Artikel Seri : Fikih Kebencanaan Perspektif NU
Adab-Adab Utama Saat Bencana
Bencana alam gempa, banjir, angin topan, dan semisalnya, datang secara tiba-tiba. Tentu hal ini membuat panik orang yang mengalaminya. Yang terpikir hanya menyelamatkan diri dan keluarga bagaimana pun caranya.
Meskipun demikian, sebagai seorang Muslim dalam kondisi apapun tentu hendaknya tetap dapat mengambil sikap terbaik dan penuh adab islami. Demikian pula dalam kondisi bencana yang datang mendadak. Lalu apakah adab-adab utama saat terjadi bencana menurut Islam? Berikut ini diantara adab-adab utama saat bencana melanda:
1. Menyelamatkan diri
Saat terjadi bencana, hukum menyelamatkan diri menurut imam Ghazali terperinci sebagai berikut:
- Jika diduga atau diyakini tidak akan selamat ketika bertahan di tempat bencana maka wajib hukumnya menyelamatkan diri
- Jika hanya sebatas praduga dirinya tidak akan selamat, maka tidak ada kewajiban baginya untuk menyelamatkan diri.[1]
Sebelumnya: Fikih Kebencanaan Perspektif NU (bag-2)
Sebagaimana wajib menyelamatkan dirinya, wajib juga menyelamatkan orang lain, bahkan orang yang dalam kondisi melaksanakan shalat fardhu pun boleh untuk membatalkan shalatnya demi menyelamatkan orang lain dari ancaman bencana. Dalam konteks ini terdapat riwayat:
إِذَا رَجُلٌ يُصَلِّي وَإِذَا لِجَامُ دَابَّتِهِ بِيَدِهِ فَجَعَلَتْ الدَّابَّةُ تُنَازِعُهُ وَجَعَلَ يَتْبَعُهَا … (رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ)
Artinya, “Seketika itu ada seseorang (Sahabat Abu Barzah al-Aslami Ra) yang sedang shalat dan tali kendali hewan tunggangannya (dipengang) di tangannya, lalu tiba-tiba hewan itu menyeretnya dan ia pun mengikutinya … (Riwayat al-Bukhari)
Dari hadits inilah kemudian para ulama memahami bahwa untuk menjaga keselamatan segala hal yang dikhawatirkan rusak, baik benda maupun lainnya maka seseorang boleh memutus atau membatalkan shalat. (Ahmad bin Ali bin Hajar al-‘Asqallani, Fath al-Bari Syarh Shahih al-Bukhari, [Bairut: Dar al-Ma’rifah, 1379 H], juz III, halaman 82).
Menurut Syaikh Izzuddin Ibn Abdissalam (577-660 H/1181-1262 M) pakar fiqih Syafi’i asal Damaskus, upaya penyelamatan jiwa harus diprioritaskan daripada pelaksanaan shalat, sebab menyelamatkan jiwa lebih utama daripada shalat dan sebenarnya keduanya dapat tercapai dengan menyelamatkan jiwa terlebih dahulu kemudian baru melakukan shalat meskipun qadha. Sebab tidak diragukan lagi bahwa kemaslahatan shalat tepat waktu tidak lebih unggul, bahkan tidak bisa dianggap selevel dengan kemaslahatan penyelamatan jiwa seseorang.[2] (Lihat ‘Izzuddin Abdul Aziz bin Abdissalam, Qawaid al-Ahkam fi Mashalih al-Anam, [Beirut, Darul Ma’arif: tanpa catatan tahun], juz I, halaman 57).
