Di dalam Mazhab Syafi’i, anak perempuan yang dilahirkan oleh masa lalu yang kelam di luar nikah, tidak bernasab pada ayah biologisnya. Sehingga jika anak perempuan itu mau menikah, ayah biologisnya tersebut tidak sah menjadi wali nikahnya. Yang berhak menjadi wali nikahnya hanyalah hakim atau KUA.
Lantas, bagaimana dengan sebagian orang yang dengan alasan seperti menjaga kehormatan keluarga, menjaga perasaan ayah biologisnya, dan alasan-alasan lain, kemudian menikahkan anak perempuan itu dengan berwalikan ayah biologisnya?
Lagipula, pada umumnya, di daerah-daerah yang terjadi hal demikian itu, akan timbul fitnah jika wali nikahnya bukan ayah biologisnya.
Seperti yang dijelaskan di awal, para ulama Mazhab Syafi’i sepakat bahwa anak perempuan yang lahir dari persetubuhan di luar nikah yang sah, maka nasabnya dianggap tidak bersambung kepada ayah biologisnya.
Hal ini menurunkan klausul baru, yang menyatakan bahwa sah bagi ayah biologis untuk menikahi anak perempuan hasil persetubuhannya di luar nikah. Sah dengan catatan makruh.
Sebab, anak perempuan biologisnya ini secara hukum dinyatakan sebagai ajnabiy—perempuan yang tidak ada ikatan mahram dengannya.
Namun hal ini berbeda dengan pernyataan dari ulama Mazhab Maliki. Menurut pendapat yang masyhur di dalam Mazhab Maliki, justru sebaliknya. Mereka menganggap nasab anak itu nyambung kepada ayah biologisnya.
Maka menurut Mazhab Maliki, ayah biologis anak perempuan itu tidak sah menikahinya. Sebab anak itu adalah dianggap sebagai anaknya—sekurang-kurangnya dianggap seperti anaknya.
Bahkan di dalam Mazhab Maliki, seseorang, entah laki-laki ataupun perempuan, yang menjadi kafil—orang yang merawat dan mendidik anak perempuan sejak kecil meskipun bukan anak aslinya—adalah wali nikahnya, jika tidak ada ayah aslinya. Hanya saja, jika si kafil-nya itu perempuan, meskipun ia bisa jadi wali nikahnya anak perempuan yang ia rawat sejak kecili itu, ia tidak sah menikahkan anak itu sendiri. Ia harus mewakilkan hak walinya kepada orang laki-laki terlebih dahulu. Laki-laki yang mendapat taukil inilah nanti yang bisa menikahkan.
Terkait perwalian dari seorang kafil ini, ulama Mazhab Maliki hanya belum sepakat pada berapa lama durasi merawat dan mendidik seorang anak hingga bisa dianggap sebagai kafil yang berhak menjadi wali nikah.
Teori wali nikah yang ditawarkan Mazhab Maliki ini semestinya bisa menjadi solusi dari permasalahan wali nikah anak yang dihasilkan dari hubungan di luar nikah.
Akan tetapi kita sudah telanjur terdoktrin akan haramnya menyebarluaskan pendapat yang tidak dikenal di tengah-tengah masyarakat, khawatir menimbulkan fitnah dan sebagainya. Kita terkesan takut bahkan tidak mau menawarkan beberapa pendapat sebagai solusi, meskipun pendapat itu bahkan pendapat yang kuat di dalam mazhab lain.
Padahal, jika kita berpikir lebih jauh dan panjang, fitnah yang dikhawatirkan itu bisa saja hilang jika pendapat alternatif ini sudah maklum dan berlaku di tengah-tengah masyarakat. Kita hanya tinggal meninjau ulang lagi terkait persoalan wali nikah di dalam Mazhab Maliki sebelum benar-benar diberlakukan di tengah-tengah masyarakat.
Tulisan ini hanya berusaha untuk menunjukkan betapa luasnya ilmu fikih yang bisa kita pelajari, dan betapa fikih mampu memberikan solusi atas permasalahan apapun. Serumit apapun.
Referensi
محمد بن عبد الله الخرشي، شرح مختصر خليل للخرشي، ٢٠٧/٣
(ص) ، وَلَوْ خُلِقَتْ مِنْ مَائِهِ (ش) يَعْنِي أَنَّ الرَّجُلَ إذَا زَنَى بِامْرَأَةٍ فَحَمَلَتْ مِنْهُ بِابْنَةٍ فَإِنَّهَا تَحْرُمُ عَلَيْهِ كَمَا يَحْرُمُ عَلَيْهِ مِنْ بَنَاتِهِمَنْ ثَبَتَ نَسَبُهَا مِنْهُ؛ لِأَنَّ الْجَمِيعَ خُلِقْنَ مِنْ مَائِهِ فَهِيَ بِنْتٌ أَوْ كَالْبِنْتِ عَلَى الْمَشْهُورِ فَتَحْرُمُ عَلَيْهِ وَعَلَى أُصُولِهِ وَفُرُوعِهِ لَا رَبِيبَةٌوَمِثْلُ الْبِنْتِ الِابْنُ الْمَخْلُوقُ مِنْ مَائِهِ فَيَحْرُمُ عَلَى صَاحِبِ الْمَاءِ تَزَوُّجُ بِنْتِهِ.
