulasikan hukum pidana LGBT, karena menyalahi ajaran agama dan budaya, serta terbukti meresahkan masyarakat luas. Disamping itu, pemerintah wajib:

  1. Memfasilitasi rehabilitasi kaum LGBT;
  2. Melibatkan Ulama, Pakar psikologi, dan Dokter untuk membimbing kaum LGBT;
  3. Melindungi kaum LGBT dari tindak kekerasan dan diskriminasi.

Referensi :

  1. Al Madkhol, vol. 2, h. 737.
  2. Al Aziz Syar Al Wajiz, Vol 11 h. 141.
  3. Al Bujairami, vol. 3, h. 177.
  4. Dan lain-lain

Baca Juga : Kumpulan Hasil Bahtsul Masail

Klik Untuk Referensi Lengkap

Referensi jawaban

  • المدخل لإبن الحاج الفاسي المالكي المتوفى: 737هـ  جـ 2 | صـ  دار الفكر

وقد قال بعضهم اللوطية على ثلاث مراتب طائفة تتمتع بالنظر وهو محرم لأن النظرة إلى الأمرد بشهوة حرام إجماعا بل صحح بعض العلماء أنه محرم وإن كان بغير شهوة والطائفة الثانية يتمتعون بالملاعبة والمباسطة والمعانقة وغير ذلك عدا فعل الفاحشة الكبرى ولا يظن ظان أن ما تقدم ذكره من النظر والملاعبة والمباسطة والمعانقة أقل رتبة من فعل الفاحشة بل الدوام عليه يلحقه بها لأنهم قالوا لا صغيرة مع الإصرار وإذا داوم على الصغائر صارت كبائر هذا الكلام فيمن داوم على الصغائر وصارت بدوامه عليها كبائر والحكم في ذلك معلوم عند أهل العلم والمرتبة الثالثة فعل الفاحشة الكبرى

  • العزيز شرح الوجيز المعروف بالشرح الكبير للرافعي  جـ 11 |  صـ 141

ويخرَّج بالقيْدِ المذكور المفاخَذَة، ومقدِّمات الوطء، فلا يجب الحدُّ بشيء من ذلك، وإذا وجدْنا بالمرأة الخليَّةِ حبلاً، وأنكرت الزنا، لم تُحدَّ خلافاً لمالك، وإذا وجْدنا امرأة ورجلاً أجنبيين تحتْ لحاف، ولم يعرف غير ذلك، لم نَحُدَّهما، وكذلك إذا أتت المرأة المرأةَ؛ لأنه لا إيلاج، والواجبُ في هذه الصورة التعزير.

  • حاشية البجيرمي على الخطيب جـ 4 |  صـ 177

. (ومن وطئ) الأولى ” ومن باشر ” (فيما دون الفرج) بمفاخذة، أو معانقة، أو قبلة أو نحو ذلك. (عزر) بما يراه الإمام من ضرب، أو صفع، أو حبس أو نفي

  • النجم الوهاج في شرح المنهاج للدميري جـ 9 |  صـ 140

وإن وطئ امرأة أجنبية في دبرها. فطريقان:أصحهما: أنه كاللواط بذكر، فيجئ في الفاعل القولان، وتكون عقوبة المرأة الجلد والتغريب على الأصح. وقيل: هو زنا في حقها، فترجم المحصنة، وتجلد وتغرب غيرها.ولو وطئ زوجته أو أمته في دبرها .. فالمذهب: أن واجبه التعزيز إن تكرر منه فعل ذلك. قال: (ولا حد بمفاخذة) هذا الذي احترز عنه بالإيلاج-الى ان قال-وأشار بـ (المفاخذة) إلى أن جميع مقدمات الوطء وإيلاج بعض الفاحشة وإتيان المرأة المرأة لا حد فيها، لما روى الشيخان: أن النبي صلى الله عليه وسلم قال لماعز: (لعلك قبلت أو لمست)، بل واجب هذا التعزيز ومراتبها مختلفة فيه.ولو وجدنا رجلًا وامرأة أجنبيين تحت لحاف ولم نعرف غير ذلك .. لم نحدهما، ويجب التعزيز.ولو وجدنا امرأة خلية حبلى، أو ولدت وأنكرت .. فلا حد.