2. Bersabar
Musibah apapun yang terjadi adalah kehendak Allah, maka hendaknya manusia menerimanya dengan ikhlas dan sabar. Bila seseorang bersabar, derajatnya akan dinaikan oleh Allah Swt, namun jika sebaliknya maka murka Allah yang didapat. Nabi bersabda:
إِنَّ عِظَمَ الْجَزَاءِ مَعَ عِظَمِ الْبَلَاءِ وَإِنَّ الله إِذَا أَحَبَّ قَوْمًا ابْتَلَاهُمْ فَمَنْ رَضِيَ فَلَهُ الرِّضَا وَمَنْ سَخِطَ فَلَهُ السَّخَطُ
“Sesungguhnya besarnya balasan sesuai dengan besarnya ujian, Sesungguhnya ketika Allah mencintai suatu kaum, Allah akan mengujinya. Barang siapa yang menerimanya dengan kerelaan maka ia akan mendapatkan ridha Allah, dan barang siapa yang membencinya maka ia akan mendapatkan murka Allah” (HR. at-Tirmidzi).
3. Berdzikir Istirja’
Salah satu yang diajarkan Allah dan RasulNya saat terkena bencana adalah dengan membaca kalimat istirja’ atau ucapan:
إِنَّا لِلهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُوْنَ
“ Sesungguhnya kami adalah milik Allah dan kepada-Nya-lah kami kembali.”
Allah menegaskan bahwa orang yang bersabar dan membaca istirja’ saat terkena musibah adalah orang-orang yang beruntung, sebagaimana ditegaskan dalam firmanNya:
وَبَشِّرِ الصَّابِرِينَ * الَّذِينَ إِذَا أَصَابَتْهُم مُّصِيبَةٌ قَالُواْ إِنَّا لِلّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعونَ
“Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar, (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan: “Inna lillaahi wa innaa ilaihi raaji’uun”. (QS. Al-Baqarah, 155-156).
مَا مِنْ مُسْلِمٍ تُصِيبُهُ مُصِيبَةٌ فَيَقُولُ مَا أَمَرَهُ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ إِنَّا لِلهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ، اللَّهُمَّ آجِرْنِى فِى مُصِيبَتِى وَأَخْلِفْ لِى خَيْرًا مِنْهَا إِلاَّ أَخْلَفَ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ لَهُ خَيْرًا مِنْهَا
“Tidaklah seorang muslim tertimpa musibah kemudian ia membaca dzikir yang diperintahkan Allah, Inna Lillahi wa Inna Ilaihi raji’un, ya Allah berilah pahala kepadaku di dalam musibahku dan gantilah untuku yang lebih baik darinya, kecuali Allah mengganti untuknya perkara yang lebih baik dari musibah itu”. (HR. al-Baihaqi).
4. Merendahkan diri kepada Allah dengan berdoa
Hendaknya berdoa untuk keselamatan dan kebaikan sesuai dengan bencana yang terjadi, berdasarkan hadits:
كَانَ النَّبِىُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا عَصَفَتِ الرِّيحُ قَالَ:اَللهم إِنِّى أَسْأَلُكَ خَيْرَهَا وَخَيْرَ مَا فِيهَا وَخَيْرَ مَا أُرْسِلَتْ بِهِ وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ شَرِّهَا وَشَرِّ مَا فِيهَا وَشَرِّ مَا أُرْسِلَتْ بِهِ.
“Nabi Saw ketika ada angin bertiup sangat kencang beliau berdoa: ‘Ya Allah, sungguh aku memohon kepadamu kebaikan angin, kebaikan apa yang ada di dalamnya dan kebaikan apa yang dikirimkan dengannya; dan aku berlindung kepada-Mu dari keburukannya, dari keburukan apa yang ada di dalamnya dan keburukan apa yang dikirimkan dengannya,” (HR Muslim).
