Memahami Empat Konsep Takdir dengan Sederhana

0
1578
doa setelah sholat dhuha

Salah satu rukun iman adalah mempercayai akan adanya takdir. Meyakini ketetapan qodho Allah Subhanahuwata’ala, baik ataupun buruknya. Dalam artian yakin bila segala sesuatu apapun itu yang terjadi di alam semesta ini sudah menjadi kehendak yang ditetapkan dan diketahui oleh Allah Subhanahuwata’ala.

Secara sederhana dan rinci, dalam kitab Syarah al-Arba’in an-Nawawiyyah takdir jika dijelaskan dengan detil memiliki empat pembagian. (Imam an-Nawawi, Syarah al-Arba’in an-Nawawiyyah, [Beirut, Darul Kutub Islamiyyah, 2014,] hal. 33.)

Pertama, taqdir fil ilmi. Allah Subhanahuwata’ala mengetahui segala apa yang terjadi, sekecil apapun, mengetahui saat alam semesta baru diciptakan dulu sekali, sekarang, bahkan kelak pada hari yang tiada berakhir. Allah Subhanahuwata’ala telah mengetahui semuanya. Ini juga disebut dengan qodho

“Pengetahuan” ini termasuk takdir yang tidak bisa diubah. Dan hanya Allah Subhanahuwata’ala saja yang mengetahui. 

Kedua, taqdir fi lauhil mahfudz. Takdir yang tertulis di lauhil mahfudz. Istilahnya ada suratan takdir yang tertera dengan jelas dan juga menjadi “panduan” bagi malaikat untuk menjalankan tugas mengelola alam semesta. Kapan harus mencabut nyawa, kapan harus menurunkan hujan, dan seterusnya. 

Semuanya, sekecil apapun kejadian di alam semesta yang menjadi takdir akan tertera di sebuah tempat luar biasa luas, bernama lauhil mahfudz. 

Lalu pernahkah kita mendengar bahwa takdir bisa diubah? Yah, semuanya yang tertera di lauhil mahfudz selama belum terlaksana akan mungkin untuk berubah. Allah Subhanahuwata’ala memiliki kuasa untuk menghapus takdir baik atau buruk yang tertera disitu selama belum terjadi. 

Misalnya ada yang berdoa, maka mungkin saja orang tersebut yang semestinya bernasib buruk, suratan takdirnya di lauhil mahfudz berubah menjadi baik. 

Dan segala takdir yang berubah di lauhil mahfudz ini juga sebenarnya sudah diketahui Allah Subhanahuwata’ala dalam taqdir fil ilmi atau qodho pada poin pertama. 

Sederhananya, Allah Subhanahuwata’ala memiliki sifat ilmu akan segala sesuatu yang terjadi di alam semesta. Tapi Allah Subhanahuwata’ala juga menulis suratan takdir di lauhil mahfudz. Dan takdir di lauhil mahfudz ini masih mungkin dirubah sebelum terjadi. 

يَمْحُو اللَّهُ مَا يَشَاءُ وَيُثْبِتُ وَعِنْدَهُ أُمُّ الْكِتَابِ – الرعد :39 

Allah menghapuskan apa yang Dia kehendaki dan menetapkan (apa yang Dia kehendaki), dan di sisi-Nya-lah terdapat Ummul-Kitab” (Arro’du : 39) 

Ummul kitab” disinilah yang tak akan pernah berubah. 

Ketiga, taqdir fi ar-rahmi. Kita tahu ada hadis yang menyebutkan di usia tertentu janin bayi (120 hari), malaikat akan meniupkan ruh dan menuliskan nasib serta takdirnya. Meliputi rejeki, amal perbuatan, waktu ajal, dan apakah dia masuk surga atau neraka. 

Empat hal tersebut merupakan takdir seseorang yang tertera fil lauhil mahfudz (poin kedua). Malaikat “menyalin” apa yang tersurat, kemudian menggariskannya kepada sang bayi. 

Keempat, taqdir fil waqi’. Ini bisa dikatakan merupakan “eksekusi” dari takdir fil lauhil mahfudz yang sudah tertulis. Apa yang terjadi saat ini, anda sedang membaca tulisan ini, ada angin yang berhembus disamping anda, terlihat semut yang lewat didepan anda misalnya. 

Semuanya yang terjadi saat ini akan sesuai dengan takdir fil Ilmi dan takdir fil lauhil mahfudz. Inilah yang dimaksud juga dengan qodar Allah Subhanahuwata’ala

Empat pembagian tadi sekaligus menjawab, kenapa takdir bisa berubah-ubah. Yang berubah itu takdir fil lauhil mahfudz selama belum terjadi. Sedangkan takdir fil Ilmi sampai kapanpun tak akan berubah, karena terkait dengan sifat ilmu Allah Subhanahuwata’ala yang tak terbatas. 

Maka, jangan pernah malas untuk berdoa. Siapa tahu nasib malang akhirnya tak jadi menimpa bila doa dikabulkan. Salah satu sahabat berdoa, 

اللهم ان كنت كتبتني سقيا فامحني واكتبني سعيدا 

Ya Allah jika engkau telah mencatat aku sebagai orang yang celaka, hapuskanlah dan tulislah sebagai orang yang beruntung.” 

Sedikit tambahan, membahas takdir sebenarnya cukup rawan bagi masyarakat awam. Dalam redaksi kitab Hushun al-Hamidiyyah, memang ada semacam peringatan, agar jangan terlalu dalam membahasnya. Harus diketahui, tapi tak perlu dibahas jauh-jauh. (Sayyid Husain Affandi, al-Hushun al-Hamidiyyah, [al-Maktabah at-Tijariyyah al-Kubra, 1933 M./1351 H.], hal. 133.)

Sebab kita tahu jika hanya mengandalkan belajar otodidak, sekedar membaca artikel, atau hanya ikut pengajian YouTube. Ditambah bila masih awam, pasti akan muncul banyak pertanyaan. “Kok begini? Kok begitu?”

Semakin banyak pertanyaan yang membingungkan diri sendiri, akhirnya akan berbahaya jika bisa mendorong kepada kesimpulan pribadi yang kebetulan ternyata merupakan akidah menyimpang, seperti qadariyah dan jabariyah. Sebab masalah pendalaman terkait takdir tergolong permasalahan yang rumit dan tidak sederhana. Butuh penjelasan dari orang yang benar-benar memahami. Sementara orang tersebut tidak akan tahu kesimpulannya benar atau salah bila hanya belajar sendiri.

Lain lagi jika ada guru yang benar-benar membimbing, belajar di pesantren misalnya. Tidak akan ditakutkan terjadinya salah paham, sebab bila murid terlihat keliru dalam menyimpulkan, ada sang guru yang akan siap segera meluruskan.

Wallahu a’lam.