  • روضة الطالبين  جـ 5 |  صـ  374  دار الكتب العلمية

(فرع) لا يجوز أن يضاجع الرجل الرجل ولا المرأة المرأة وإن كان كل واحد في جانب من الفراش وإذا بلغ الصبي أو الصبية عــشـر سنين وجــب

 التفريق بينه وبين أمه وأبيه وأخته وأخيه في المضجع (فرع) يستحب مصافحة الرجل الرجل والمرأة المرأة قال البغوي وتكره المعانقة والتقبيل إلا تقبيل الولد شفقة وقال أبو عبد الله الزبيري لا بأس أن يقبل الرجل رأس الرجل وما بين عينيه عند قدومه من سفره أو تباعد لقائه.إهـ.

  • الموسوعة الفقهية الكويتية  جـ 38 |  صـ 241

مفاخذة التعريف المفاخذة في اللغة: مفاعلة يقال: فاخذ المرأة مفاخذة: إذا جلس بين فخذيها أو فوقهما كجلوس المجامع

ولا يخرج المعنى الاصطلاحي عن المعنى اللغو

  • الموسوعة الفقهية الكويتية  جـ 24 |  صـ 19

 السحاق :- السحاق والمساحقة لغة واصطلاحا : فعل النساء بعضهن ببعض ، وكذلك فعل المجبوب بالمرأة يسمى سحاقا .

فالفرق بين الزنى والسحاق ، أن السحاق لا إيلاج فيه .

  • عون المعبود وحاشية ابن القيم  جـ 11 |  صـ 105

(باب في لباس النساء) (أنه لعن المتشبهات من النساء بالرجال إلخ) قال الطبري المعنى لا يجوز للرجال التشبه بالنساء في اللباس والزينة التي تختص بالنساء ولا العكس قال الحافظ وكذا في الكلام والمشي فأماهيئة اللباس فتختلف باختلاف عادة كل بلد فرب قوم لا يفترق زي نسائهم من رجالهم في اللبس لكن يمتاز النساء بالاحتجاب والاستتار وأما ذم التشبه بالكلام والمشي فمختص بمن تعمد ذلك وأما من كان ذلك من أصل خلقته فإنما يؤمر بتكلف تركه والإدمان على ذلك بالتدريج فإن لم يفعل وتمادى دخله الذم ولا سيما إن بدا منه ما يدل على الرضى به وأخذ هذا واضح من لفظ المتشبهين وأما إطلاق من أطلق كالنووي أن المخنث الخلقي لا يتجه عليه اللوم فمحمول على ما إذا لم يقدر على ترك التثني والتكسر في المشي والكلام بعد تعاطيه المعالجة لترك ذلك وإلا متى كان ترك ذلك ممكنا ولو بالتدريج فتركه بغير عذر لحقه اللوم انتهى

  • الفقه على المذاهب الأربعة جـ 5 |  صـ 358‏                                                                                  

قوله صلى الله عليه وسلم: (لا ضرر، ولا ضرار) والضرار هو الضرر، ومعناه، إنه ينبغي لكل مسلم أن يرفع ضرره عن غيره. ويجب على كل ‏رئيس قادر سواء كان حاكماً، أو غيره أن يرفع الضرر عن مرؤوسيه، فلا يؤذيهم هو، ولا يسمح لأحد أن يؤذيهم. ومما لا شك فيه، ان ترك ‏الناس بدون قانون يرفع عنهم الأذى والضرر، يخالف هذا الحديث فكل حكم صالح فيه منفعة ورفع ضرر يقره الشرع ويرتضيه.‏