5. Melakukan shalat sunnah
Bila memungkinkan, hendaknya melakukan shalat sunah mutlak dua rakaat secara sendirian, sebagaimana ditegaskan oleh Syekh Ibn al-Muqri (755-837 H/1354-1433 M) pakar fiqih Syafi’i asal Yaman yang dikutip oleh Syekh Nawawi Al-Bantani:
يُسَنُّ لِكُلِّ أَحَدٍ أَنْ يَتَضَرَّعَ بِالدُّعَاءِ وَنَحْوِهِ عِنْدَ الزَّلَازِلِ وَنَحْوِهَا كَالصَّوَاعِقِ وَالرِّيحِ الشَّدِيدِ وَالْخُسُفِ، وَأَنْ يُصَلِّيَ فِي بَيْتِهِ مُنْفَرِدًا كَمَا قَالَهُ ابْنُ الْمُقْرِي لِئَلَّا يَكُونَ غَافِلًا، لِأَنَّهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا عَصَفَتِ الرِّيحُ قَالَ:اَللهم إِنِّي أَسْأَلُكَ خَيْرَهَا
“Disunnahkan bagi setiap orang untuk mendekatkan diri kepada Allah dengan berdoa dan semisalnya, ketika terjadi gempa bumi dan semisalnya, seperti petir dan angin yang dahsyat dan gerhana; dan disunnahkan juga untuk shalat (sunnah) di rumahnya secara sendirian sebagaimana dikatakan oleh Ibnul Muqri, agar tidak lalai, berdasarkan hadits bahwa Nabi SAW ketika ada angin bertiup sangat kencang ia berdoa, ‘Ya Allah, sungguh aku memohon kepadamu kebaikan angin…’”[3]
6. Bencana Alam untuk introspeksi diri, bukan menjustifikasi kesalahan orang lain
Ada banyak anggapan bahwa bencana alam diakibatkan oleh perilaku orang lain. Mereka mengaitkan bencana misalkan karena rezim pemerintahan yang zhalim. Mereka menganggap bahwa bencana alam merupakan azab atas perlakuan penguasa yang zhalim. Betulkah anggapan demikian?
Perlu diluruskan di sini bahwa tidak setiap bencana merupakan bentuk azab, bahkan bisa jadi merupakan cobaan bagi orang mukmin untuk meninggikan derajatnya. Syekh Abdul Qadir al-Jilani mengatakan:
وَاعْلَمُوْا أَنَّ الْبَلِيَّةَ لَمْ تَأْتِ الْمُؤْمِنَ لِتُهْلِكَهُ وَإِنَّمَا أَتَتْهُ لِتَخْتَبِرَهُ
“Ketahuilah bahwa cobaan tidak datang kepada seorang mukmin untuk merusaknya, namun datang untuk menguji keimanananya.”[4]
Menurut pemilik julukan sulthânul auliyâ’ (pemimpin para wali) itu, mukmin diberi musibah oleh Allah, agar diuji sebatas mana tingkat keimanannya. Apakah ia semakin jauh dari Tuhan, apakah semakin dekat. Banyak kita jumpai, orang yang terkena bencana, ia frustasi, pesimis, bahkan cenderung menyalahkan Tuhan.
Bagi kaum beriman, bencana yang melanda negara kita, hendaknya menjadi bahan introspeksi diri akan kesalahan-kesalahan kita. Mungkin, kita masih banyak melakukan kemaksiatan. Mungkin kita masih sering menyakiti orang lain, masih sering melalaikan kewajiban-kewajiban. Sebagaimana disabdakan oleh Sayyidina Umar bin Khattab:
حَاسِبُوْا أَنْفُسَكُمْ قَبْلَ أَنْ تُحَاسَبُوْا، وَزِنُوْهَا قَبْلَ أَنْ تُوْزَنُوْا
“Introspeksilah diri kalian sebelum amal kalian diteliti, timbanglah diri kalian sebelum kalian ditimbang.”
Fenomena bencana alam bukan justru menjadi ajang untuk mengintrospeksi amal orang lain atau mencari-cari kesalahannya. Apalagi mengambing-hitamkan terjadinya bencana atas perbuatan atau kebijakan pihak tertentu. Sungguh hal tersebut bukan merupakan sikap yang ideal bagi seorang mukmin.