محمد بن عبد الله الخرشي ,شرح مختصر خليل للخرشي ,3/181
(ص) فَكَافِلٌ وَهَلْ إنْ كَفَلَ عَشْرًا أَوْ أَرْبَعًا أَوْ مَا يُشْفِقُ تَرَدُّدٌ (ش) يَعْنِي أَنَّ الْكَافِلَ الذَّكَرَ إذَا كَفَلَ صَبِيَّةً وَرَبَّاهَا إلَى أَنْبَلَغَتْ عِنْدَهُ فَلَهُ تَزْوِيجُهَا بِرِضَاهَا وَالْمُرَادُ بِالْمَكْفُولَةِ هُنَا مَنْ مَاتَ أَبُوهَا أَوْ غَابَ أَهْلُهَا وَاخْتَلَفَ الْأَشْيَاخُ فِي حَدِّ زَمَنِ الْكَفَالَةِالَّتِي يَكُونُ لِلْكَافِلِ الْوِلَايَةُ بِهَا عَلَى الصَّبِيَّةِ فَقَالَ بَعْضُ الْمُوَثِّقِينَ عَشَرَةُ أَعْوَامٍ وَقَالَ أَبُو مُحَمَّدٍ صَالِحٌ أَرْبَعَةُ أَعْوَامٍ وَذَلِكَ أَقَلُّالْكَفَالَةِ وَقَالَ أَبُو الْحَسَنِ لَا حَدَّ لَهَا وَإِنَّمَا الْمَقْصُودُ مِنْهَا إظْهَارُ الشَّفَقَةِ وَالْحَنَانِ عَلَى الصَّبِيَّةِ وَأَنَّ ذَلِكَ يُورِثُ لَهُ عَقْدَنِكَاحِهَا، وَلَوْ مَاتَ زَوْجُ الْمَكْفُولَةِ أَوْ طَلَّقَ فَهَلْ تَعُودُ وِلَايَةُ الْكَافِلِ ثَالِثُهَا إنْ كَانَ فَاضِلًا وَرَابِعُهَا إنْ عَادَتْ لِكَفَالَتِهِ وَالْمُرَادُبِالْكَافِلِ الْقَائِمُ بِأُمُورِهَا، وَلَوْ أَجْنَبِيًّا لَا مَنْ يَسْتَحِقُّ الْحَضَانَةَ شَرْعًا وَإِتْيَانُ الْمُؤَلِّفِ بِالْوَصْفِ مُذَكَّرًا مُشْعِرٌ بِإِخْرَاجِ الْكَافِلَةِفَلَا وِلَايَةَ لَهَا وَهُوَ الْمَذْهَبُ (ص) وَظَاهِرُهَا شَرْطُ الدَّنَاءَةِ (ش) قَدْ عَلِمْت أَنَّ ظَاهِرَ الْمُدَوَّنَةِ كَالنَّصِّ فِي أَنَّ وِلَايَةَ الْكَافِلِ فِينِكَاحِ مَكْفُولَتِه مَقْصُورَةٌ عَلَى الدَّنِيئَةِ دُونَ الشَّرِيفَةِ الَّتِي لَهَا قَدْرٌ.
الرعيني، الحطاب ,مواهب الجليل في شرح مختصر خليل ,2/479
(الْخَامِسُ) يَشْمَلُ قَوْلُ الْمُصَنِّفِ: وَلِيُّ الْأَبَ وَالْوَصِيَّ مِنْ قِبَلِهِ أَوْ قِبَلِ الْقَاضِي وَيَتَنَزَّلُ مَنْزِلَةَ الْوَلِيِّ كُلُّ مَنْ كَانَ الصَّبِيُّ فِيكَفَالَتِهِ وَلَوْ بِغَيْرِ وَصِيَّةٍ مِنْ قَرِيبٍ أَوْ غَيْرِهِ قَالَهُ فِي الطِّرَازِ.
عبد الرحمن الجزيري، الفقه على المذاهب الأربعة، ٥٣/٤
ولكن المالكية قالوا: تتصف المرأة بالولاية إذا كانت وصية أو مالكة أو معتقة. وهناك قول في أن الكافلة تكون ولية أيضاًولكنها لا تباشر العقد، بل توكل عنها رجلاً يباشره.
وهبة الزحيلي، الفقه الإسلامي وأدلته للزحيلي، ٦٦٩٥/٩
والولي المجبر عندهم أحد ثلاثة: مالك الأمة أو العبد، فالأب، فوصي الأب عند عدم الأب. والولي غير المجبر: يشملالعصبة، ثم المولى (من أعتق المرأة ثم عصبته) ثم الكافل، ثم الحاكم.