Home Fiqih Fikih Kebencanaan Perspektif NU (bag-2)

Fikih Kebencanaan Perspektif NU (bag-2)

0

Temuan Temuan Ilmiah tentang Kondisi Indonesia yang Rawan Bencana Alam

Secara geografis Indonesia merupakan negara kepulauan yang terletak pada pertemuan empat lempeng tektonik yaitu lempeng Benua Asia, Benua Australia, lempeng Samudera Hindia dan Samudera Pasifik. Pada bagian selatan dan timur Indonesia terdapat sabuk vulkanik (volcanic arc) yang memanjang dari Pulau Sumatera ? Jawa – Nusa Tenggara ? Sulawesi, yang sisinya berupa pegunungan vulkanik tua dan dataran rendah yang sebagian didominasi oleh rawa-rawa. Kondisi tersebut sangat berpotensi sekaligus rawan bencana seperti letusan gunung berapi, gempa bumi, tsunami, banjir dan tanah longsor. Data menunjukkan bahwa Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki tingkat kegempaan yang tinggi di dunia, lebih dari 10 kali lipat tingkat kegempaan di Amerika Serikat (Arnold, 1986).

Sebelumnya: Fikih Kebencanaan Perspektif NU (bag-1)

Gempa bumi yang disebabkan karena interaksi lempeng tektonik dapat menimbulkan gelombang pasang apabila terjadi di samudera. Dengan wilayah yang sangat dipengaruhi oleh pergerakan lempeng tektonik ini, Indonesia sering mengalami tsunami. Tsunami yang terjadi di Indonesia sebagian besar disebabkan oleh gempa-gempa tektonik di sepanjang daerah subduksi dan daerah seismik aktif lainnya (Puspito, 1994). Selama kurun waktu 1600?2000 terdapat 105 kejadian tsunami yang 90 persen di antaranya disebabkan oleh gempa tektonik, 9 persen oleh letusan gunung berapi dan 1 persen oleh tanah longsor (Latief dkk., 2000). Wilayah pantai di Indonesia merupakan wilayah yang rawan terjadi bencana tsunami terutama pantai barat Sumatera, pantai selatan Pulau Jawa, pantai utara dan selatan pulau-pulau Nusa Tenggara, pulau-pulau di Maluku, pantai utara Irian Jaya dan hampir seluruh pantai di Sulawesi. Laut Maluku adalah daerah yang paling rawan tsunami. Dalam kurun waktu tahun 1600?2000, di daerah ini telah terjadi 32 tsunami yang 28 di antaranya diakibatkan oleh gempa bumi dan 4 oleh meletusnya gunung berapi di bawah laut.

Wilayah Indonesia terletak di daerah iklim tropis dengan dua musim yaitu panas dan hujan dengan ciri-ciri adanya perubahan cuaca, suhu dan arah angin yang cukup ekstrim. Kondisi iklim seperti ini digabungkan dengan kondisi topografi permukaan dan batuan yang relatif beragam, baik secara fisik maupun kimiawi, menghasilkan kondisi tanah yang subur. Sebaliknya, kondisi itu dapat menimbulkan beberapa akibat buruk bagi manusia seperti terjadinya bencana hidrometeorologi seperti banjir, tanah longsor, kebakaran hutan dan kekeringan. Seiring dengan berkembangnya waktu dan meningkatnya aktivitas manusia, kerusakan lingkungan hidup cenderung semakin parah dan memicu meningkatnya jumlah kejadian dan intensitas bencana hidrometeorologi (banjir, tanah longsor dan kekeringan) yang terjadi secara silih berganti di banyak daerah di Indonesia. Pada tahun 2006 saja terjadi bencana tanah longsor dan banjir bandang di Jember, Banjarnegara, Manado, Trenggalek dan beberapa daerah lainnya. Meskipun pembangunan di Indonesia telah dirancang dan didesain sedemikian rupa dengan dampak lingkungan yang minimal, proses pembangunan tetap menimbulkan dampak kerusakan lingkungan dan ekosistem. Pembangunan yang selama ini bertumpu pada eksploitasi sumber daya alam (terutama dalam skala besar) menyebabkan hilangnya daya dukung sumber daya ini terhadap kehidupan mayarakat. Dari tahun ke tahun sumber daya hutan di Indonesia semakin berkurang, sementara itu pengusahaan sumber daya mineral juga mengakibatkan kerusakan ekosistem yang secara fisik sering menyebabkan peningkatan risiko bencana.