Saat penduduk daerahnya tertimpa bencana, seorang tokoh sufi, Syekh Atha’ al-Salami sibuk berinstrospeksi atas kesalahannya sendiri, bukan justru mencari-cari kesalahan orang lain. Informasi ini sebagaimana ditegaskan oleh Syekh Abdul Wahhab al-Sya’rani berikut ini:
وَكَانَ إِذَا أَصَابَ أَهْلَ بَلَدِهِ بَلَاءٌ يَقُوْلُ هَذَا بِذُنُوْبِ عَطَاءٍ لَوْ أَنَّهُ خَرَجَ مِنْ بِلَادِهِمْ لَمَا نَزَلَ عَلَيْهِمْ بَلَاءٌ
“Syekh Atha’ al-Salami saat penduduk daerahnya tertimpa cobaan, beliau berkata, ini disebabkan dosanya Atha’, andai ia keluar dari tempat mereka, niscaya cobaan tidak menimpa mereka”.[5]
Sikap Syaikh Atha’ al-Salami di atas sesuai dengan wasiat Nabi Isa untuk tidak melihat dosa-dosa orang lain, tetapi melihat dosa diri sendiri, dan menunjukkan kasih sayang kepada korban bencana bukan justru menuduhnya penyebab musibah.
وَلَا تَنْظُرُوا إِلَى ذُنُوبِ النَّاسِ كَأَنَّكُمْ أَرْبَابٌ وَلَكِنَّكُمُ انْظُرُوا فِي ذُنُوبِكُمْ كَأَنَّكُمْ عَبِيدٌ،وَالنَّاسُ رَجُلَانِ : مُعَافًى وَمُبْتَلًى،فَارْحَمُوا أَهْلَ الْبَلَاءِ فِي بَلِيَّتِهِمْ،وَاحْمَدُوا اللَّهَ عَلَى الْعَافِيَةِ “.
“Jangan memandang dosa-dosa orang lain seakan engkau adalah tuhan, lihatlah dosa-dosamu sendiri seakan engkau seorang hamba. Manusia ada yang diberi kesehatan dan ada yang diberi cobaan, tunjukkanlah kasih sayang kepada mereka yang sedang terkena cobaan dan bersyukurlah kepada Allah atas kesehatan.”[6]
Maka, sebagai orang yang beriman, hendaknya kita memahami bahwa bencana tersebut sesungguhnya mengajarkan kepada kita untuk berintrospeksi diri menjadi pribadi yang lebih berkualitas lagi, lebih dewasa menghadapi perbedaan-perbedaan, bukan justru sebaliknya.
Sikap demikian, bukan berarti melemahkan semangat Amar Ma’ruf Nahi Munkar jika terdapat kemaksiatan sesuai dengan prosedur yang dilegalkan, dengan tetap menunjukkan pandangan kasih sayang terhadap pelaku kemaksiatan.[7]
وَكَانَ أَبُوْ عَبْدِ اللهِ الْمَازَنِيْ يَقُوْلُ مَنْ لَمْ يَنْظُرْ لِلْعُصَّاةِ بِعَيْنِ الرَّحْمَةِ فَقَدْ خَرَجَ عَنْ طَرِيْقِ الْحَقِّ وَقَدْ كَانَ مَعْرُوْفُ الْكَرْخِيْ رَحِمَهُ اللهُ إِذَا رَأَى عَاصِيًا دَعَا لَهُ بِالْمَغْفِرَةِ وَرَجَا لَهُ الرَّحْمَةَ وَكَانَ الْحَسَنُ الْبَصْرِيْ يَقُوْلُ مِنْ عَلَامَاتِ الْأَبْدَالِ كَثْرَةُ الشَّفَقَةِ وَالرَّحْمَةِ لِعَامَةِ الْمُسْلِمِيْنَ وَكَانَ مَعْرُوْفُ الْكَرْخِيْ يَقُوْلُ مَنْ قَالَ كُلَّ يَوْمٍ اللهم اِرْحَمْ أُمَّةَ مُحَمَّدٍ اللهم أَصْلِحْ أُمَّةَ مُحَمَّدٍ اللهم فَرِّجْ عَنْ أُمَّةِ مُحَمَّدٍ كَتَبَهُ اللهُ مِنَ الْأَبْدَالِ.[8]
“Syekh Abdulloh al-Mazani berkata; “Barang siapa yang tidak mampu melihat para pelaku dosa dengan pandangan kasih sayang, maka orang tersebut menyimpang dari jalan yang benar”. Syekh Makruf al-Karkhi ra ketika melihat orang yang melakukan maksiat, beliau mendoakan, dan mengharapkan agar ia mendapatkan kasih sayang. Imam Hasan Bashri berkata; “Diantara tanda-tanda wali abdal adalah memiliki karakter penyayang pada umat Islam”. Syekh Makruf al-Karkhi berkata; “Barang siapa berdoa setiap hari “Ya Allah swt, Kasihilah ummat Nabi Muhammad saw, Ya Allah saw, baguskanlah ummat Nabi Muhammad saw, Ya Allah swt, permudahlah ummatnya Nabi saw, maka Allah akan mencatatnya sebagai wali abdal”.