  • بين الشريعة والسياسة | د. جاسر العودة  صـ 45

هل تفرق الشريعة بين الذنوب والجرائم؟ هناك فرق في الشريعة بين الذنب أي الإثم أو المعصية التي يرتكبها الإنسان مخالفًا لأوامر الله سبحانه وتعالى ونواهيه وما علمنا إياه رسول الله صلى الله عليه وسلم، وبين الجريمة التي قد تكون ذنبًا، ولكن الفرق بينها وبين الذنب أن الجريمة لها عقوبة مدنية. والرسول صلى الله عليه وسلم لم يتعامل مع كل ذنب على أنه جريمة يعاقب عليها. هذا التماهي الذي يتوهمه البعض بين الذنوب والجرائم ليس إسلاميًا. ولأن قواعد التشريعات المعاصرة في كل مكان قد استقرت على أنه لا جريمة إلا بنص قانوني، فإن العقوبة المدنية في هذا العصر معناها وجود قانون يجرم الفعل في حد ذاته ويحدد عقوبة عليه سواء من الهيئات التنفيذية مباشرة أو بعد حكم قضائي بشروط معينة. وإذا كنا نتحدث عن استثمار مبادئ الشريعة في بناء إنسان ما بعد الثورة فلابد أن نضيّق لا أن نتوسع في تحويل الذنوب إلى جرائم! وأن نفرق فرقًا واضحًا بين الذنوب بين العباد وربهم تعالى، وبين الجرائم التي تقع تحت طائلة القانون. ذلك أن بعض الناس يدّعون اليوم أن التطبيق الكامل للشريعة يعني أن تتحوّل كل الذنوب إلى جرائم، وهذا مستحيل -الى ان قال-! نعم هناك في الشريعة ما يسمى بالتعزير وهو العقوبة التي يفرضها الحاكم (أو في هذا العصر: تفرضها الأمة كما أسلفنا) على ذنب ما، ولكن التعزير الشرعي لا ينبغي أن يطبق إلا بشروط ثلاث: -1 لابد أن يكون الذنب مما يقدرّ أنه يعرض المصلحة العامة للأمة للخطر، وأن يحدث التوافق المجتمعي المطلوب على هذا التقدير، وإلا فسوف يحدث عدم التوافق في المجتمع على القانون وتحدث القلائل. -الى ان قال–2 لا يمكن أن يكون التعزير أكبر من الحد، وهو الشرط المعروف في الفقه الإسلامي إلا من بعض الآراء الشاذة، ولكن الذي يحدث في بعض الدول التي تنتسب إلى الإسلام وتدعي تطبيق الشريعة في محاكمها – نجد أن الناس تجلد آلاف الجلدات من أجل ذنب هو أصغر من الذنب الذي حدّه ثمانين أو مائة جلدة! فإذا زنا الرجل ورآه أربعة شهود وانتفت الشبهات وانطبقت الشروط فالحد هو مائة جلدة، ولكنّه إن ضبط في جريمة سمّوها -للعجب- شبهة زن جُلد ألف جلدةّ! ما هذا؟ كيف تجلد ظهور الناس بالشبهة والرسول صلى الله عليه وسلم قد قال: ((ادرؤوا الحدود بالشبهات))؟ وإذا درأنا الحدود بالشبهات فما بالنا بالتعزير؟ هذا والله من الخلل في تطبيق شرع الله سبحانه وتعالى ومن اتباع أهواء بعض الساسة. -3 أن يكون الذي يقرر التعزير أو العقوبة هي الأمة وليس الحاكم بالمعنى التنفيذي.

  • الموسوعة الفقهية الكويتية (8/ 207)

الحكم الإجمالي :أولا – البناء ( بمعنى إقامة المباني )6 – الأصل في البناء الإباحة ، وإن زاد على سبعة أذرع ، أما النهي الوارد عنه في الحديث وهو إذا أراد الله بعبد شرا أخضر له اللبن والطين ، حتى يبني . (3) فقد بين المناوي أن ذلك يحمل على ما كان للتفاخر ، أو زاد عن الحاجة . (4) وتعتريه باقي الأحكام الخمسة : فيكون واجبا : كبناء دار المحجور عليه إذا كان في البناء غبطة ( مصلحة ظاهرة تنتهز قد لا تعوض ) .

وحراما : كالبناء في الأماكن ذات المنافع المشتركة ؛ كالشارع العام ، وبناء دور اللهو ، والبناء بقصد الإضرار ؛ كسد الهواء عن الجار . ومندوبا : كبناء المساجد والمدارس ، والمستشفيات ، وكل ما فيه مصلحة عامة للمسلمين حيث لا يتعين ذلك لتمام الواجبات ، وإلا صار واجبا ؛ لأن ما لا يتم الواجب إلا به فهو واجب .ومكروها : كالتطاول في البنيان لغير حاجة .