Pada sisi lain laju pembangunan mengakibatkan peningkatan akses masyarakat terhadap ilmu dan teknologi. Namun, karena kurang tepatnya kebijakan penerapan teknologi, sering terjadi kegagalan teknologi yang berakibat fatal seperti kecelakaan transportasi, industri dan terjadinya wabah penyakit akibat mobilisasi manusia yang semakin tinggi. Potensi bencana lain yang tidak kalah seriusnya adalah faktor keragaman demografi di Indonesia. Jumlah penduduk Indonesia pada tahun 2004 mencapai 220 juta jiwa yang terdiri dari beragam etnis, kelompok, agama dan adat-istiadat. Keragaman tersebut merupakan kekayaan bangsa Indonesia yang tidak dimiliki bangsa lain. Namun karena pertumbuhan penduduk yang tinggi tidak diimbangi dengan kebijakan dan pembangunan ekonomi, sosial dan infrastruktur yang merata dan memadai, terjadi kesenjangan pada beberapa aspek dan terkadang muncul kecemburuan sosial. Kondisi ini potensial menyebabkan terjadinya konflik dalam masyarakat yang dapat berkembang menjadi bencana nasional.[1]

Aspek Akidah dan Akhlak

Dosa Sosial Akibatkan Bencana

Seiring bencana melanda berbagai kawasan di Nusantara, muncul berbagai tulisan di media yang mengaitkannya dengan ajaran-ajaran agama. Ironisnya, ada sebagian yang mempersepsikan bahwa bencana datang karena kemusyrikan. Tentu hal ini mengundang tanya, “Apakah benar seperti itu dan bagaimana menurut ulama Ahlussunnah wal Jamaah?”

Tentupersepsi semacam itu tidak tepat menurut ulama Ahlussunnah wal Jamaah. Jawaban semacam ini dapat dirujukkan dalam tafsir-tafsir otoritatif di kalangan Ahlussunnah wal Jamaah, di antaranya dalam tafsir firman Allah SWT:

وَمَا كَانَ رَبُّكَ لِيُهْلِكَ الْقُرَى بِظُلْمٍ وَأَهْلُهَا مُصْلِحُونَ

“Dan tidaklah Tuhanmu akan menghancurkan suatu negeri sebab kemusyrikan sementara penduduknya adalah orang-orang yang baik (dalam relasi sosialnya).” (Surat Hud ayat 117).

Merujuk Mafatihul Ghaib karya ulama ahli tafsir Ahlussunnah wal Jamaah asal kota Ray, Iran sekarang, Fakhruddin Muhammad bin Umar Ar-Razi (544-606 H/1150-1210 M), kata ‘zhulmin’ dalam ayat bermakna kemusrikan sesuai ayat:

وَإِذْ قَالَ لُقْمَانُ لِابْنِهِ وَهُوَ يَعِظُهُ يَا بُنَيَّ لَا تُشْرِكْ بِاللهِ إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ.

Dan ketika Luqman berkata kepada anak lelakinya dalam rangka menasehatinya: ‘Wahai anakku, jangan Engkau sekutukan Allah, sungguh kesyirikan adalah kezaliman yang besar.” (Surat Luqman ayat 13). 

Dengan demikian makna ayat secara lengkap adalah, Allah Ta’ala tidak akan menghancurkan suatu negeri hanya karena penduduknya adalah orang-orang musyrik, sementara dalam relasi sosial (mu’amalah) antarsatu dengan lainnya terjaga secara baik. Tidak saling melakukan dosa sosial manusia antarsatu terhadap lainnya. Kehancuran suatu negeri tidak akan terjadi karena penduduknya meyakini kesyirikan dan kekufuran, namun karena mereka saling menyakiti, menjahati, menzalimi, dan mengumbar dosa-dosa sosial lainnya.

Dalam konteks inilah para fuqaha merumuskan: 

إِنَّ حُقُوقَ اللهِ تَعَالَى مَبْنَاهَا عَلَى الْمُسَامَحَةِ وَالْمُسَاهَلَةِ وَحُقُوقَ الْعِبَادِ مَبْنَاهَا عَلَى الضَّيِقِ وَالشُّحِّ.

“Hak-hak Allah dibangun pada prinsip keringanan dan kemudahan, sementara hak-hak manusia dibangun pada prinsip keketatan dan kedisiplinan.”

Sementara dalam suatu atsar dibahasakan:

اَلْمُلْكُ يَبْقَى مَعَ الْكُفْرِ وَلَا يَبْقَى مَعَ الظُّلْمِ.

“Suatu kerajaan (pemerintahan) akan langgeng meskipun disertai kekufuran dan tidak akan langgeng bila disertai dengan kezaliman.” 