7. Bertaubat
Taubat merupakan kewajiban bagi setiap orang muslim yang pernah melakukan dosa.
تَجِبُ التَّوْبَةُ مِنَ الذُّنُوْبِ فَوْرًا عَلَى كُلِّ مُكَلَّفٍ وَهِيَ النَّدْمُ وَاْلإِقْلاَعُ وَالْعَزْمُ عَلَى أَنْ لاَ يَعُوْدَ إِلَيْهَا وَاْلإِسْتِغْفَارُ وَإِنْ كَانَ الذَّنْبُ تَرْكَ فَرْضٍ قَضَاهُ أَوْ تَبِعَةً لِآدَمِيٍّ قَضَاهُ وَاسْتَرْضَاهُ
“Bagi setiap mukallaf wajib segera bertaubat dari dosa-dosa yang dilakukan. Taubat adalah menyesali perbuatan dosa-dosanya, melepaskan diri, berniat tidak akan mengulangi lagi, dan memohon ampunan. Jika dosa yang dilakukan adalah meninggalkan kewajiban, maka harus menqadha`nya. Jika berhubungan dengan hak sesama manusia, harus melunasi dan memohon ridhanya”
Dalam kondisi bencana taubat bisa mengilangkan dan mengangkat musibah yang diturunkan Allah kepada hambanya. Sebagaimana doa Sayyidina Abbas ketika terjadi musibah:[9]
اللهم إنه لم ينزل بلاء من السماء إلا بذنب ولم يكشف إلا بتوبة
8. Anjuran Membantu Korban Terdampak Bencana Alam
Ketika bencana terjadi dan meninggalkan kerusakan, seperti yang melanda di sebagian tanah air kita, sebagai seorang manusia sudah sepantasnya kita ikut merasakan iba terhadap mereka. Sebuah perasaan iba tidak cukup untuk disimpan, tapi butuh untuk diungkapkan dengan tindakan nyata yang kita mampu. Dalam hal ini Allah Swt. Telah memerintahkan kita untuk saling membantu dalam firmannya:
وَتَعاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوى وَلا تَعاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوانِ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللهَ شَدِيدُ الْعِقابِ
“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya” [Q.S. al-Māidah (5) : 2].
Diriwayatkan dalam kitab Shahih al-Bukhari hadist nomor: 2442 halaman 128 juz: 3 cetakan: dar Thuq an-Najah:
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: المُسْلِمُ أَخُو المُسْلِمِ لاَ يَظْلِمُهُ وَلاَ يُسْلِمُهُ، وَمَنْ كَانَ فِي حَاجَةِ أَخِيهِ كَانَ اللَّهُ فِي حَاجَتِهِ، وَمَنْ فَرَّجَ عَنْ مُسْلِمٍ كُرْبَةً، فَرَّجَ اللَّهُ عَنْهُ كُرْبَةً مِنْ كُرُبَاتِ يَوْمِ القِيَامَةِ، وَمَنْ سَتَرَ مُسْلِمًا سَتَرَهُ اللَّهُ يَوْمَ القِيَامَةِ
Rosulallah Saw. Bersabda: “Seorang muslim adalah saudara bagi muslim yang lainnya. Janganlah menzhaliminya dan jangan membiarkannya (tidak membela dan menolongnya). Dan barangsiapa yang membantu kebutuhan saudaranya, maka Allah akan membantunya. Dan barangsiapa yang memberikan jalan keluar untuk kesulitan saudaranya, maka Allah akan memberikan jalan keluar bagi kesulitan-kesulitannya pada hari kiamat. Dan barangsiapa yang menutupi aib seorang muslim, maka Allah akan tutupi aibnya pada hari kiamat” (HR. al-Bukhari).