  • بين الشريعة والسياسة | د. جاسر عودة صـ 48

أما دون ذلك من الذنوب بين العبد وربه فلابد في تغييرها من مناهج تعليمية وتربوية وثقافية، أي لابد من إصلاح التعليم والإعلام وهذا هو الحل وليس الحل هنا أمنيًا ولا قانونيًا. هذه كانت طريقة النظم المخلوعة ولا يصح أن تستمر. أحيانًا يتصورالبعض أن التقنين هو الحل لكل شيء رغم أن التقنين والتجريم والعقوبة هو آخر الدواء.

  • غداء الألباب شرح منظومة الآداب الجزء الأول ص: 47

والنصيحة لأئمة المسلمين معاونتهم على الحق وطاعتهم فيه وتذكيرهم ونهيهم في رفق ولطف ومجانبة الوثوب عليهم والدعاء لهم بالتوفيق. والنصيحة لعامة المسلمين إرشادهم إلى مصالحهم وتعليمهم أمور دينهم ودنياهم وستر عوراتهم وسد خلاتهم وسد روعاتهم ومجانبة الغش والحسد لهم. قال الحافظ ابن رجب: ومن أنواع نصحهم تعليم جاهلهم ورد من زاغ منهم عن الحق في قول أو عمل بالتلطف في ردهم إلى الحق والرفق بهم في الأمر بالمعروف والنهي عن المنكر محبة لإزالة فسادهم ولو بحصول ضرر له في دنياه كما قاله بعض السلف: وددت أن هذا الخلق أطاعوا الله وأن لحمي قرض بالمقاريض. وكان عمر بن عبد العزيز رضي الله عنه يقول: يا ليتني عملت فيكم بكتاب الله وعملتم به فكلما عملت فيكم بسنة وقع مني عضو حتى يكون آخر شيء منها خروج نفسي.

  • رسالة المعاونة للحبيب عبد الله الحداد  صـــ84

والواجب عليك اذا رايت من يترك معروفا او يفعل منكرا ان تعرفه بكون ذلك معروفا او منكرا  فان لم يدعه فعليك بوعظه وتخويفه  فان لم ينزجر فعليك بتغيره وقهره بالضرب وكسر الة اللهو المحرحة واراقة الخمر ورد الاموال المغصوبة من يده الي اربابها .وهذه الرتبة لايستقل بها الامن بذل نفسه لله ,اوكان مأذونا له من جهة السلطان  واما الرتبتان الاولتان اعني التعريف والوعظ فلا يقصر عنهما الاجاهل مخبط او عالم مفرط واعلم ان الامر بالمعروف واجب والنهي عن محرم واجب والامر بالمندوب والتهيى عن المكروه مستحب وعليك اذا امرت بالمعروف اونهيت عن منكر ولم يسمع لك بمفارقة موضع المنكر وهجر مرتكبه حتي يفئ الي امر الله وعليك بكراهية المعاصي وكراهية المصرين عليها وبغضهم في الله وهذا واجب كل مؤمن


Judul Asli: Hukum Mempidanakan Perbuatan LGBT (Lirboyo Induk)

Hasil Keputusan Bahtsul Masa’il 
FMPP Se-Jawa Madura XXXII
Di Pondok Pesantren Bahrul Ulum
Tambakberas Jombang Jawa Timur
07-08 Maret 2018 M/ 19-20 J.Tsaniyah 1439H.

Mushahih
K.H Bahauddin Jumadi, K. Masruhan, K. A. Muwafiq D.H, K. Misbahul Munir, Agus HM. Dahlan Ridlwan, K. M. Ridhwan Qoyyum, KH. Zahro wardi, K. M. Dinul Qoyyim, K. Musyaroh Utsman

Perumus                                                                                                            Ust. M. Fahmi Basya, Ust. Darul Azka, Ust. M. Anas, Ust. Rofiq Ajhuri, Ust. Amirul Arifin, Ust. Mundzirin, Ust. M. Syahrul Munir, Ust. Agus M. Aminulloh, Ust. Agus Hamim Hr

Moderator
Ust. Ma’rifatus Sholihin

Notulen
Miftahul Huda, Abu Syamsuddin

Ilustrasi: Jasmin Sessler dari Pixabay