Lebih lanjut Al-Imam Fakhruddin Ar-Razi menegaskan:

فَمَعْنَى الآيَةِ وَمَا كَانَ رَبُّكَ لِيُهْلِكَ الْقُرَى بِظُلْمٍ، أَيْ لَا يُهْلِكُهُمْ بِمُجَرَّدِ شِرْكِهِمْ إِذَا كَانُوا مُصْلِحِينَ يُعَامِلُ بَعْضُهُمْ بَعْضًا عَلَى الصَّلَاحِ وَالسَّدَادِ وَهَذَا تَأْوِيلُ أَهْلِ السُّنَّةِ لِهَذِهِ الْآيَةِ

“Maka makna ayat  ini (Surat Hud ayat 117), ‘Tidaklah Tuhanmu akan menghancurkan suatu negeri sebab kemusyrikan …’ adalah Allah tidak akan menghancurkan penduduk suatu negeri sebab kemusyrikannya, selama mereka adalah orang-orang yang baik dalam relasi sosialnya. Sebagian orang berhubungan (bermu’amalah) dengan yang lain berdasarkan kebaikan dan kebenaran.” 

Bukankah azab Allah turun kepada kaum-kaum terdahulu seperti kaum Nabi Nuh, Nabi Hud, Shalih, Nabi Luth dan Nabi Syuaib AS karena mereka saling menyakiti dan menzalimi antarsatu dengan lainnya? Demikian tegas Imam Ar-Razi.[2] (Lihat).

Berdasarkan penafsiran ulama Ahlussunnah wal Jamaah di atas, maka tidak sepenuhnya benar mengaitkan bencana alam dengan kemusyrikan. Justru bencana alam datang karena dosa sosial manusia, kejahatan dan aksi sakit-menyakiti di antara mereka. Tidak memandang latar belakang agama, apakah beriman atau pun tidak.

Bencana itu Azab, Cobaan, atau Rahmat?

Sulit untuk memastikan datangnya bencana merupakan azab atau ujian, sebab bencana yang menimpa bisa jadi merupakan azab dari perbuatan dosa yang telah dilakukan, sebagaimana ditegaskan dalam firman Allah:

ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ لِيُذِيْقَهُمْ بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ

Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)” (QS. Ar-Rum Ayat 41).

Dalam ayat lain, Allah berfirman:

وَمَا أَصَابَكُمْ مِنْ مُصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ وَيَعْفُو عَنْ كَثِيرٍ

Dan apa saja musibah yang menimpa kamu maka disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu)” (QS. As-Syura Ayat 30).

Dalam tafsirnya, ketika menomentari ayat di atas Imam ar-Razi menyampaikan perbedaan pendapat dikalangan  ulama, apakah musibah bisa dilatarbelakangi hukuman terhadap dosa-dosa di masa lampau atau tidak.[3]

Menurut satu pendapat, tidak mungkin musibah diturunkan Allah dalam rangka menghukum hamba-hambanya yang berdosa, sebab dunia bukan tempat pembalasan dosa. Adapun dosa-dosa manusia dipertanggungjawabkan dan dibalas kelak di akhirat.

Sedangkan menurut pendapat lain, dimungkinkan Allah menghukum hamba-hambanya yang pendosa dengan menurunkan musibah di dunia. Pendapat ini berpijak pada ayat-ayat yang menceritakan bahwa musibah diturunkan kepada kaum karena dosa-dosa mereka. Dan berdasarkan hadis:

لا يصيب ابن آدم خدش عود ولا غيره إلا بذنب

Bencana juga kedatangannya memungkinkan untuk menguji orang yang beriman, bukan karena dosa mereka. Sebagaimana ditegaskan dalam hadits Nabi:

سُئِلَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : أَيُّ النَّاسِ أَشَدُّ بَلاَءً ؟ قَالَ : الأَنْبِيَاءُ ، ثُمَّ الأَمْثَلُ فَالأَمْثَلُ يُبْتَلَى الرَّجُلُ عَلَى قَدْرِ دِينِهِ ، فَمَنْ ثَخُنَ دِينُهُ ثَخُنَ بَلاَؤُهُ ، وَمَنْ ضَعُفَ دِينُهُ ضَعُفَ بَلاَؤُهُ

Nabi SAW ditanya “Siapakah manusia yang paling berat cobaannya?” Nabi menjawab “Para Nabi, lalu orang yang serupa lalu orang yang serupa. Seseorang diberi cobaan sesuai kadar agamanya. Barang siapa agamanya kuat maka cobaannya pun semakin berat, dan barangsiapa yang agamanya lemah, maka cobaannya semakin ringan” (HR. Hakim).