Berkaitan tentang menjaga kelangsungan hidup, dalam firmanNya, Allah menegaskan:
وَمَنْ أَحْياها فَكَأَنَّما أَحْيَا النَّاسَ جَمِيعاً
“Dan barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya.” [Q.S. al-Māidah (5): 32].
Imam Fahruddin Ar-Razy menjelaskan ayat tersebut dalam kitab tafsirnya halaman: 344 juz: 11 cetakan Dar Ihya` at-Turots al-Aroby:
اَلْمُرَادُ مِنْ إِحْيَاءِ النَّفْسِ تَخْلِيْصُهَا عَنِ الْمُهْلِكَاتِ مِثْلُ الْحَرْقِ وَالْغَرْقِ وَالْجُوْعِ الْمُفْرِطِ وَالْبَرَدِ وَالْحَرِّ الْمُفْرِطَيْنِ
Yang dimaksud dari menjaga kelangsungan hidup manusia adalah menyelamatkan dari marabahaya, seperti kebakaran, tenggelam, kelaparan, kedinginan dan kepanasan.
Melihat kenyataan yang ada, ada korban bencana yang terjebak dan masih mungkin untuk diselamatkan, korban yang kehilangan tempat berteduh dan tidak tersedinya makanan di tempat bencana, maka sebagai orang yang beriman sudah seharusnya kita membantu mereka. Apalagi kita sudah mengetahui pahala yang begitu besar yang telah dijanjikan Allah Swt.
Dalam hal memberi bantuan, kita sebaiknya mendahulukan orang lain walaupun kita juga membutuhkannya. Allah Swt. memuji kaum Anshar dalam firmanNya:
وَيُؤْثِرُونَ عَلَى أَنْفُسِهِمْ وَلَوْ كَانَ بِهِمْ خَصَاصَةٌ
Mereka (anshor) mendahulukan orang-orang muhajirin atas diri mereka sendiri, walaupun mereka dalam kesusahan (QS: al-Hasyr: 9)
Selain bantuan berupa materi, agama Islam juga memerintahkan untuk memberi bantuan moral terhadap orang yang terkena musibah. Bantuan moral ini terealisasi dengan memberi motifasi terhadap kurban untuk bersabar dan kuat dalam menjalani kenyataan yang ada. Syeh Abu Sa’id al-Khodimy al-Hanafy menuturkan pada penjelasan haknya tetangga dalam kitab al Bariqah al-Mahmudiyah halaman: 162 juz: 4 cetakan al-Halaby:
«وَإِذَا أَصَابَتْهُ مُصِيْبَةٌ عَزَّيْتَهُ» حَمَلْتَهُ عَلَى الصَّبْرِ وَدَعَوْتَ لَهُ بِالْخَيْرِ
Ketika tetangga terkena musibah maka berta’ziyah padanya, yakni dengan memotifasi untuk bersabar dan memdo’akannya kebaikan
Selain itu, dianjurkan pula untuk memberikan dukungan moral terhadap keluarga korban yang meninggal dunia dengan cara bertakziah. Tujuan dari takziah adalah untuk menghibur keluarga korban agar bebannya menerima musibah menjadi ringan.
Syekh Muhammad bin Muhammad al-Manbaji al-Hanbali (wafat 785 H) menegaskan:
وَالْمَقْصُوْدُ مِنَ التَّعْزِيَّةِ تَسْلِيَّةُ أَهْلِ الْمُصِيْبَةِ، وَقَضَاءُ حُقُوْقِهِمْ، وَالتَّقَرُّبُ إِلَيْهِمْ بِقَضَائِهَا قُبَيْلَ الدَّفْنِ وَبَعْدَهُ، لِشُغْلِهِمْ بِمَصَائِبِهِمْ.
Tujuan dari
te’ziyah adalah menghibur orang yang terkena musibah, memenuhi hak-haknya orang
yang terkena musibah dan kita mendekati mereka untuk memenuhi hak-hak mereka,
pada waktu sebelum dan sesudah dikubur, karena mereka tersibukan dengan musibah
mereka. [10]
Dan yang perlu ditegaskan,
menolong korban bencana tidak boleh melihat latar belakang agamanya, siapapun yang
terkena bencana harus ditolong tanpa membeda-bedakan agama.[11] Bahkan nabi Ibrahim mendapat teguran Allah saat beliau
menolak memberi makan non muslim yang kelaparan, hanya karena non muslim
tersebut tidak beriman.[12]
[1]إحياء علوم الدين ومعه تخريج الحافظ العراقي الجزء السادس صـ 300
الفن الثالث في مباشرة الأسباب الدافعة للضرر المعرض للخوف أعلم أن الضرر قد يعرض للخوف في نفس أو مال وليس من شروط التوكل ترك الأسباب الدافعة رأسا أما في النفس فكالنوم في الأرض المسبعة أو في مجاري السيل من الوادى أو تحت الجدار المائل والسقف المنكسر فكل ذلك منهى عنه وصاحبه قد عرض نفسه للهلاك بغير فائدة نعم تنقسم هذه الأسباب إلى مقطوع بها ومظنونة وإلى موهومة فترك الموهوم منها من شرط التوكل وهى التى نسبتها إلى دفع الضرر نسبة الكى والرقية فإن الكى والرقية قد تقدم به على المحذور دفعا لما يتوقع وقد يستعمل بعد نزول المحذور للإزالة إلى أن قال وقد بينا أن المظنون كالمقطوع وإنما الموهوم هو الذي يقتضى التوكل تركه
إعانة الطالبين 3/ 335
(قوله لأن النفس الخ ) علة لعدم المكافأة المذكورة أي لا يكافىء السليمة من العيوب من لم يسلم منها لأن النفس الخ وقول تعاف أي تكره صحبة من به ذلك أي المذكور من الجنون والجذام والبرص لأن الأول يؤدي إلى الجناية والأخيرين يعديان ففي الصحيحين فر من المجذوم فرارك من الأسد وهذا محمول على غير قوي اليقين الذي يعلم أنه لا يصيبه إلا ما قدر له وذلك الغير هو الذي يحصل في قلبه خوف حصول المرض فقد جرت العادة بأنه يحصل له المرض غالبا وحينئذ فلا ينافي ما صح في الحديث لا عدوى لأنه محمول على قوي اليقين الذي يعلم أنه لا يصيبه إلا ما قدر له فقد شوهد أنه لا يحصل له مرض ولا ضرر أو يقال المراد لا عدوى مؤثرة فلا ينافي أنه قد تحصل العدوى لكن بفعل الله تعالى فإن الحديث ورد ردا لما كان يعتقده أهل الجاهلية من نسبة الفعل لغير الله تعالى.
[2] ‘Izzuddin Abdul Aziz bin Abdissalam, Qawaid al-Ahkam fi Mashalih al-Anam, [Beirut, Darul Ma’arif: tanpa catatan tahun], juz I, halaman 57:
المثال الثامن: تقديم إنقاذ الغرقى المعصومين على أداء الصلوات، لأن إنقاذ الغرقى المعصومين عند الله أفضل من أداء الصلاة، والجمع بين المصلحتين ممكن بأن ينقذ الغريق ثم يقضي الصلاة، ومعلوم أن ما فاته من مصلحة أداء الصلاة لا يقارب إنقاذ نفس مسلمة من الهلاك. وكذلك لو رأى الصائم في رمضان غريقا لا يتمكن من إنقاذه إلا بالفطر، أو رأى مصولا عليه لا يمكن تخليصه إلا بالتقوي بالفطر، فإنه يفطر وينقذه، وهذا أيضا من باب الجمع بين المصالح، لأن في النفوس حقا لله عز وجل وحقا لصاحب النفس، فقدم ذلك على فوات أداء الصوم دون أصله.