Syekh Abdul Qadir al-Jilani menegaskan secara global, setiap bencana yang menimpa orang yang beriman diturunkan bukan untuk membinasakannya, namun untuk menguji keimanannya:

وَاعْلَمُوْا أَنَّ الْبَلِيَّةَ لَمْ تَأْتِ الْمُؤْمِنَ لِتُهْلِكَهُ وَإِنَّمَا أَتَتْهُ لِتَخْتَبِرَهُ

“Ketahuilah bahwa cobaan tidak datang kepada seorang mukmin untuk merusaknya, namun datang untuk menguji keimanananya.”[4]

Sedangkan lebih terperinci, Syaikh Abdul Qodir al-Jailani dan Syaikh Ali al-Khowasi membagi bencana sebagai berikut:

  1. Bencana yang menimpa seseorang sebagai hukuman atas kemaksiatannya. Tanda-tandanya adalah, seseorang yang terkena bencana dalam menghadapi cobaan tersebut tidak bersabar, banyak mengeluh kepada makhluk dan merasa cemas
  2. Bencana yang menimpa seseorang sebagai penghapus atau pelebur dosa-dosanya. Tanda-tandanya adalah seseorang yang terkena bencana menghadapai cobaan tersebut dengan bersabar, tanpa mengeluh, tanpa merintih, dan tidak merasa berat dalam menjalankan ketaatan
  3. Bencana yang menimpa seseorang dalam rangka menaikkan derajatnya. Tanda-tandanya adalah, seseorang yang terkena bencana mengahadapinya dengan taufiq, tentramnya hati,  ridlo dan tenang menghadapi takdir Allah sampai ia terbuka tabirnya (kasyf).

Menurut sayyidah ‘Aisyah bencana merupakan rahmat, berkah, dan diambil I’tibar bagi orang mu’min.

عن أنس بن مالك رضي الله عنه قال : دخلت على عائشة رضي الله عنها و رجل معها فقال الرجل : يا أم المؤمنين حدثينا حديثا عن الزلزلة فأعرضت عنه بوجهها قال أنس : فقلت لها حديثنا يا أم المؤمنين عن الزلزلة فقالت : يا أنس إن حدثتك عنها عشت حزينا و بعثت حين تبعث و ذلك الحزن في قلبك فقلت : يا أماه حدثينا فقالت : إن المرأة إذا خلعت ثيابها في غير بيت زوجها هتكت ما بينها و بين الله عز و جل من حجاب و إن تطيبت لغير زوجها كان عليها نارا و شنارا فإذا استحلوا الزنا و شربوا الخمور بعد هذا و ضربوا المعازف غار الله في سمائه فقال للأرض : تزلزلي بهم فإن تابوا و نزعوا و إلا هدمها عليهم فقال أنس : عقوبة لهم قالت : رحمة و بركة و موعظة للمؤمنين و نكالا و سخطة و عذابا للكافرين قال أنس : فما سمعت بعد رسول الله صلى الله عليه و سلم حديثا أنا أشد به فرحا مني بهذا الحديث بل أعيش فرحا و أبعث حين أبعث و ذلك الفرح في قلبي.[5]

Yang paling inti saat bencana alam melanda adalah bersabar dan ridlo atas kepastianNya, menerima dengan lapang dada, bukan dengan membenci atau menisbatkan bencana kepada perbuatan orang lain. Hendaknya menyalahkan diri sendiri, berintrospeksi atas kesalahan-kesalahan pribadi sebagaimana yang diteladankan Syekh Atha’ al-Salami:

وَكَانَ إِذَا أَصَابَ أَهْلَ بَلَدِهِ بَلَاءٌ يَقُوْلُ هَذَا بِذُنُوْبِ عَطَاءٍ لَوْ أَنَّهُ خَرَجَ مِنْ بِلَادِهِمْ لَمَا نَزَلَ عَلَيْهِمْ بَلَاءٌ

“Syekh Atha’ al-Salami saat penduduk daerahnya tertimpa cobaan, beliau berkata, ini disebabkan dosanya Atha’, andai ia keluar dari tempat mereka, niscaya cobaan tidak menimpa mereka”.[6]

Anjuran berprasangka baik kepada orang lain dan berperasangka buruk kepada diri sendiri ditegaskan oleh al-Imam al-Ghazali dalam bab adab ta’ziyyah berikut ini:

وَمِنْ آدَابِهِ حُسْنُ الظَّنِّ بِالْمَيْتِ وَإِنْ كَانَ فَاسِقًا وَإِسَاءَةُ الظَّنِّ بِالنَّفْسِ وَإِنْ كَانَ ظَاهِرُهَا الصَّلَاحَ فَإِنَّ الْخَاتِمَةَ مُخَطِّرَةٌ لَاتُدْرَى حَقِيْقَتُهَا

“Termasuk adabnya ta’ziyah adalah berbaik sangka pada mayit walaupun mayitnya fasiq, dan berburuk sangka pada diri sendiri walaupun tampak baik, karena akhir hidup adalah sesuatu yang mengkhawatirkan dan tidak dapat diketahui hakikatnya”.[7]

Memvonis bahwa musibah merupakan azab atas perbuatan orang lain secara tidak langsung memastikan keburukan orang tersebut. Agama melarang memastikan kesaksian kepada sesama muslim dengan vonis syirik, kufur atau munafik. Sesungguhnya yang megetahui hati dan rahasia-rahasia hanya Allah Swt, bisa jadi orang yang tampak buruk adalah manusia yang baik di sisiNya.[8]

[1]  Sumber: Pusdalop BNPB ( Badan Nasional Penanggulangan Bencana ).
[2] Fakhruddin Muhammad ibn Umar Ar-Razi, Tafsirul Fakh ar-Razi, [Bairut: Dar al-Fikr, 1401 H/1981 M], cetakan pertama, juz XVIII, halaman 77-78

[3] تفسير الرازي – (ج 13 / ص 438)

[4] Sayyid Ja’far al-Barzanji, al-Lujaini ad-Dani fi Manaqibis Syaikh Abdil Qadir al-Jilani, t.t, Kediri, Maktabah Pondok Pesantren Tahfidh wal Qiraat Lirboyo, h. 136

[5] المستدرك على الصحيحين للحاكم مع تعليقات الذهبي في التلخيص – (ج 4 / ص 561)

[6] Abdul Wahhab al-Sya’rani, Tanbih al-Mughtarrin, Kairo-Maktabah Taufiqiyyah,tt, hal.87

[7] al-Ghazali, Ihya’ Ulum al-Din, juz.4, hal.485, Dar al-Makrifat.

[8] Nawawi bin Umar al-Bantani, Maraqi al-‘Ubudiyyah, (Surabaya: al-Hidayah), 69:

(ولا تقطع) اي لا تجزم (بشهادتك من أهل القبلة) اي المسلمين (بشرك او كفر او نفاق) فان ذلك أمر صعب جدا (فإن المطلع على السرائر هو الله تعالى فلا تدخل بين العباد وبين الله تعالى) قال صلى الله عليه وسلم ما شهد رجل على رجل بالكفر الا باء به احدهما ان كان كافرا فهو كما قال وان لم يكن كافرا فقد كفر بتكفيره اياه. فان قيل هل يجوز لعن اليزيد لانه قاتل الحسين او امر به ؟ قلنا هذا لم يثبت أصلا فلا يجوز ان يقال إنه قتله او أمر به ما لم يثبت فضلا عن اللعنة لأنه لا تجوز نسبة مسلم الى كبيرة من غير تحقيق نعم يجوز ان يقال قتل ابن ملجم عليا وقتل أبو لؤلؤة عمر فان ذلك ثبت متواترا كما في الاحياء.


Keputusan Bahtsul Masail PWNU Jawa Timur
Komisi Maudhu’iyah di Pesantren Al-Falah Geger Madiun
06-07 Jumadil Awal 1440 H/12-13 Januari 2019 M

Mushahhih

  1. KH. Arsyad Bushoiri
  2. KH. Romadlon Khotib, M.H.I.
  3. KH. Azizi Hasbulloh

Perumus

  1. K. Ahmad Fauzi Hamzah Syam
  2. K. Zahro Wardi
  3. K. Ahmad Muntaha AM, S.Pd.
  4. K. Suhairi
  5. K. Samsudin, S.Si.
  6. K. M Arifuddin, S.Pd.I, M.Pd.I
  7. K. Muhammad Hamim HR

Pembahasan
Fikih Kebencanaan Perspektif NU

  1. Pendahuluan, hlm 2
  2. Aspek Akidah dan Akhlak, hlm 7
  3. Aspek Ibadah, hlm 16
  4. Aspek Mu’amalah, hlm 41

Download File Keputusan Bahtsul Masail

Baca Juga: Kumpulan Hasil Bahtsul Masail

Ilustrasi: Freepik