[3] Muhammad bin Umar bin Ali bin Nawawi Al-Jawi, Nihayatuz Zain fi Irsyadil Mubtadi’in, [Beirut, Darul Fikr: tanpa catatan tahun], halaman 105.
[4] Sayyid Ja’far al-Barzanji, al-Lujaini ad-Dani fi Manaqibis Syaikh Abdil Qadir al-Jilani, t.t, Kediri, Maktabah Pondok Pesantren Tahfidh wal Qiraat Lirboyo, h. 136.
[5] Abdul Wahhab al-Sya’rani, Tanbih al-Mughtarrin, Kairo-Maktabah Taufiqiyyah,tt, hal.87.
[6] حلية الأولياء – أبو نعيم الأصبهاني جــ6 صـ 58 (دار الكتب العربي)
[7] بغية المسترشدين ص : 251
( مسئلة ح ) ونحوه ى الامر بالمعروف والنهى عن المنكر قطب الدين فمن قام به من اى المسلمين وجب على غيره اعانته ونصرته ولا يجوز لاحد التقاعد عن ذلك والتغافل عنه وان علم انه لا يفيده اهـ
[8] مرقاة صعود التصديق في شرح سلم التوفيق صـ 60
[9] إحياء علوم الدين (1/ 308): ويروى أن عمر بن الخطاب رضي الله عنه استسقى بالعباس رضي الله عنه فلما فرغ عمر من دعائه قال العباس اللهم إنه لم ينزل بلاء من السماء إلا بذنب ولم يكشف إلا بتوبة
[10] Syekh Muhammad bin Muhammad al-Manbaji al-Hanbali, Tasliyatu ahl al-Mashaib, hal.9
[11] فتح المعين 4/ 182:
(ودفع ضرر معصوم ) من مسلم وذمي ومستأمن جائع لم يصل لحالة الإضطرار أو عار أو نحوهما والمخاطب به كل موسر بما زاد على كفاية سنة له ولممونة عند احتلال بيت المال وعدم وفاء زكاة
[12] إحياء علوم الدين (4/ 153): وقيل إن مجوسيا استضاف إبراهيم الخليل عليه الصلاة والسلام فقال إن أسلمت أضفتك فمر المجوسي فأوحى الله تعالى إليه يا إبراهيم لم تطعمه إلا بتغيير دينه ونحن من سبعين سنة نطعمه على كفره فلو أضفته ليلة ماذا كان عليك فمر إبراهيم يسعى خلف المجوسي فرده وأضافه فقال له المجوسي ما السبب فيما بدا لك فذكر له فقال له المجوسي أهكذا يعاملني ثم قال أعرض على الإسلام فأسلم
Keputusan Bahtsul Masail PWNU Jawa Timur
Komisi Maudhu’iyah di Pesantren Al-Falah Geger Madiun
06-07 Jumadil Awal 1440 H/12-13 Januari 2019 M
Mushahhih
- KH. Arsyad Bushoiri
- KH. Romadlon Khotib, M.H.I.
- KH. Azizi Hasbulloh
Perumus
- K. Ahmad Fauzi Hamzah Syam
- K. Zahro Wardi
- K. Ahmad Muntaha AM, S.Pd.
- K. Suhairi
- K. Samsudin, S.Si.
- K. M Arifuddin, S.Pd.I, M.Pd.I
- K. Muhammad Hamim HR
Pembahasan
Fikih Kebencanaan Perspektif NU
- Pendahuluan, hlm 2
- Aspek Akidah dan Akhlak, hlm 7
- Aspek Ibadah, hlm 16
- Aspek Mu’amalah, hlm 41
Download File Keputusan Bahtsul Masail
Baca Juga: Kumpulan Hasil Bahtsul Masail
Ilustrasi: People photo created by jcomp – www.freepik.com